Jika suatu perintah telah dilayangkan, maka satu-satunya tindakan yang tepat adalah melaksanakannya. Terlebih jika kau adalah seorang penurut──atau yang dibuat menjadi penurut, lantas sebuah penolakan tentu menjadi pantangan untuk dikatakan kepada sang pemberi perintah.Ketika perintah untuk memimpin pasukan perang diberikan, dua insan dari sisi yang berbeda tentu menyanggupi dan melaksanakannya. Xavier dan Zavier, keduanya menjalankan perintah yang diberikan walau ada setitik rasa berat melingkupi hati.
Dan di sinilah sekarang, bertempat di Gurun Abyss, perintah akan dilaksanakan. Untuk kesekian kalinya, Gurun Abyss akan menjadi saksi bisu atas pertumpahan darah antara dua negeri yang terjadi kembali setelah 25 tahun silam. Gurun Abyss bersedia menjadi tempat penampungan lautan darah dan mayat prajurit, juga latar sejarah menyakitkan, lagi.
Warna zamrud dan lembayung berseberangan, dengan emas pasir gurun ditengah-tengahnya. Ribuan prajurit bersenjata berdiri tegap dalam barisannya. Pakaian zirah, tameng, dan senjata kebanggaan melekat pada diri mereka. Para prajurit dari kedua negeri menghadap berani satu sama lain, iris mata mereka terpancar tatapan membunuh yang seakan ingin menumpas semua yang dianggap musuh. Kalimat dengan unsur keyakinan meraih kemenangan terus dirapal dalam batin, demi menguatkan raga dan hati yang sedikit tegang karena kondisi.
Sementara itu, di barisan terdepan sang Jenderal dari kedua negeri yang memimpin pasukan berdiri gagah di atas kereta kudanya. Bagian tubuh keseluruhan terbungkus zirah, yang hanya menyisakan segaris ruang terbuka pada bagian mata agar tetap bisa melihat.
Dari luar, terlihat seakan sang Jenderal dari kedua negeri menatap tajam musuh di hadapan. Tatapan tajam bak ingin menumpas. Namun demikian, bukan itu kebenarannya. Nyatanya, dibalik tatapan tajam itu tersimpan kesenduan dan ragu yang bimbang.
Sang Jenderal ragu, juga merasa berat. Rasanya bak ada yang menahannya, untuk tidak melayangkan tebasan pedangnya saat ini.
Menatap datar ribuan pasukan musuh di hadapannya dari balik helm pelindung, tanpa sadar Xavier meremat kuat gagang pedangnya demi melampiaskan desiran aneh yang bersarang dalam hatinya.
Helaan nafas berat lolos dari belah ranum Xavier, dan itu terdengar cukup keras sehingga menarik atensi Jeovann yang berdiri di dekatnya.
"Jeno, apa kau baik-baik saja?" pertanyaan itu terlontar dari bibir Jeovann, yang tentunya memuat siratan nada kekhawatiran.
Sang empunya nama menoleh, menatap dalam iris zamrud Jeovann dengan tatapan yang seakan berkata── "Aku takut, Jeovann."
Namun nyatanya, yang terucap di bibir justru── "Iya, aku baik-baik saja. Jangan khawatir, Jeovann."
Xavier adalah pembohong ulung. Ia piawai menyimpan seluruh perasaannya dari atensi khalayak, lalu dengan begitu menyakiti dirinya sendiri melalui luka batin yang tak kunjung sembuh.