Chapter 10 : Lilin Hitam

149 23 0
                                    

Mereka berada di halaman depan kamar Shura. Dua buah lilin hitam sudah selesai dibuat. Shura menaruh lilin tersebut di atas meja kayu. Shura mengambil mangkuk kecil dan menaruhnya di tengah dekat lilin.

"Aku butuh setetes darahmu," ucap Shura kepada Lycato.

Lycato meneteskan darah dari jari telunjuk, Shura pun meneteskan darahnya. Dia menggoyangkan mangkuk kecil itu supaya darahnya tercampur.

"Hilla, kau pergi berkenala pasti banyak yang sudah kau dapatkan," tutur Shura.

"Apa yang Putri inginkan?" tanya Hilla.

"Sesuatu untuk menangkap orang dengan kemampuan tinggi," jawab Shura.

"Aku memiliki jimat," balas Hilla mengeluarkan dua lembar kertas jimat tersebut dari tas jeraminya.

"Bagus! Aku mau menangkap si rambut putih sialan itu," ujar Shura menyeringai.

Gadis itu memejamkan matanya sembari  mengetuk-ngetuk meja. Dalam sekian detik udara malam berubah semakin dingin mencekam, angin berhembus berusaha memadamkan api di lilin hitam.

Lycato merapatkan jubah karena dinginnya tidak biasa, seperti ada sensasi es menusuk ke setiap tulang di tubuhnya. Api di lilin-lilin itu bergerak cepat mengikuti arah angin tapi tak padam.

"Sial! Siapa yang memanggilku dengan cara hina ini!"

Hazel mengumpat sembari menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor, dia sedang tertidur pulas di atas pohon sembari mendengar alunan nada malam tapi mendadak sesuatu yang panas seolah menjerat leher dan menariknya ke tempat ini.

"Kau semakin tampan saja," sinis Shura.

"Kalian yang memanggilku?!" Hazel menghentakkan kakinya.

Namun, tak ada yang terjadi. Dia melemparkan serulingnya ke arah Shura tapi suling itu melayang di udara sebelum mengenai Shura.

"Aku tak suka bermain dengan kalian!" desis Hazel menutup matanya.

Hazel berulang kali mencoba pergi, sayangnya kekuatan yang dia miliki mendadak lenyap.

"Kau tak akan bisa keluar dari sana," ucap Shura.

"Mustahil!" sembur Hazel melotot, memandangi tempatnya berdiri.

Laki-laki berambut putih itu berada di dalam sebuah lingkaran pengepungan. Jika orang di dalamnya mengeluarkan kekuatan makan energinya akan netral dan paling parah terserap.

"Pangeran Lycato, istrimu ternyata bukan orang biasa!" seru Hazel sarkas.

"Aku bisa melepaskanmu asal kau menyembuhkan semua lukaku," tutur Shura tersenyum miring.

"Tidak mudah sembuh dari pukulan seruling putih kebanggaanku," sahut Hazel bangga.

"Karena itu kau perlu melakukannya!" tegas Shura.

Hazel mencebikan bibir, dia anti diperintahkan oleh orang apalagi manusia-manusia lemah ini. Sebenarnya luka Shura dapat sembuh tapi membutuhkan waktu lama. Paling Hazel sukai adalah tidak ada seorang pun yang dapat menyembuhkannya bahkan tabib nomor satu pun tak mampu.

"Dia sangat menjengkelkan, bisa aku melukainya?" tanya Shura kesal.

"Bisa, karena kekuatannya mulai melemah," jawab Hilia.

Shura melirik suaminya. Lycato mengangkat tangan kiri dan Zeo melesat menggores sedikit lengan Hazel.

Pedang Zeo meneteskan darah ke Hazel ke mangkuk kecil. Shura membakar darah di mangkuk itu dengan api dari lilin hitam.

"Jangan bermimpi! Ritual, jimat bahkan perjanjian apapun tak berpengaruh kepadaku!" seru Hazel angkuh.

"Banyak yang pernah mencoba mengikatnya tapi tak ada yang berhasil. Pria rambut putih sulit ditaklukkan," timpal Lycato.

Dari laporan yang Lycato terima, banyak orang hingga para raja, pengelana, penyihir dan sesama iblis pun ingin menaklukkan Hazel. Namun, sangat sulit tak jarang banyak yang menghilang di hutan tempat Hazel tinggal tanpa ditemukan.

"Karena itulah dia sombong," komentar Zeo.

"Aku sombong itu sangat wajar. Aku tak terkalahkan," sahut Hazel memutar-mutar serulingnya.

"Hilia hilangnya jimatnya, biarkan dia keluar," perintah Shura.

"Aku tahu kau akan melakukannya," kekeh Hazel puas.

Hazel terbebas dan perangkap jimat tersebut. Dia mementingkan kedua tangannya dengan gaya yang pongah, seolah meledek mereka.

Hazel menghilang.

"Putri membiarkannya pergi setelah susah payah memanggilnya?" tanya Lycato bingung.

"Dia tak pergi dengan tangan kosong," jawab Shura menyeringai.

"Malam semakin larut, kembali ke kamarmu dan tutup semua jendela. Kunci semuanya," suruh Lycato.

"Kenapa aku harus mengunci semuanya?" tanya Shura penasaran.

"Tempat tinggalku tak hangat seperti milik pangeran lainnya, banyak angin malam yang masuk dan melewati tempatku sebelum ke tempat lainnya," jelas Lycato.

"Aku tak bisa tidur sendiri," sahut Shura menggaruk belakang lehernya.

"Zeo bisa menyiapkan tempat untuk Hilia di kamarmu."

Shura tersenyum lebar, dia sedikit membungkuk, "Terima kasih, Putra Mahkota."

Tangan kanan Lycato itu menyiapkannya dengan cepat. Shura masuk ke kamarnya dan Hilia langsung menurut mengunci semua jendela dan pintu, menutup tirai dan menyalakan lilin-lilin.

Shura meraba ranjang miliknya, kemudian mengambil buah-buahan dan memakannya santai.

"Putri sebaiknya cepat berganti pakaian."

"Siapkan saja, beri aku waktu sebentar lagi," jawab Shura.

Tanpa diminta Hilia melepaskan aksesoris rambut dan membasuh wajah, kaki serta tangan Shura hingga benar-benar bersih. Hilia memberikan pakaian yang biasa digunakan untuk tidur. Mau tidak mau Shura memakainya.

"Hilia, kau boleh makan semua makanan di meja kecuali buah anggur. Tak perlu sungkan," tutur Shura.

"Terima kasih, Putri!" sahut Hilia tak membuang kesempatan karena dia sudah sangat lapar.

Dia duduk bersila, memejamkan mata dengan tangan kanan memasukkan satu persatu anggur ke mulutnya.

"Menurutmu tempat ini aman untuk ditinggali?" tanya Shura.

"Terkadang tempat yang nampak menyeramkan lebih aman dibandingkan tempat terang penuh bunga," tutur Hilia.

Marera [Istri Putra Mahkota]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang