39. Diusir

189 57 53
                                    


Baru saja Hariza berdamai dengan Audrey, tetapi cobaan datang kembali. Kelima mahasiswa yang telah melakukan bully terhadap Hariza, masih saja menyimpan dendam karena mereka tidak terima atas sanksi skors selama enam bulan. Kelimanya kompak menghasut para warga di komplek tempat tinggal Hariza. Semua yang mereka katakan tidak semuanya benar, begitu banyak fitnah yang membuat para warga geram dan terpancing emosi.

"Waduh nggak bener itu, masa kampung kita mau jadi tempat pelacuran buat para kaum homo. Nggak bener ini, nggak bener!"

"Ini nggak boleh dibiarin, nanti kampung kita mau jadi apa?"

"Kurang ajar ni kalau begitu!"

"Pokoknya kampung kita nggak boleh jadi sarang gigolo, apalagi gigolo sesama jenis!"

"Usir aja usir!"

"Bener-bener mau malu-maluin kampung kita!"

Begitulah sahut-menyahut penuh emosi dari para warga yang telah terkena hasutan. Sementara kelima mahasiswa yang telah melakukan bully-tersenyum menyerangi, menanti pertunjukan yang akan terjadi pada Hariza. Rata-rata penduduk warga di sana mudah terprovokasi, apalagi jikalau mereka sudah berkelompok. Alhasil, para warga yang sudah terhasut, berbondong-bondong segera menemui Hariza.

"Dia telah mencemarkan kampung kita yang bersih ini! Kita usir dia!" teriak salah satu warga laki-laki dengan amarah.

"Usir, seret dia!" sahut salah satu warga laki-laki yang tak kalah menggebu.

"Betul! Dia telah mencoreng nama kampung kita! Kampung kita bukan kampung pelacuran dan homo!" cecar salah satu ibu rumah tangga.

"Keluar kamu! Laki-laki tidak berakhlak!"

"Keluar!"

"Sini, keluar!"

Teriakan warga terus beramai-ramai memanggil Hariza. Mbok Mirah terkejut sekaligus takut melihat warga beramai-ramai berada di halaman rumah, terlihat jelas wajah-wajah amarah mereka. Hariza khawatir, tetapi memberanikan diri untuk keluar menemui para warga.

"Itu orangnya!"

"Bapak-Bapak, Ibu-Ibu." Hariza menatap para warga dengan kecemasan.

"Nggak usah bacot! Keluar kamu dari kampung kami! Kamu ngapain jadiin kampung kami jadi kampung gigolo para homo, hah!"

"Saya tidak melakukan hal seperti itu di sini," jawab Hariza mencoba membela diri.

"Halah! Udah nggak usah ngelak!"

Salah satu warga yang sudah terpancing emosi, menarik Hariza dan mendorong, membuatnya terhentak. Ia dipaksa berjalan ke tempat pembuangan sampah, dihempaskan hingga tersungkur di antara sampah yang menumpuk.

"Tuh! Orang kayak kamu itu sampah warga sini!" teriak seorang warga bersama napas berderu.

Entah mendapat bisikan apa, salah satu pria mengambil lumpur dari got dengan ember yang tergeletak di sana, lalu menyiramkan ke kepala si pemuda. Disusul salah satu warga menendang keras paha Hariza, mata-mata mereka penuh tatapan jijik, terus melontarkan kata-kata kasar dan hinaan.

Hariza hanya terdiam, tidak sanggup melawan para warga. Mbok Mirah melaporkan ke Pak RT dan segera menyusul. Audrey, Casey dan Freya-tetap di rumah. Mengingat wajah-wajah warga yang penuh dengan amarah, Audrey sangat mengkhawatirkan si kakak, pun menangis.

Mbok Mirah dan Pak RT terkejut melihat Hariza yang sedang diperlakukan tidak manusiawi.

"Astafirullah hal adzim, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, apa yang merusaki kalian sampe-sampe membuat Ananda seperti ini!" bentak Pak RT terheran-heran.

"Pak RT! Dia ini gigolo homo! Mencemari kampung kami! Pokoknya kami menolak keras!" sahut salah seorang warga yang disambut anggukan para warga.

"Bukan berati kalian bisa berbuat sewenang kalian seperti ini! Jangan mudah terpancing dan terhasut!" jawab Pak RT menegaskan.

"Pak RT! Masih untung kami nggak lemparin pelacur ini dengan batu!"

Pak RT menggeleng-geleng, berusaha sabar untuk menghadapi emosi para warga. "Sudah! Tolong, bubar!"

"Kami mau bubar kalau orang ini pergi dari kampung kami!"

"Betul!" sahut para warga.

"Ya, saya akan pergi," jawab Hariza bersuara gemetar.

Para warga pergi, Mbok Mirah berlari mendekati Hariza, menangis. Dari kejauhan, si korban melihat kelima mahasiswa yang pernah mem-bully. Mereka tertawa menyeringai dengan wajah penuh kepuasan. Ia menyadari bahwa kejadian ini ada kaitannya dengan mereka.

"Duh Gusti, Mas Iza." Mbok Mirah menangis. "Ayo Mas berdiri."

Mbok hendak membantu dengan memegang tangan Hariza, tetapi Hariza menolak.

"Jangan, jangan Mbok. Aku bisa sendiri, ini kotor banget, Mbok."

"Mboten nopo-nopo (Tidak apa-apa), Mas, Mbok bantuin nggih." Tidak ada rasa jijik sama sekali, Mbok memang begitu tulus menyayanginya. Beliau sedih dan sakit hati melihat Hariza diperlakukan seperti ini.

"Enggak, Mbok. Aku bisa."

Mbok Mirah dan Pak RT mengantarkan Hariza. Pak RT berpamitan dan meminta maaf atas perlakuan para warga.

"Mas, Mbok siram Mas dulu, nggih."

Mbok Mirah mengambil kursi plastik-agar Hariza bisa duduk, ia membuka pakaiannya dan hanya menyisakan boxer. Mbok memasangkan selang pada keran, mulai menyiram rambutnya. Sementara Audrey menangis di balik kaca—melihat kakaknya yang tertutup lumpur hitam, tentu dia juga sakit hati.

"Mas, kita ke kamar mandi," ajak Mbok Mirah.

Hariza mengangguk menurut, Mbok menyiram badannya lagi.

"Aku bisa sendiri, Mbok."

"Mas, mboten nopo-nopo, Mbok mboten tega lihat Mas seperti ini, ini ada yang lengket di rambut harus dibersihin pakai sampo dan bagian punggung harus disabun bersih, biar wangi."

Audrey juga masuk ke kamar mandi, mengambil botol sampo, menuangkan ke rambut kakaknya. Hariza tersenyum merasakan dua tangan Audrey yang menggosok-gosok rambut.

"Rambutnya udah wangi lagi, Kak," ucap Audrey bersuara sengau.

"Enggih Mas, sampun wangi," kata Mbok Mirah, matanya sembab.

"Makasih banyak, Mbok, adeknya Kakak yang cantik, sekarang Kakak tinggal bersihin seluruh badan."

Mbok Mirah dan Audrey keluar.

Mbok Mirah meneleponku. Aku bergegas menjemput ke sana. Tak lama kemudian, Aldo juga tiba. Mbok menceritakan semuanya kepada kami.

"Ya Tuhan, keterlaluan banget warga." Aldo menggeleng-geleng tidak tega dengan apa yang terjadi kepada sahabatnya.

Hariza keluar dari kamarnya dan berjalan menemui kami.

"Buruan kita pindah. Kita pindah ke perumahan deket apartemen gue. Gak da yang bakal ngusik lo di sana. Padahal gue dulu dah pernah bilang ma lo buat pindah, karena kampung ini cukup ya tahu lah!" Aldo prihatin kepada sang sahabat

"Hari, kamu yang kuat, ya?" Aku merangkulnya, turut bersedih.

Hariza mengangguk dengan senyuman tulus. Benar-benar kuat, itu yang selalu kukagumi darinya.

Kami semua mulai membereskan barang-barang. Mereka pindah ke sebuah rumah yang memiliki dua kamar, ruang depan, ruang tengah, dan dapur.

"Mbok sama Freya di kamar ini, nggih?" pinta Hariza menunjuk kamar. "Casey, Audrey, di sana," tunjuknya.

"Mas Iza di mana tidurnya?" tanya Mbok.

"Sini aja, Mbok," ucap Hariza menunjuk ruang tengah.

Hariza terlihat sempoyongan tidak bertenaga. Kami menyuruhnya untuk berbaring. Ia benar-benar lemah, mudah sekali untuk kelelahan.

Lelaki Bayaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang