Viden : 01

5.9K 525 43
                                    

Alden

"Aku gugup banget ini gimana." Ponsel yang tertempel di telinganya sudah terasa panas.

"Udah ratusan kali lo bilang gitu ya, Den. Bosen gue." Seseorang yang berada diseberang sambungan telepon menggerutu. Pasalnya sudah sedari tadi pemuda asal Surabaya tersebut mengatakan jika ia gugup.

Bestie yang sedari tadi ia ajak bicara nampaknya sudah jengah. Tapi jujur saja, perasaan gugup masih saja hadir. Satu botol air minum besar sudah ia minum habis. Sudah beberapa kali bolak balik kamar mandi juga. Hasilnya masih sama.

"Ah lu mah, nyemangatin aku dong harusnya." Pemuda berkacamata minus tersebut cemberut. Merasa kesal. Sahabatnya yang berada jauh darinya tidak bisa membantu. Ia butuh seseorang yang bisa menenangkan dirinya.

Alden, pemuda tersebut mengambil napas panjang lalu dihembuskan perlahan. Saran dari sang sahabat yang baru saja ia terima.

Perasaannya membaik, setidaknya ini bisa sedikit membantu.

Acara yang ia tunggu-tunggu akan segera dimulai. Beberapa menit lagi, kedua tangan Alden berkeringat. Ia mondar-mandir guna mengusir rasa gugup.

Sambungan telepon terputus saat ia sudah disuruh untuk siap-siap.

.

Ada waktu sekitar tiga puluh menit bagi Alden untuk siap-siap. Karena terlalu gugup juga Alden harus masuk pressure test. Setelah mengganti pakaiannya dengan warna hitam. Juga mengganti apron putih miliknya dengan warna hitam.

Ia berdiri didepan wastafel, menatap bayangan dirinya didalam cermin. Lalu menghela napas. Ia melepas kacamata miliknya, lalu membasuh wajah beberapa kali.

Pintu toilet terbuka saat ia tengah membasuh wajah, seseorang tersebut berdiri disampingnya sambil mencuci tangan.

"Nggak usah gugup, santai aja." Ucap seseorang yang berdiri disampingnya.

Alden mengangkat wajahnya, menatap pantulan seseorang yang berdiri disebelahnya lewat cermin didepannya.

Ada Victor yang tengah mencuci tangan di sana. Menatap dirinya lewat pantulan cermin.

"Baru pertama kali langsung masuk pressure test, gak banget ya aku." Alden tersenyum, lebih tepatnya terpaksa tersenyum. Memberi tahu jika dirinya baik-baik saja.

"Nggak dong, udah lolos audisi aja kamu udah keren. Jangan bilang gitu, semua orang yang ada di sini keren-keren. Termasuk kamu."

"Iya hehe, makasih mas."

"Sama-sama, semangat ya. Mas duluan." Pamit Victor, sebelum benar-benar meninggalkan Alden didalam toilet ia sempatkan mengusak pelan rambut Alden. Memberi semangat dengan cara lain.

Alden dan beberapa peserta yang masuk ke pressure test memasuki ruangan. Ia sempatkan melirik keatas, dimana Victor berada. Ia hanya ingin sedikit lagi mendapat dukungan. Sebab, baru Victor seorang yang dekat dengannya. Di atas sana Victor tersenyum, bibirnya mengucap tanpa suara.

"Semangat, Alden."

.

"Selamat, Alden. Kamu masih lolos, silahkan naik dan bergabung sama yang lain." Perkataan chef Juna mampu membuat senyum Alden mengembang. Rasanya bahagia sekali.

Dengan perasaan gembira, ia melangkahkan kakinya naik kelantai atas. Bergabung dengan teman-temannya yang lain. Di sana Victor tersenyum bangga, melihat Alden yang berjuang dibawah tadi membuatnya sedikit khawatir. Baginya, Alden seperti adik kecil. Yang baginya berhak untuk merasa terus bahagia.

Victor mencarikan tempat Alden untuk berdiri disampingnya. Alden menyadari itu dan segera melangkahkan kakinya kesana.

"Selamat ya, Alden." Machel tersenyum bangga dan menepuk bahu Alden sekali. Dan dibalas dengan senyuman oleh Alden.

"Aaaa untungnya Alden lolos ya, masih bisa bersaing sama gue dong ini." Seorang wanita menghampiri Alden, Noni namanya.

"Iya, Noni, pasti." Lagi-lagi Alden tertawa. Rasanya bahagia sekali.

