Bab 9 Cerita sebuah luka

1 3 0
                                    

Bab 9 Cerita sebuah luka

Jantungku? Seperti mengalami masalah teknis.

...

"Yara ada apa?" tanya Rafalalda saat melihat Yara yang terdiam dengan pipi yang memerah. "Tak apa," jawabku singkat.

"Aku harus pulang!"

Saat Yara berbalik hendak meninggalkan Rafalalda, tangan pria itu langsung mencegatnya. "Jangan pergi, tetaplah disini!" Mintanya, aku tersenyum kecil.

"Tidak bisa!" ucapku.

"Kenapa tidak bisa?"

"Mungkin, aku saat ini aku masih lebih mencintai mereka juga kakakku Araga."

"Aku bisa memberikan apapun yang kau inginkan, sedangkan dia hanya bisa memberikan kecemasan di setiap langkahnya."

"Tapi kamu tidak ada saat hatiku benar-benar hancur!" ucapku padanya mencoba untuk tersenyum. "Kamu bukan sandaran di kala keputusasaan menyapa! Kamu tidak mengelus kepalaku saat aku hampir kehilangan arah, kamu juga tidak bersamaku dikala aku sepi menyapa. Kamu tak bersamaku, kamu juga tak tahu apapun tentang aku!"

Di sini Rafalalda terdiam seolah merasakan luka-luka yang begitu teramat dalam yang tak ia ketahui! "Andai kamu tahu akulah penyebab semua luka itu! Apakah kamu akan membenciku, Yara?" Tanya Rafalalda membatin sembari tetap menatap netra mata Yara yang berbinar menahan air mata yang akan jatuh dari matanya. "Pulanglah, aku mempertanyakan hal itu lagi padamu. Aku janji tak akan pernah akan ada paksaan dari ku pribadi!"

"Iya, sampai bertemu lagi!"

"Sampai bertemu lagi?" Aku sangat senang jika kau masih ingin bertemu denganku lagi, "akan ku tunggu kau pengantinku!" Batin Rafalalda.

Saat Yara kembali ke dalam cahaya tiba-tiba saja cahaya hitamlah yang membawa tubuhnya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku bingung. Tak lama jiwaku sampai ke sebuah rumah tua! Ku dengar ada suara tangisan yang begitu kuat dari dalam sana.

Tap!

Tap!

Tap!

Aku melangkah perlahan, takut juga ragu karena ini bukan hotel yang kami sewa. "Yara! Apa itu kau?"

"Ya!"

"Kau tidak ingin menggucapkan selamat tinggal pada kami?" Aku bingung dengan maksud dari wanita itu. "Jangan menangis di hadapannya!"

Ku lihat seorang wanita tua tampak tersenyum. "Senang melihatmu!"

"Kamu siapa?" tanyaku.

"Sayang, ini hanya sebuah ilusi. Kuatlah dirimu jadilah hebat!"

Saat tubuhnya menghilang hatiku rasanya begitu sesak, tak ku sangka air mataku jatuh meletes.

...

Saat ku buka mataku, ternyata hanya sebuah mimpi. Tapi mengapa rasanya begitu nyata? Aku berjalan ke arah cermin pakaian, ku tatap dengan baik mataku yang seperti habis menangis padahal itu hanya sebuah mimpi saja. Ku coba mengingat, tapi semuanya terasa samar.

From the Love Of Death Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang