".......Jenderal Amethyst mengorbankan dirinya, agar pertarungan antara ia dan Panglima Emerald dapat berakhir. Membunuh dirinya sendiri melalui tangan dan pedang milik Panglima Emerald yang ia kendalikan, Jenderal Amethyst menjadi pihak yang gugur dalam pertarungan, dan Panglima Emerald yang menjadi pemenangnya.Dengan alur ceritanya miliknya sendiri, Jenderal Amethyst membuat skenario rangkaian peristiwa yang sedemikian rupa sehingga akhir cerita dari skenario buatannya itu mengantarkan dirinya pada sebuah kepergian abadi.
Sang Jenderal tidur, ia beristirahat untuk selamanya. Ia pergi, meninggalkan kakak kembarnya, Panglima Emerald dengan beribu penyesalan dan luka batin yang akan menjadi trauma mendalam.
Dan, cerita ini selesai."
Pria itu merampungkan ceritanya. Tersenyum pahit, ia menatap sendu lembar kertas usang yang menjadi tempat penyimpanan apik rentetan aksara tentang sejarah masa lalu itu.
Mengalihkan atensi terhadap Richa──putrinya, ia terkejut karena putri kecilnya itu masih terjaga dengan air muka yang sedih dan bibir yang melengkung ke bawah.
Tidak seperti biasanya, ketika ia menceritakan dongeng sebelum tidur, Richa pasti sudah tertidur sebelum ia merampungkan dongengnya, yang mana hal demikian membuat gadis kecil itu tidak tahu akhir dari setiap dongeng yang diceritakannya.
Sekarang, saat ia menceritakan sejarah masa lampau untuk pengantar tidur, putrinya itu justru masih terjaga sampai kisah yang diceritakannya selesai.
Richa, gadis kecil berusia 6 tahun itu mendengar tiap rentetan peristiwa tragis yang harusnya tidak ia dengarkan diusianya yang masih sangat belia. Entah apa yang pria itu pikiran, ia sampai mempunyai ide untuk menjadikan kisah tragis Xavier dan Zavier menjadi cerita pengantar tidur Tuan Putri-nya itu.
"Ayah...." gadis kecil itu memanggil sang ayah.
Menoleh, pria itu memusatkan perhatiannya untuk sang putri. "Hm, ada apa?"
"Apakah akhir ceritanya sungguhan seperti itu? Jenderal Amethyst mati, untuk kemenangan Panglima Emerald dalam pertarungan?" tanya Richa.
Si ayah mengangguk singkat, "Iya, sungguhan seperti itu. Mengapa? apa princess-nya Ayah tidak suka dengan akhirnya?"
Dan anggukan pelan Richa berikan, "He'umm~ Richa tidak suka dengan akhirnya. Kenapa.... kenapa begitu? padahal mereka baru kembali bertemu setelah terpisah lama, takdir jahat sekali." ucapnya murung.
Pria itu tersenyum tipis, "Ayah minta maaf, ya.... maaf, maaf telah membuatmu sedih dengan akhir cerita yang Ayah bacakan."
"Ughh, tidak! Ayah tidak perlu minta maaf, kan akhir ceritanya memang seperti itu. Kenapa justru Ayah yang minta maaf?? Ayah tidak salah apa-apa huhh!!"
Mendengar ucapan putrinya, tawa manis pun lolos dari belah ranumnya. "Ahhahaha— iya-iya, baiklah, Ayah tidak akan minta maaf. Huuuhh~ benar-benar, Richa-nya Ayah adalah yang paling lucu seduniaaaa!" ujarnya sembari menciumi pipi tembam putrinya itu.
"Ayah— ihihihi~ aaa sudahhh, geliiiii!!!"
Pasangan ayah dan anak itu bercanda ria walau jam dinding berdenting menunjukkan angka pukul 11 PM. Suara tawa yang terdengar manis dan lucu itu menguar, memenuhi ruangan kamar tidur Richa.
Tawa itu, menjadi pengalih dari setitik perasaan sedih untuk keduanya──terutama untuk Richa, pasca mendengar kisah tragis yang harusnya tidak ia dengarkan.
"U-uh, ssudah— berhenti, Richa lelah tertawa!!"
"Ahhahah~ baiklah, tidak lagi."
Pria itu berhenti dari kegiatan usilnya (re; menciumi pipi Richa), kemudian beralih memainkan gemas pipi tembam putri kecilnya itu.