"Selamat ya, Alden." Perkataan dari orang yang berada disebelahnya ini membuatnya menoleh. Sesaat ia lupa jika ada Victor disini.

"Iya, makasih ..."

"Victor aja." Gumam Victor.

Alden mengangguk, "Makasih, Victor." Dan mengalihkan pandangannya saat ada salah satu peserta yang memberinya selamat.

Diam-diam Victor tersenyum, Alden sedikit salah tingkah saat menyebut dirinya hanya Victor tanpa embel-embel 'mas'. Mungkin juga akan canggung sama yang lainnya jika Alden memanggilnya mas dan hanya dengan nama ke peserta yang lain.

Kini semuanya telah turun, dan bersiap-siap untuk istirahat. Setelah diumumkan siapa yang akan meninggalkan galeri dan pulang, mereka semua diperbolehkan kembali dan istirahat.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Alden selesai dengan acara mandinya. Ia harus segera mandi jika tidak ingin seluruh badannya terasa gatal.

"Halo, Ma." Sapa Alden setelah panggilannya diterima oleh sang Ibu.

"Iya tadi Alden hampir aja gagal—" Dan obrolan keduanya berlanjut hingga beberapa menit ke depan. Diisi dengan Alden yang berbagi curahan hati ke Ibu tersayang. Membicarakan semua hal yang terjadi dari pagi hari hingga sekarang.

Ketukan dari arah pintu membuatnya sedikit terkejut. "Udah dulu ya, Ma. Ini kayaknya ada temen Alden yang dateng."

Setelah panggilan terputus, Alden melangkahkan kakinya kearah pintu. Pintu terbuka dan menampilkan Victor yang berdiri di sana.

"Ada perlu apa mas?"

"Nggak ada, cuma mau kasih ini." Victor mengangkat botol plastik berisi cairan putih dan beberapa potong roti.

"Masuk dulu aja, mas."

"Permisi, ya." Kata Victor sebelum benar-benar masuk kedalam kamar Alden.

"Duduk di atas kasur aja nggak apa-apa, mas."

Namun Victor lebih nyaman untuk duduk dibawah, bersandar pada kasur Alden. Meletakkan bawaan yang tadi ia bawa didepannya. Alden mengikuti Victor dan duduk didepannya.

"Ini beneran buat aku?"

"Ya beneran, masa boongan."

"Ada acara apa gitu hlo, mas."

Victor terkekeh pelan, "Ya nggak ada, hadiah buat kamu karena udah berjuang di pressure test tadi."

"Haha makasih, hlo mas."

"Sama-sama."

"Aku minum ya, mas. Kebetulan aku lagi males bikin susu sendiri." Victor mengangguk, melihat Alden yang meminum susu buatannya. Sebenarnya ia ragu, ia ingin memberi Alden sesuatu tapi disisi lain ia tidak punya makanan apa-apa.

"Kacamatanya nggak kamu pake?" Victor baru menyadari jika Alden sedang tidak memakai kacamata miliknya.

"Nggak, soalnya aku tu kadang males kalo pake kacamata. Paling kalo lagi masak atau bawa motor gitu baru aku pake." Jelas Alden.

"Nggak apa-apa emang?"

"Ya, nggak apa-apa mas." Alden tertawa, lagipula minusnya cuma sedikit. Mau ia tidak pakai kacamata juga bisa. Tidak terlalu mengganggu aktifitasnya.

"Oh iya ngomong-ngomong, maaf tadi manggil mas Victor cuma Victor aja."

"Hm? Nggak apa-apa kali, Den. Santai aja."

"Tapi aku gak enak, mas. Udah dari awal manggilnya mas soalnya. Tapi kalo didepan yang lain agak canggung aku kalo manggil pake 'mas'". Jelas Alden.

"Ya kalo pas sama yang lain panggil nama langsung aja nggak apa-apa. Kalo lagi berdua gini ya terserah kamu mau manggil apa."

Alden mengangguk-anggukkan kepalanya, "Minta maaf sebelumnya nih ya mas Victor, kalau nanti-nanti aku manggilnya Victor doang."

"Santai aja, Alden. Kalau gitu aku balik dulu ya." Pamit Victor.

"Iya mas, makasih susu sama rotinya. Nanti aku makan." Victor mengangguk, lagi-lagi mengusak rambut Alden hingga berantakan.

Mungkin hobi Victor yang baru adalah membuat rambut Alden berantakan.

Chapter satu, end.

Di Balik Layar [ViDen] 🤍 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang