52. Bahagia

184 52 25
                                    

Thijs memasuki mobil, segera mengikuti ambulans. Air mata semakin berderai. Pelipis mata, hidung, dan mulutnya terdapat darah yang mengering dan lebam. Namun, tidak merasakan sakit dari luka tersebut, atau bahkan bekas cekikan, yang ia rasakan hanyalah ketakutan, sakit di dada dan terasa sesak mengingat keadaan Hariza.

Paramedis sedang melakukan pertolongan pertama kepada korban pengeroyokan. Salah satu paramedis memasukkan endotracheal tube ke dalam mulut pasien. Tangan-tangan lain cekatan berusaha memberhentikan perdarahan di bagian kepala.

Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat lama. Suara sirene terdengar keras membuat beberapa pengendara yang berada di depan mereka menyingkir memberikan jalan.

Sesampainya di sana, Hariza segera ditangani lebih lanjut. Thijs pun tiba, ia sandarkan wajah pada tembok, kedua tangan bernoda darah—mengepal erat. Tangan kanan memukul pelan tembok berulang kali bersamaan suara tangis yang tertahan. Orang-orang di sekitar yang melihatnya, turut prihatin memahami  bahwa Thijs tengah ketakutan.

Namun bukan hanya Thijs, beberapa keluarga pasien lain juga terlihat mengkhawatirkan orang-orang yang mereka sayangi tengah ditangani di IGD.

Thijs menelepon dan memintaku untuk segera ke rumah sakit. Suaranya terdengar sengau dan gemetar, membuatku seketika khawatir. Ia tidak melanjutkan mengapa Hariza harus dibawa ke rumah sakit. Waktu itu, aku mengira karena sirosisnya semakin parah.

Aku langsung bergegas menuju rumah sakit bersama Aldo. Saat kami sampai, aku melihat Thijs sedang bersimpuh menyandarkan wajah pada bangku dan menangis tersedu, terlihat dari punggungnya yang berguncang. Aku dan Aldo berlari menghampiri Thijs.

Kami berdua terperangah melihat kaus putih Thijs—seperti tertumpahan darah—yang merupakan milik Hariza. Aldo berjongkok, menepuk punggung Thijs. Aku masih bingung dan belum berani bertanya kepadanya. Kami berusaha menenangkan Thijs terdahulu. Setelah tangisnya mereda, aku bertanya pelan.

"Thijs, sebenarnya ada apa? Apa Hari semakin parah? Mutah darah lagi?"

"Hari dikeroyok sama enam orang laki-laki ...." Thijs terisak, tidak sanggup untuk melanjutkan.

Aku dan Aldo tersentak.

"Apa! Siapa yang ngelakuin itu!" Aldo seketika naik pitam.

"Aldo-Aldo, kita semua harus memikirkan keadaan Hari dulu, kita berdoa agar Hariza bisa terselamatkan." Aku berusaha menenangkan kedua pemuda itu.

"Hariza." Thijs tergagap, jelas terlihat bahwa ia takut jika suatu yang tidak diinginkan terjadi kepada Hariza.

Melihat kecemasan Thijs, Aldo mulai panik, sangat mengkhawatirkan sahabatnya.

Ponselnya berdering membuat Thijs membatu ragu untuk mengangkat, hanya memandangi layar ponsel yang tertera nama Mbok Mirah.

"Bagaiamana dengan adik-adiknya Hari? Apa yang akan kita bilang ke mereka?" Thijs kebingungan menatap layar ponsel.

"Biar bagaimanapun mereka harus tahu," kataku.

Thijs menatapku penuh keraguan yang terlihat jelas di matanya. Aldo hanya menganga turut bingung. Aku mengangguk pelan tanda bahwa aku yang akan memberitahu adik-adik Hariza dan Mbok.

Aku berjalan cepat ke tempat parkir. Jalanan cukup ramai membuatku takbisa menginjak kecepatan lebih dari 60 km/jam. Sesampainya di sana, aku ketuk pintu, Mbok langsung membuka.

"Mas Yudi," sapa Mbok Mirah.

Dari matanya, beliau terlihat sangat mencemaskan Hariza karena nomornya tidak bisa dihubungi. Beliau mempersilakanku masuk. Audrey dan Casey datang ke ruang depan, gelagat mereka bertanya-tanya, terutama Audrey. Namun sepertinya mereka menungguku untuk berbicara terlebih dahulu.

Lelaki Bayaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang