Suara gesekan antar pedang yang beradu memekakkan telinga, sesekali akan ada ringisan lirih yang disusul mengucurnya darah segar yang mengalir langsung dari kulit yang terluka. Di sisi barat sebuah arena terbuka, puluhan lelaki bertameng saling menyerang satu sama lain──berusaha menorehkan pedangnya untuk menjatuhkan lawan.Sedangkan di sisi timur arena, ada puluhan lesatan panah yang berakhir menancap pada papan target. Para pemanah berlatih sedemikian rupa, mengasah keahliannya dalam menguasai busur dan panah agar lebih baik lagi.
Di tengah-tengah arena, Xavier dan Jeovann menatap semua itu dari atas mimbar tinggi. Senyuman lebar menandakan rasa bangga tercetak di ranum keduanya, didikan tegas mereka terhadap para prajurit muda yang baru bergabung dalam pasukan tidak sia-sia.
"Walau mereka semua masih berusia belasan tahun, tapi kemampuan mereka sudah hampir setara dengan dirimu, Jeno." celetuk Jeovann tanpa mengalihkan pandangannya dari para prajurit yang berlatih.
Xavier menoleh, menatap Jeovann dengan alis berkerut. "Kau berlebihan, Riobard. Aku tidak sehebat yang kau pikirkan, asal kau tahu." ucapnya menanggapi──yang sebenarnya adalah ungkapan menyangkal.
Kekehan ringan lolos dari bibir Jeovann, "Oh, ayolah~ akui saja, Jeno. Kau itu hebat, sangat hebat. Semua orang kagum padamu, bahkan segan padamu."
Ucapan Jeovann yang demikian terdengar seperti bersikeras, sehingga membuat Xavier berdecak sebal karenanya. "Ck! kau sungguh berlebihan, Riobard. Asal kau tahu, semuanya sama saja. Kemampuan manusia dalam menguasai sesuatu jangan kau jadikan tolak ukur untuk melihat kehebatannya. Manusia, dia baru pantas disebut hebat apabila mampu mengendalikan dirinya." balasnya tegas, yang jatuhnya seperti memberi nasihat.
"Ya ya ya~ baiklah, Tuan Jeno. Tapi, bisakah kau berhenti memanggil nama belakangku?!? rasanya seperti kau menganggapku orang asing." protes Jeovann.
Maka giliran Xavier yang kini terkekeh, "Akan kuusahakan untuk itu, Jeovann."
"Nah, begitu sudah lebih baik."
Anggukan kecil menjadi respon terakhir Xavier untuk Jeovann, sebelum pandangannya jatuh pada seorang prajurit yang bermain ketapel di barisan kelompok pemanah.
Lantas maniknya menyipit, Xavier tajamkan pandangannya untuk meyakinkan bahwa yang dilihatnya memang benar.
"Jeovann,"
"Ya? ada apa, Jeno??"
"Kau melihat prajurit yang itu?" tanya Xavier sembari menunjuk si prajurit.
Jeovann menajamkan pandangannya, lalu mengangguk singkat. "Iya, aku melihatnya. Memangnya ada apa dengan prajurit itu, Jeno?"
"Tidak.... hanya saja, mengapa ia justru bermain ketapel ketimbang ikut memanah seperti yang lain? apa dia dikucilkan?"
"Tidak, dia tidak dikucilkan."
"Lalu?"
"Dia, Alexander Vincent Schmidt, adalah prajurit baru termuda yang bergabung ke dalam pasukan. Usianya masih 14 tahun, walau demikian, kemampuannya dalam memanah sudah cukup bagus. Ngomong-ngomong, dia bergabung ke dalam pasukan bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan kehendak orang tuanya. Dari laporan beberapa prajurit sekelompoknya, Alex memang sering kedapatan bermain ketapel saat waktu berlatih. Anak itu akan bermain ketapel jika sudah bosan dan lelah berlatih panahan, dan mungkin.... sepertinya ia lebih menyukai ketapel daripada memanah. Aku memakluminya, dia masih terlalu belia untuk dididik dan dituntut berlatih keras. Diusia yang masih 14 tahun, tidaklah wajar jika kita memperlakukannya sama seperti prajurit dewasa lainnya. Kuharap, kau juga memakluminya, Jeno."
Hembusan nafas yang pelan menjadi penutup Jeovann bercerita. Kemudian, pemuda itu menoleh ke sisi kanannya──menatap Xavier yang betah memandangi Alex dengan segaris senyum tipis yang menghiasi bibirnya.