27. Rina Mengetahui

209 58 35
                                    

"Riza, selama ini kita udah lama berteman," Rina menunduk sekejap, kembali menatapnya, "aku udah lama nyimpen rasa sama kamu, lebih dari temen. Aku hanya mau ngutarain perasaanku, kalau aku sayang, aku cinta sama kamu, Riz. Sejak kita SMA, aku udah lama suka sama kamu, dan rasa suka itu berubah jadi cinta. Aku cinta sama kamu, Riz." Tangan kanannya memegang gagang kacamata, berkedip pelan. Terdiam menunggu jawaban.

Tenggorokan Hariza tercekat, mengerjap cepat berkali-kali, bingung—apa yang harus ia katakan. Suasana hening, hanya terdengar suara kendaraan lewat di sebrang sana. Ia menghirup napas panjang sebelum bisa membuka suara.

"Rina, aku bukan orang yang pantas untuk kamu cintai, kamu ini perempuan baik-baik, dan aku." Hariza menghela napas, enggan melanjutkan.

"Kenapa, Riz? Karena aku enggak cantik, ya 'kan? Maksudmu aku yang nggak pantas sama kamu?" Rina sedikit menunduk, merasa tidak percaya diri.

Hariza menggeleng terkekeh. "Bagiku, kamu cantik Rina, kamu cantik luar dalam."

"Basi," ucap pelan Rina.

Hariza menggeleng-geleng cepat, kukuh pada ucapan. "Aku jujur, Rina kamu itu cantik, baik a—"  gelagapan, "dan a-aku bu-bukan orang baik-baik."

"Maksud kamu apa, Riz? Selama ini yang aku tahu dan lihat sendiri, kamu itu cowok baik-baik," Rina menghindari kontak mata, "selama ini, perlakuan kamu ke aku itu kayak kasih harapan. Mungkin nggak, aku aja yang terlalu berharap, tapi ya udah toh kamu juga nggak ada rasa sama aku." Sedih tidak bisa disembunyikan, merasa bahwa cinta Rina bertepuk sebelah tangan.

"Maafin aku kalo kamu ngerasa aku PHP-in kamu, aku hanya bukan orang baik-baik." Kornea lelaki itu bergerak ke sana kemari, memikirkan bagaimana cara menjelaskan yang sesungguhnya atau lebih baik tetap berbohong tentang pekerjan yang ia lakukan.

Rina manggut-manggut kesal. "Terus aja ngomong kayak gitu sampe besok. Iya, aku tahu diri kok, Riz. Aku bukan levelmu, nggak cantik, nggak pinter, nggak seksi, ya aku dekil, aku ta—"

Hariza memotong pembicaraan Rina dan menegaskan. "Rin! Kamu itu cantik, baik, kamu itu spesial!"

"Apaan sih? Aku bukan martabak telor." Rina menghempaskan napas berat, dongkol dan merasa bahwa Hariza hanya memberikan gombalan.

Hariza menggaruk-garuk cepat kepala belakang, mendesis frustrasi. "Rin, gini kamu itu jauh lebih baik dari perempuan mana pun. Coba aku ini apa, sih Rin? Pinter enggak, pinteran kamu yang jelas. Kaya? Enggak. Ganteng?"

Hariza tertawa tidak percaya diri. "Kalo dibilang ganteng, ya enggak ganteng-ganteng amat 'kan? Gantengan papaku. Aku hanya cowok yang enggak bener."

Rina menggeleng-geleng pelan, enggan mendengarkan dan menganggap perkataan Hariza itu omong kosong.

"A-a-aku-aku bukan cowok baik-baik. Kamu, lihat kamu, kamu perempuan yang sangat baik. Aku enggak pantas buat kamu, karena aku ini—aku cowok yang enggak baik, aku bejad, ak—"

"Maksud kamu apa? Kamu tuh kalo ngomong muter-muter nggak jelas. Aku tahu tipemu yang kayak Safira; cantik, mulus, bening, seksi, kayak gitar Spanyol gitu, 'kan?!" tanya Rina diakhiri penekanan.

Hariza menggerakkan kepala, membantah. "Bukan begitu, Rin! Bagiku kamu itu cantik, kamu manis, kamu baik, ramah, kamu itu di atas rata-rata. Aku juga enggak ngadi-ngadi, Rin, aku enggak cari cewek yang kayak kamu tadi katakan itu."

"Udah deh, Riz, hentikan omong kosongmu itu!" Suara Rina mengeras.

"Bukan omong kosong, aku jujur. Aku hanya—aku hanya seorang bejad, aku udah rusak." Hariza mendesah gundah, mengepal dua tangan dan menghempaskan ke udara, tahu bahwa apa yang akan ia katakan akan membuat Rina terkejut.

Lelaki Bayaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang