Viden : 09

2K 241 4
                                    

Victor

Tempat belakang hotel ia pilih sebagai tempat pertemuan. Tak ia pedulikan soal rumor-rumor menyeramkan tentang tempat ini. Memang jika sudah menunjukkan pukul delapan malam lewat, tempat ini selalu sepi. Tidak ada seorang pun yang ingin berdiam diri di tempat menyeramkan seperti ini.

Hanya ada satu bangku yang terletak di sini, tidak ada lagi tempat duduk. Kecuali jika ingin duduk di atas batu besar di sana ya, tidak apa-apa.

Laki-laki tersebut mematikan panggilannya setelah selesai berbicara. Menyuruh seseorang untuk datang menemuinya. Orang yang berada di seberang telepon sempat menggerutu, kenapa harus bertemu di tempat yang menyeramkan seperti ini. Namun, tetap saja, gerutuannya tidak ditanggapi. Tempat sepi menyeramkan ini lah pemenangnya.

Ia sudah duduk di sini cukup lama. Mungkin sekitar dua puluh? Ah, tiga puluh menit lebih tepatnya.

"Ngapain milih tempat kek gini sih? Kaya nggak ada tempat lain aja." Omelan terdengar saat seseorang yang ia panggil datang. Melangkahkan kakinya dengan sedikit menghentak. Merasa kesal sekaligus merasa takut.

"Disini aman, biar nggak ada yang denger." Victor, pelaku yang menyuruhnya untuk datang kesini memberi jawaban.

"Ya nggak harus disini juga kali, Tor. Di luar kan bisa."

"Duduk dulu, situ." Victor menunjuk batu besar yang berada di sampingnya. Bangku satu-satunya yang ada di sana sudah menjadi hak miliknya sekarang.

Ray, korban panggilan Victor tersebut menurut. Mendudukkan pantatnya di atas batu besar. Sedikit merasa takut jika ada segerombolan semut di sana.

"Mau ngomong apa?" Ray bertanya, jujur saja tempat ini tidak cukup cahaya. Hanya ada satu lampu kecil, warna kuning pula. Hanya dibantu dengan sinar bulan yang membuat tempat tersebut sedikit terang. Meski masih remang-remang.

Victor ditempatnya terdiam, ia harus memulainya dari mana. Sedang Ray kini sudah menunggu jawabannya.

"Gue pergi nih kalau lo nggak ngomong-ngomong." Kesal Ray.

"Bentar, lagi mikir."

"Punya pikiran?"

"Asu."

Ray tertawa, baru kali ini ia mendengar Victor memaki. Cocok untuk Victor, pikirnya.

"Ray." Yang dipanggil hanya menggumam, menunggu lanjutan Victor.

"Lo tau soal viden? Video-video viden?" Victor memancing. Ray di sampingnya mengangguk.

"Beberapa kali gue liat sih, seru juga." Ray tertawa, mengingat setiap kali ia membuka aplikasi bernama tik tok, video viden selalu bertebaran.

"Menurut lo gimana?"

"Gimana apanya? Soal video vidennya? Apa soal perasaan lo?"

Victor menghela napas, kenapa sulit sekali membicarakan hal ini.

"Soal videonya."

"Ya kalau menurut gue asik sih, seru juga tuh orang-orang yang ngedit. Udah kaya real banget. Menghibur juga." Victor sedikit merasa lega mendengar jawaban Ray.

"Tor, jujur ya." Ray merubah posisi duduknya, kini ia menghadap kearah Victor.

"Gue tau, gue tau lo gimana. Gue tau perasaan lo gimana, tapi tolong, jangan terlalu keliatan. Lo tau, hal kayak gini tuh masih tabu banget buat kita, buat lingkungan kita. Lo harus lebih hati-hati lagi."

Victor tertegun, ternyata pikirannya selama ini benar, jika Ray paham dengan apa yang ia rasakan.

"Lo juga gitu?"

Di Balik Layar [ViDen] 🤍 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang