Viden : 18

1.4K 144 7
                                    

Alden

Setelah beraktifitas seharian penuh, pemuda berkacamata tersebut langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tepat pukul tujuh malam ia sampai dirumahnya, teman serumahnya langsung ambruk begitu melihat sofa panjang yang berada diruang tengah. Kini Alden sendirian didalam kamarnya.

Setelah beristirahat sebentar, ia dengan segera pergi ke kamar mandi. Mungkin dengan ia mandi, ia bisa membuang rasa pegal-pegal yang dirasa tubuhnya.

Beberapa menit kemudian, Alden telah menyelesaikan acara mandinya. Kini ia tengah berbaring di atas tempat tidurnya lagi.

Pikirannya sedikit kacau akhir-akhir ini. Entah karena apa, rasanya sangat tidak enak. Mau cerita pun, ia tidak tahu mau cerita ke siapa. Bahkan ia masih tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan. Rasanya bahagia, tapi di satu sisi ia merasa jika ia salah.

Ponsel yang ia taruh di samping tubuhnya berdering. Nama Ge terpampang dilayar. Dengan segera Alden mengangkat telepon dari sang sahabat tersebut.

"Halo, Ge." Sapa Alden begitu panggilan keduanya tersambung.

"Den, nggak mau cerita sama gue?"

"Cerita apa?"

"Gue tahu siapa yang lagi deket sama lo, Den. Lo nggak mau bilang sama gue?"

"Apa sih, Ge?

"Den, dari sekian banyak orang, kenapa harus Victor?"

Deg.

Alden sedikit membeku, berusaha mencerna perkataan Gritte yang baru saja perempuan itu lontarkan.

"Kok Victor?"

"Gue tau, Den. Cara lo mandang Victor, itu beda. Beneran lo suka sama Victor?"

"Nggak gitu, Ge." Bantah Alden, ia masih belum berani memberitahu Gritte apa yang hatinya rasakan akhir-akhir ini.

"Ini tuh salah, Den. Lo harusnya nggak suka sama dia, sadar Den!" Diseberang sana Gritte sedikit berteriak. Ia tidak rela jika sahabat baiknya berakhir seperti ini.

"Aku juga nggak mau, Ge. Aku juga nggak mau ngerasa kayak gini, aku harus gimana sama perasaan aku?!" Akhirnya Alden memberanikan diri.

Terdengar isakan dari seberang, perempuan cantik di sana tengah menangis.

"Den, bisa ya. Jangan diterusin lagi. Gue sayang sama lo, Den. Gue nggak mau lo kayak gini." Suara yang ada diseberang bergetar, gadis tersebut tengah menahan tangisnya.

Alden yang mendengar Gritte menangis jadi merasa tidak enak. Sejujurnya ia tidak bisa melihat Gritte menangis.

"Ge, udah ya. Jangan nangis, aku minta maaf, ya."

"Den, gue mohon sama lo. Jangan kayak gini, ada Noni, ada Machel juga yang bisa lo deketin."

"Gue nggak janji, Ge. Gue baru nyaman sama perasaan gue saat ini, gue butuh dia Ge."

"Nggak, Den. Dulu lo nggak kayak gini, lo bukan lagi Alden gue."

"Aku selalu kayak gini, Ge."

"Lo dulu nggak kayak gini, gue percaya sama lo."

"Karena aku suka sama kamu!" Alden sedikit berteriak, membuat perempuan yang biasa Alden panggil dengan sebutan Ge tersebut terdiam.

Akhirnya, rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat terbuka juga. Terlebih, ia mengatakannya pada Gritte.

"Lo bohong kan, Den?"

"Buat apa aku bohong, Ge. Aku selalu baik sama kamu, perhatian sama kamu, ya itu karena aku suka sama kamu."

"Lo nggak pernah bilang." Lirih perempuan tersebut, kini ia jadi merasa bersalah. Ingatannya kembali pada tahun-tahun yang lalu. Dimana Alden selalu ada untuk dia, menemaninya dan selalu perhatian padanya. Lagi, tangisnya pecah.

"Gimana aku mau bilang. Kamu suka sama orang lain, yaudah aku nyerah. Aku cuma bisa jagain kamu, tapi nggak bisa milikin kamu."

Lagi-lagi, tangis Gritte pecah. Ia merasa jahat sekarang. Ia membiarkan Alden sakit hati sendirian.

"Alden, meskipun nggak sama gue. Lo masih bisa nyoba jatuh cinta sama yang lain."

"Sekarang aku baru nyoba, Ge. Suka sama orang lain."

"Gue mohon, Den. Jangan sama Victor, ini tuh nggak bener. Lo salah, lo nggak mikirin perasaan Mama gimana kalau tau lo kayak gini?"

Alden terdiam, ya, perkataan Gritte benar. Bagaimana perasaan Papa dan Mamanya jika mengetahui ia seperti ini.

"Gue mohon, Den." Panggilan berhenti seperti itu, meninggalkan Alden dengan seribu pikiran yang memenuhi otak kecilnya.

Pikirannya penuh, namun kedua matanya menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Kalau sudah seperti ini, bagaimana?

Cukup lama Alden melamun, hingga panggilan telepon mengembalikan kesadarannya. Ia lihat, ada nama Mama di sana. Setelah menetralkan suaranya, Alden dengan segera menjawab telepon dari sang Mama.

"Halo, Ma. Kenapa?" Tanya Alden sesantai mungkin.

"Nathan, nak. Ini kenapa anak cantik Mama dateng sambil nangis-nangis gini?" Alden terkesiap, Gritte datang kerumahnya.

"Tadi habis debat dikit sama aku, Ma. Nggak apa-apa."

"Tapi kok sampai nangis kayak gini sih, nak. Kalau ada masalah selesein, ya. Kamu tenangin dulu ini Grittenya."

"Besok aku pulang, Ma. Suruh Ge nginep aja, tidur di kamarku."

"Besok pagi-pagi udah sampai rumah hlo ya, jangan siang-siang."

Setelah menjawab perkataan Mama, panggilan berakhir. Laki-laki berkacamata tersebut menghela napas panjang. Ia masih belum bisa mengerti hatinya sepenuhnya, sekarang malah sudah ketambahan masalah baru.

.

Victor yang sedari tadi tiduran di sofa segera bangun, ia tidak melihat Alden keluar kamar sedari tadi.

Saat ia hendak membuka pintu kamar, ia dikejutkan dengan teriakan Alden yang tiba-tiba. Tidak terlalu keras memang, tapi masih bisa Victor dengar dengan jelas dari luar.

Alden yang bilang jika menyukai seseorang mampu membuatnya membeku. Tidak lagi ia punya niat untuk masuk kedalam kamar. Tidak juga menjauhkan dirinya dari pintu kamar. Ia tahu jika tidak sopan menguping pembicaraan orang lain. Ia tahu betul itu, tapi kali ini ia mengabaikan fakta tersebut. Ia mendengarkan pembicaraan Alden hingga selesai.

Saat Alden sudah menyelesaikan obrolannya, ingin sekali Victor masuk kedalam kamar. Tapi ia sadar, saat ini Alden sedang butuh waktu untuk sendiri.

Lalu, saat Alden mengangkat teleponnya untuk yang kedua kalinya. Victor kembali tersiap. Ia kembali mendengarkan percakapan Alden yang ia tahu kali ini dari sang Mama.

Kembali, Victor merasa tidak nyaman saat Alden menyuruh orang lain untuk bermalam dirumahnya dan tidur di kamarnya. Itu berarti, keduanya sudah sangat dekat. Dan Victor tidak sepenuhnya tahu tentang orang tersebut.

Laki-laki jangkung tersebut mengurungkan niatnya untuk masuk kedalam kamar. Ia kembali melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Kembali membaringkan tubuhnya di sana. Pikirannya penuh dengan semua hal. Tentang perkataan Alden yang menyukai seseorang, tentang teman Alden yang saat ini tengah berada di rumah Alden.

Ia yakin, orang tersebut sudan sangat dekat dengan seluruh keluarga Alden. Bahkan saat Alden tidak ada di rumah pun, orang tersebut tetap pergi ke rumah Alden. Lalu bertemu dengan ibu Alden, mungkin juga tengah ditenangkan oleh orang tua Alden.

Ia ragu, haruskah ia tetap memperjuangkan Alden? Atau ia berhenti sekarang sebelum semuanya terlambat?

***

Chapter delapan belas, selesai.

A/n : Cerita ini sebentar lagi selesai. Jadi mohon maaf kalau nggak sesuai, ya. ♡

Di Balik Layar [ViDen] 🤍 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang