Tak Hanya Dirimu

14 1 0
                                    

***

Bernaung pada hunian mewah yang tak layak disebut rumah, melainkan istana. Untuk mengisi perut, hanya perlu bersuara, maka meja akan dipenuhi segala sajian bergizi penuh kelezatan. Tubuh pun tak pernah lepas dari berbagai kain berkualitas tinggi yang terjahit membentuk sandangan modis.

Ketika hendak bepergian, mengkilapnya bodi mobil seharga milyaran sudah menyilaukan mata di depan istana. Untuk jajan dan berfoya-foya, hanya diperlukan tangan untuk menggesek kartu.

Sayangnya, limpahan kemewahan tak satu pun bisa sepenuhnya membahagiakan gadis bernama Gritty Briela itu. Keluhan dari mulutnya masih menghiasi hari-hari hidup.

"Kamu nggak bakalan pernah tau rasanya kehilangan seseorang yang kamu cintai sampai kamu benar-benar mengalaminya," desah Gritty mengeluhkan sumber ketidakbahagiaannya.

"Yang kamu rasa, aku bisa ikut merasakannya. Apapun itu, hidup harus tetap dijalani, Gri. Aku yakin ayah kamu pasti nggak bakalan bisa tenang di surga sana, kalo ngeliat anaknya sedih terus kayak gini." Seorang pria berdiri di sisi Gritty menatapnya prihatin.

"Kamu cuman bisa ngomong, Ken, tapi kamu nggak pernah ngerasain betapa nggak adilnya Tuhan." Air mata Gritty terkumpul. Pelupuknya sendu. "Ngelihat orang lain bisa manggil ayah, aku iri, Kenny, aku iri. Dan aku ngerasa jadi orang paling nggak beruntung."

Tanpa kata, pria berwajah rupawan itu lantas meraih tangan mulus bidadari cantik yang sedari tadi mengeluh.

"Ngapain sih, Ken? Kita mau ke mana?"

"Ikut aja!" ajak Kenny. Ia genggam erat tangan mulus wanita itu hingga masuk ke dalam mobilnya.

Sedan merah mengkilap kemudian dipacu Kenny hingga tiba di sebuah jembatan. Gritty turut dalam kepasrahan, mengikuti langkah pria yang tangannya tak lepas genggam.

"Kita ngapain di sini, Kenny?"

Permintaan keterangan dari Gritty tak bisa memicu hirau dari Kenny. Pria itu fokus melangkah melewati rerumputan tinggi. Gerak kakinya baru berhenti ketika tiba di bawah jembatan.

Kolong jembatan itu dindingnya dipenuhi coretan-coretan abstrak. Itu menjadi hiasan kamar bagi mereka yang tinggal di sana. Orang-orang dengan pakaian lusuh dan penampilan berantakan di sana menatap dua orang yang datang.

"Mas Kenny," sapa salah satu perempuan yang sedang berdiri menggendong anaknya yang terus menangis.

Sontak semua mata berpaling ke arah Kenny dan Gritty. Mata mereka tertuju pada sosok cantik di samping Kenny. Mata mereka tak berpaling, seolah ada sesuatu yang memicu tatapan heran di mata puluhan orang penghuni kolong jembatan tersebut. Entah apa alasannya, mungkin karena Gritty terasa asing dalam penglihatan mereka, ataukah kontrasnya penampilan mereka dan wanita cantik itu.

Hanya berdiri mematung dengan air muka iba, Gritty begitu tersentuh melihat pemandangan menyedihkan di hadapannya. Ia biarkan Kenny mendekati orang-orang dengan rupa tak terawat yang duduk beralaskan karton.

"Ini namanya Gritty, Bu, pacar saya." Kenny memperkenalkan wanita cantik itu.

Para penghuni kolong jembatan langsung menyapa Gritty. Dibalaslah oleh wanita berambut hitam legam itu dengan senyum ramah.

"Sebentar, ya, Bu." Kenny meminta permisi dan lantas meraih tangan pacarnya.

"Sejak kapan mereka kenal sama kamu?" tanya Gritty ketika tangannya dituntun sang pacar untuk berjalan.

"Udah setahun lebih kayaknya. Sejak aku ketemu sama dua orang anak laki-laki, sekitar empat atau lima tahunan. Yang satu namanya Dio, satunya lagi Rusli. Yang namanya Rusli pingsan pas lagi ngamen, kebetulan aku di sana pas dia pingsan, jadi dia aku bawa ke rumah sakit, lalu aku antar pulang ke sini."

Penggalan's Kisah Dalam MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang