54. Belahan Jiwa

210 54 21
                                    

Aku dan Aldo berpikir di mana harus mencari Thijs. Meski panik, kami tetap berusaha untuk berpikir positif.
Baru teringat sesuatu, kami segera pergi ke sana. Pada malam itu sudah pukul sebelas lewat. Keadaan sekitar gelap, jujur aku agak merinding, tetapi Aldo ini pemberani dan terus menuntunku untuk masuk ke kuburan. Di sana kami terperangah.

Thijs sedang berbaring, menyandarkan kepala di gundukan tanah, tangannya melingkari papan nama. Kami menerangi sekitar dengan senter. Thijs sepertinya tidak memedulikan cahaya dari belakang, tetap berbaring dan mengelus tanah yang mengubur belahan jiwanya. Aku dan Aldo saling menatap, kami tertegun sejenak, berjalan menghampiri Thijs.

"Thijs!"

"Tes!"

Thijs hanya terdiam.

"Gue tahu, Tes lo begitu kehilangan Kangcot, kita semua kehilangannya apalagi adek-adeknya." Aldo tidak tega melihat Thijs seperti ini, ia tahu betapa hancur hatinya. "Tes, ayuk pulang, di sini gelap, gak da siapa-siapa."

"Ada Hariza. Aldo, aku sama Hariza biasa tidur dalam satu kamar. Sekarang, apa aku biarin Hariza tidur di sini sendiri?" tanya pelan Thijs bersuara sengau. Tubuhnya terlihat lemas karena ia juga tidak makan dan minum sedari siang.

"Thijs." Aku memahami perasannya, tidak sanggup untuk berkata lebih.

Aku dan Aldo mengangkat lengan dan membantu Thijs berdiri, merangkulnya, ia terisak. Aku benar-benar mengerti perasaannya meski tidak bisa merasakan betapa sakitnya. Lebih sakit dariku, itu pasti yang ia rasakan. Aku mengerti bagaimana sakitnya ketika ditinggalkan oleh orang yang sangat kita cintai.

Thijs belum bisa menerima kepergian Hariza. Kami tetap membujuknya untuk pulang, tetapi Thijs hanya menggeleng, bersimpuh, kembali menyandarkan kepala pada makam Hariza. Suara isak tangisnya terdengar jelas di tempat yang sepi dan gelap itu. Aku dan Aldo meratap melihat Thijs, juga mengingat Hariza.

Hariza sahabat kami semua, sangat berati bagi ketiga adiknya, Thijs, dan Rina. Bahkan Mbok Mirah juga sangat terpukul dengan kepergiannya. Meski kami tahu bahwa Hariza sakit dan kemungkinan bisa meninggalkan kami kapan saja, tetapi kepergiannya tetap membuat kami semua masih sulit untuk menerima, apalagi mengingat bahwa ia meninggal secara tragis. Aku dan Aldo berjongkok, kembali membujuk Thijs untuk pulang.

"Aku masih mau di sini."

"Tes, ayo lah, kita khawatir ma lo," Aldo merangkulnya, "Kangcot gak bakal suka lo bersikap 'yak gini, lo inget kan pa kata dia?"

Thijs bergeming. Aku dan Aldo membujuknya lagi hingga mau pulang bersama kami. Thijs menginap di apartemen Aldo, karena kami pikir adik-adik Hariza dan Mbok sudah tertidur, tidak mau membangunkan mereka. Kami membujuk Thijs untuk makan dan minum, ia hanya mau minum. Aldo mengantarkannya ke kamar untuk beristirahat. Aku tidur di ruang depan bersama Aldo.

Saat sekitar pukul 03.00 pagi, aku bangun dan berjalan ke toilet untuk buang air kecil. Ketika kembali, tedengar suara hidung tersumbat dari dalam kamar. Aku ketuk pintu, Thijs membukanya. Kami duduk di tepi kasur.

"Thijs belum tidur, ya?"

"Aku tidak bisa tidur." Suaranya serak, hidungnya merah, dan kedua mata bengkak.

"Aku tahu, Thijs. Thijs harus kuat, ya?"

"Aku tidak bisa lupain, saat terakhir matanya Hari masih berkedip, menatap aku, dia seperti ingin mengatakan sesuatu sama aku, entah apa yang mau Hariza katakan. Aku melihat dan bisa merasakan, Hariza begitu menderita dan merasakan sakit, aku benar-benar tidak bisa, aku tahu betapa menderitanya Hariza, aku melihatnya sendiri.

"Hari-Hariza ... dia benar-benar kesakitan, wajah terakhirnya sebelum dia menutup mata itu terngiang di pikiran dan membuat aku sakit, sakit banget, Yud. Aku bisa melihat jelas saat-saat terakhir sebelum dia menutup mata, gerakan matanya yang melemah, dia tidak bisa mengeluarkan suara dari mulutnya ...."

Thijs terus menceritakan bagaimana Hariza saat ia menemukan tubuhnya yang sudah tergeletak berlumuran darah. Menceritakan bagaimana bahasa tubuh Hariza. Semua itu masih tergambar jelas pada ingatan Thijs.

"Hariza seperti mengatakan, 'Tuhan, aku masih ingin bersama adik-adik aku'." Mata Thijs yang bengkak kembali menitikkan air mata.

Aldo yang sedari tadi berdiri di depan pintu, pun ikut meneteskan air mata-mendengar gambaran saat-saat terakhir sang sahabat. Mereka begitu dekat seperti kakak dan adik, bahkan Aldolah yang pertama kali menolong Hariza saat baru saja ia memasuki dunia PSK. Aku hanya mengangguk dan memahami perasaan This.

"Setiap aku melihat ketiga adik-adik Hari, aku tidak tega mereka kehilangan orang yang sangat mereka sayangi." Thijs meremas dada, bibirnya gemetar. Aku bisa liat, betapa sakitnya hati yang ia rasakan.

Pada siangnya, Thijs menghilang lagi. Aku dan Aldo kembali khawatir. Kami pergi ke rumah Hariza—berharap Thijs berada di sana, tetapi tidak ada. Kami segera menuju ke apartemen milik Thijs. Bersyukur Aldo masih memegang kartu aksesnya yang diberikan oleh Hariza dulu, kami terpaksa masuk tanpa seizin pemilik.

Saat membuka pintu, seketika dikejutkan dengan teriakan frustrasi Thijs. Televisi besar yang terpampang itu layarnya sudah pecah, playstation tergeletak di lantai dan sudah menjadi beberapa bagian. Rak tumbang dan puluhan buku tersebar hampir di seluruh ruang depan.

Botol bekas whisky yang sudah hancur berkeping, beberapa kursi di dapur sudah rusak atau terbalik. Barang-barang lainnya yang ada di apartemen itu berserakan dan rusak. Thijs masih kembali membanting apa saja yang bisa ia raih.

"Aku tidak becus jagain Hari, kenapa aku biarkan Hariza sendiri! Aku gagal jagain Hari!"

Aku dan Aldo sejenak terdiam bingung.

"Hari! Maafin aku karena adik-adik kamu sekarang menderita." Thijs frustrasi, melangkah membanting vas bunga yang berada agak jauh darinya.

Aku dan Aldo kompak menahan pergerakan Thijs yang takterkendali.

"Thijs, sudah, Thijs ... ini bukan salah Thijs. Tolong berhenti menyalahkan diri sendiri," ucapku sembari memegang erat tubuhnya.

"Ini salah aku, salah aku! Aku gagal jagain Hariza." Suara Thijs memelan, kini tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya.

Aku dan Aldo berhenti menahannya. Tubuh Thijs merosot, tertunduk lemas. Wajah dan mata terlihat jelas bahwa ia kecewa dan marah pada diri sendiri. Aku dan Aldo berjongkok, merangkulnya.

"Buat apa aku di sini? Aku di sini buat jagain Hariza, tapi aku gagal." Ia tetap menyalahkan diri.

"Tes, gue mohon, stop nyalahin diri lo sendiri. Ni bukan salah lo." Aldo menepuk pelan bahu Thijs.

Tangis Thijs terhenti. "Bayangan-bayangan tatapan mata Hariza, aku tidak bisa lupain itu, ada banyak hal yang ingin Hariza sampaikan, tapi mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara. Aku ingin mendengernya berbicara, Yud! Aku ingin mendengar ocehannya. Aku sudah tidak bisa mendengar ocehannya lagi!" Tatapan matanya kosong.

Aku dan Aldo terus berusaha menenangkan Thijs. Ia menunduk, kedua tangan meremas rambut. Thijs gelisah, beranjak, dan berjalan cepat ke sana ke mari. Teriak penuh kekecewaan, duduk di lantai, menekuk lutut dan menyandar pada tembok.

Ia tersengut-sengut. Kedua tangan terangkat dan mengepal. Tatapannya penuh sesal dan amarah. Ia kembali berteriak penuh amarah.

Aku dan Aldo kembali mendekat, mencoba meredakan emosinya. Hancur, betapa hancur hatinya. Hariza, laki-laki yang sangat Thijs cintai, kini telah tiada. Bahkan, Thijs menyaksikan sendiri bagaimana wajah terakhir Hariza sebelum detak jantungnya terhenti.

Lelaki Bayaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang