Chapter 4 : Kipas Putih

219 46 3
                                    

Sang tabib meraba kipasnya tanpa canggung, sesekali tabib pria itu berdecak karena bahan yang digunakan untuk membuat kipasnya dari kualitas terbaik.

"Kipas yang indah serta langka, anda beruntung mendapatkannya."

Shura tersenyum. "Kipas ini ikut hanyut bersamaku. Tidak tahu dari mana asalnya Mungkin seseorang memberikannya dengan cuma-cuma."

"Seseorang yang sangat baik," puji Tabib.

"Lukaku bagaimana?" tanya Shura.

"Akan membutuhkan waktu untuk sembuh," jawab Tabib.

Shura mengangguk menatap cermin yang dipegang oleh Tabib, dia menyentuh luka di wajahnya tampak buruk untuk orang yang belum pernah terluka parah apalagi di wajah.

Bagi wanita, luka di wajah adalah aib yang memalukan. Tiba-tiba ada yang menyentuh pipinya, sensasi dingin menjalar diseluruh wajahnya.

"Walau wajah anda tertutup luka tapi mata anda indah, cukup membuktikan bahwa anda adalah wanita cantik," ucap Lycato.

Dia menatap Lycato yang langsung menarik tangannya.

"Maaf aku hanya membantu," tutur Lycato.

"Tidak masalah, terima kasih Putra mahkota," sahut Shura.

"Berhenti menyebutku Putra mahkota. Aku seperti buruk dipanggil seperti itu," ujar Lycato.

Shura tersenyum canggung. "Baik Pangeran."

"Oh iya. Maaf, kalau saya lancang anda berasal dari mana?" tanya Tabib memecahkan kecanggungan.

Shura menatap kipasnya mendengar pertanyaan dari Tabib kemudian menggeleng. "Aku tidak ingat."

"Nona, ini seleksi pendamping putra mahkota anda harus menjaga diri karena anggota kerajaan tidak akan membiarkan Putra mahkota mendapatkan yang terbaik," jelas Tabib pelan, matanya bergerak ke sudut ruangan memastikan tidak ada orang yang mendengarnya.

Bukan tanpa alasan sang tabib berlaku demikian, karena bisa dibaratnya tembok kerajaan memiliki tmata dan telinga sehingga perilaku harus benar-benar dijaga.

"Kenapa kau mengatakannya kepadaku?" tanya Shura.

"Saya merasa anda orang baik," jawabnya.

Shura terkekeh. "Jangan menilai orang dari pertama kali bertemu. Alih-alih baik bisa saja dia orang jahat. "

"Namun, tebakkan saya tidak pernah salah," ujar Tabib.

Shura menilai tabib di depannya, menurut Shura orang ini bukan hanya tabib biasa melainkan lebih dari itu. Apa pria berjanggut putih ini adalah seorang peramal?

"Nona, sebaiknya kita kembali," ajak Zeo

Dia melirik Zeo yang sedikit gelisah dan Lycato yang tenang.

"Tunggu, jelaskan dulu kepadaku," pinta Shura.

"Anda ingin mengetahui apa?" tanya Tabib tersebut.

"Tabib," tegur Lycato.

Tabib menggangguk. "Percaya kepada saya, nona ini orang baik. Nona, cepat katakan apa yang ingin anda ketahui?"

"Semua yang harus aku ketahui sebagai peserta seleksi," jawab Shura.

"Awal seleksi diadakan atas saran dari Pangeran kedua karena kasihan putra mahkota dibenci oleh seluruh wanita," jelas Tabib.

Dia memukul Tabib dengan kipasnya. "Omong kosong, Wanita-wanita itu buktinya."

"Apa anda percaya mereka benar-benar tulus mengikutinya? Kalau bukan harta dan martabat yang diberikan Raja kepada orang yang terpilih wanita-wanita tersebut tidak akan mau," ujar Tabib.

Wanita akan menjauh saat melihat Putra mahkota bukan ditakuti melainkan dibenci. Bukan disanjung seperti Pangeran yang lainnya tapi dihina. Tak segan rakyat melemparkan tomat atau sayuran busuk ketika Lycato melintas.

Mengadu kepada Raja, bukan rakyat yang diberikan hukuman melainkan putra mahkota yang disalahkan. Shura bangkit melihat para wanita yang sedang berlomba membuat hidangan yang menarik.

"Tak aku sangka. Ursula ternyata sangat buruk," batin Shura.

Matanya tidak sengaja bersitatap dengan Lycato, tidak ada yang dirinya rasakan membuat Shura penasaran dengan Putra mahkota tersebut.

"Anda harus menjaga diri karena Para Pangeran bisa saja mencelakai anda," pesan Tabib.

"Berapa banyak yang sudah jadi korban?" tanya Shura.

Tabib dan Zeo saling bertatapan curiga. Sedangkan Lycato masih di posisinya.

Dia mengigit bibir bawahnya lalu berkata, "Pasti ada korban 'kan? Bukannya mereka tidak menginginkan yang terbaik untuk Putra mahkota."

"Ah, ya. Selalu ada korban," jawab Zeo.

"Aku ingin bertanya tiga seleksi terakhir itu apa saja?" tanya Shura menatap Zeo.

"Lomba memanah, berkuda dan berburu," jawab Zeo lugas.

"Apa?!" teriak Shura.

Sadar dengan kelakuannya dia meminta maaf. Tiga seleksi terakhir seperti seleksi menjadi pengawalnya.

"Siapa yang mengusulkan ide ini?" tanya Shura.

"Ratu Cremon," jawab Zeo.

"Apa tidak ada ide yang lebih masuk akal," gerutu Shura.

"Memangnya anda memiliki ide yang masuk akal?" tanya Lycato.

Shura mengangguk. "Seperti lomba Memijat putra mahkota, memberikan kepuasan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pendampingnya."

Zeo menepuk kening. "Putra mahkota tidak menyukainya."

Dia mengernyit. "Tapi dia suka perempuan kan."

"Suka pun tidak akan mau bersama dengannya. Dua kali hatinya dipatahkan oleh orang yang Putra mahkota cintai," jelas Zeo miris.

Sebagai orang yang bersama Lycato dari kecil tentu Zeo sering tahu lebih banyak. Dibandingkan bahagia Lycato lebih banyak mendapatkan kesedihan penolakan dan ancaman.

Tiba-tiba Seorang pria datang berbisik kepada Lycato dan Zeo, dia tidak mendengarnya tetapi melihat wajah tegang Zeo pasti ada sesuatu yang sudah terjadi.

"Anda tunggu di sini," ucap Zeo.

"Aku ikut," sahut Shura.

"Tidak bisa kaki anda terluka," sahut Lycato.

"Justru karena aku terluka aku ikut. Bagaimana kalau aku di sini lalu tiba-tiba ada yang datang, aku yang lemah ini tidak dapat melakukan apapun," jelas Shura berusaha terlihat selemah mungkin.

Zeo meminta persetujuan Lycato dan pemuda itu terpaksa setuju lalu menuntunnya berjalan, sakit kakinya sedikit dia tahan agar tidak menyusahkan Zeo dan pria yang berjalan di depannya. Mereka keluar kerajaan.

Mereka sampai di tanah kosong, dia mengernyit melihat lima pengawal yang memiliki satu tangan. Ada tanah yang sudah digali dan kain putih di atas gerobak yang entah menutupi apa.

"Abaikan saja gadis itu," ujar Zeo menunjuk Shura.

Kain yang menutup gerobak dibuka, lima mayat perempuan dengan wajah berwarna biru dan darah mengering dari telinga. Shura menutup hidungnya karena tidak tahan dengan bau anyir dari darah dan menutup mulutnya agar tidak muntah.

"Mereka ditemukan di luar kolam milik Pangeran Castor, setelah diselidiki mereka pendekar," jelas pria berambut cokelat memiliki bola mata berwarna ungu tua. Tingginya sepantaran dengan Zeo dan memiliki tattto bunga terukir di tangan kirinya

"Kau yakin hanya lima orang, Fores?" tanya Lycato menyentuh tangan mayat tersebut.

"Betul Pangeran. Lima orang ini saja yang utuh," jawab Fores.

"Utuh? Ada mayat lainnya?" tanya Shura keras.

Fores mengangguk. "Dua lagi sudah menjadi makanan peliharaan Pangeran Xi dan tiga lainnya dibawa Pangeran Xavy."

"Pangeran yakin, adik anda manusia?" tanya Shura.

Marera [Istri Putra Mahkota]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang