21 ; without him

115 24 11
                                    


Hello, how's your day?
Makasih banyak buat yang udah baca sampai part ini
semoga kalian masih tetep suka dan terhibur <3
Happy reading :)


"Adikku, Jeno, harusnya dia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Adikku, Jeno, harusnya dia. Jeno itu, dia terlalu mendedikasikan dirinya untuk perusahaan, kayak yang pernah aku ceritakan ke kamu. Makanya, orangtua kami punya maksud buat kenalin Jeno sama anak perempuan teman mereka. Tapi, bukannya mengiyakan, dia justru temuin aku yang waktu itu belum lama dikasih kepercayaan jadi direktur. Jeno itu orang paling dekat sekaligus paling banyak membantuku selama berada di perusahaan, jadi udah sewajarnya aku juga balik bantu dia. Jeno minta aku buat ketemu perempuan yang dijodohkan sama dia di Malang. Temui sekaligus menyampaikan permintaan maaf dari dia karena dia sama sekali tidak tertarik dan ingin membatalkan perjodohan. Tapi, ternyata perempuan itu justru mengirim adik laki-lakinya. Dan ya aku akhirnya menitipkan nomor dengan harapan dia segera menghubungiku lebih dulu supaya aku bisa ceritakan semuanya secara langsung."

Ara melepas kacamatanya, lalu mengusap sudut-sudut matanya bergantian. Ia bangkit dari duduknya dan membuka lemari es. Tanpa ragu meraih satu botol minuman soda dan kembali duduk menghadap laptopnya di meja makan. Tangannya berusaha membuka tutup botol yang entah kenapa kali ini terasa lebih keras. Decakkan kesal akhirnya keluar setelah sekuat apapun Ara mencoba, botol itu tidak terbuka. Ia pun menyerah ketika telapak tangannya mulai menunjukkan ruam merah karena lecet.

"Harusnya aku stok yang kaleng," keluhnya lalu meneguk air mineral yang baru saja ia tuangkan ke dalam gelas. "Emph, uhuk uhuk!"

Terlalu terburu-buru, Ara tersedak dan airnya mengenai beberapa bagian di meja hingga layar laptop. Ia segera meraih beberapa lembar tisu dan membereskan kekacauan yang ia perbuat. Sedikit jengkel, Ara melempar tisu itu ke tempat sampah dapur yang berada tidak jauh dari tempatnya. Meleset, Ara kembali mengerang. Dengan malas ia menggerakkan tubuhnya untuk mengambil tisu-tisu yang berceceran itu. Tidak lama setelah Ara berjongkok, ingatannya akan ucapan Mark tadi sore kembali muncul.

"Soal kalung, itu inisiatifku sendiri. Maksudku sebagai permintaan maaf sekaligus hadiah perpisahan. Tapi, ternyata Jeno nggak setuju soal kalung. Katanya, aku justru buat image dia makin jelek di mata perempuan itu. Mau gimana lagi? Kalungnya udah terlanjur di tangan orang lain. Aku cuma bisa nunggu sampai perempuan itu yang hubungi aku lebih dulu, lalu jelasin semua," jeda sejenak Mark menatap wajah Ara yang masih menunduk diam. "Aku bener-bener nggak nyangka kertas yang aku tulis buat perempuan itu justru aku temuin di tempat sampah apartemenmu, Ra. Saat itu juga aku langsung tahu siapa yang dijodohkan dengan Jeno dan setelahnya aku memutuskan buat gantiin dia."

Ara memejamkan matanya sejenak yang terasa berat karena kantuk. Ia kembali membaca surel masuk dari Yuta dengan seksama. Final Project 'Malang Creative Center'. Ara meraih ponsel kemudian segera melakukan panggilan ke atasannya itu.

"Kenapa mendadak banget? Tenggat waktunya beneran besok?" sergahnya langsung.

"Beneran. Aku juga baru tahu kemarin waktu resepsi dari temenku yang kerja di Diskopindag. Mereka sendiri kehabisan waktu, Ra. Udahlah ambil aja, ini ketiga kalinya kan kamu dapet tawaran pegang MCC?"
*Diskopindag: Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lima Nol Lima | 505Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang