Yang Ada di Balik Tembok Fiksi

1 1 0
                                    

***

Kara nama gadis itu. Sebatang pohon tumbang didudukinya. Si malang yang termalang. Rumahnya telah jauh tertinggal. Merampas hunian ingin dilakukannya. Sendiri di tengah hutan, keluarga beruang sajalah pengelilingnya. Apakah yang bisa dirampasnya?

Di tengah ketegangan, sebuah monolit persegi panjang hitam nan mengkilap-yang sebentuk dan seukuran pintu rumah-tiba-tiba turun dari langit dan berdiri kokoh di depan Kara. Ajaibnya, keluarga beruang seketika menjauh. Situasi ini aneh bagi Kara yang hanya tercengang heran.

"Apa yang kau lakukan di sini, Gadis Kecil?" tanya monolit hitam itu. "Mengapa kau sendirian di tempat seperti ini?"

"Aku tersesat."

"Itukah penyebab wajah mungilmu terlihat gundah?"

"Bukan."

"Lantas?"

"Bungaku dirampas." Kara berterus-terang.

"Siapa pelakunya?"

"Tangan Serakah." Kara menunduk, lalu dengan sebatang besi kecil yang runcing ia lanjut mengukir tulisan di atas pohon tempatnya duduk. Ukiran itu memang sempat tertunda akibat kedatangan keluarga beruang.

Sedang di samping Kara, monolit hitam itu kini bergerak lebih mendekat, mungkin ingin menjangkau tulisan yang terukir di batang pohon tumbang tersebut.

Aku meninggalkan setangkai bunga milikku tanpa meminta siapapun untuk merawatnya
Saat kupergi, ada tangan lain yang datang dan merawatnya tanpa kupinta
Ketika aku kembali, bunga itu seolah bukan lagi milikku
Hak-ku atasnya ditentang Tangan Serakah
Dalihnya adalah karena bunga itu sudah ia rawat

"Memangnya pernah kusuruh untuk dirawat?"

"Harusnya kau berterima kasih karena bunga itu sudah kurawat," tuntut tangan serakah.

"Mungkin maksudmu merawat dengan pamrih ingin merampasnya." Aku melengkapi kalimatnya sebelum lanjut berkata, "Aku lebih memilih bunga itu layu dan mati dibanding ada tangan tanpa keikhlasan merawatnya."

Seketika itu juga si Tangan Serakah terdiam...

Sebenarnya keseluruhan tulisan itu belum selesai diukir, tapi Kara sudah menghentikannya karena ada yang mengusik ... atau membantunya menyelesaikan.

Kalimat "seketika itu juga si Tangan Serakah terdiam" tiba-tiba disambung oleh ukiran kalimat "Harusnya ia menggunakan tangan serakahnya itu untuk menutupi wajahnya yang tak sanggup menampung limpahan rupa malu". Kalimat sambungan tersebut diukir oleh sinar laser yang bersumber dari monolit hitam itu.

"Kau cukup kesulitan mengukir dengan besi itu. Aku membantu agar puisimu lebih cepat selesai."

"Ini bukan puisi."

"Lantas?"

"Hanya ungkapan kekesalan terhadap si Tangan Serakah."

Mendadak, pada monolit hitam itu, tampak proyeksi dari sepasang tangan tengah melompat-lompat girang seraya mengoper setangkai bunga secara bergantian satu sama lain.

"Inikah Tangan Serakah yang kau maksud?" tanya monolit hitam.

Kara mengangguk. "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Keajaiban dariku sudah ditakdirkan untuk menjadi misteri bagi manusia, termasuk kau, Gadis Kecil."

"Kau ini apa? Setahuku, benda sepertimu tak bisa berbicara."

"Keberadaanku bukan untuk kau pertanyakan. Yang jelas, aku lebih lama darimu menghuni planet ini, juga lebih lama dibandingkan ayah-ibumu, atau kakek-nenekmu, dan bahkan sanakmu yang lain di atas mereka."

"Memangnya sejak kapan kau datang ke Bumi ini?"

"Sejak planet ini hanya dihuni oleh primata. Pertama kali aku tiba di planet ini, aku tak melihat satupun kaummu, hanya sekumpulan primata yang kujumpai."

"Ah, sudahlah. Pembicaraan ini makin kemana-mana. Dan semuanya terasa percuma, bicaramu yang panjang lebar sama sekali tak menjawab pertanyaanku tentang siapa dirimu."

"Kau berpikir aku ini apa? Itulah jawabannya."

"Aku pusing memikirkannya." Kara mengernyitkan kening. "Ada hal penting lain yang harus lebih kupikirkan."

"Hal penting apa?"

"Kau punya keajaiban, 'kan? Sekarang, bisakah keajaibanmu itu membantuku mendapatkan kembali bungaku yang dicuri?"

"Mengapa tak biarkan saja bunga itu jadi bagian dari masa lalumu?"

"Bagaimana jika bunga itu merupakan bagian dari masa depanku?" balas Kara.

"Tampaknya bunga itu cukup berharga bagimu."

"Lebih dari berharga."

"Bagaimana bisa?"

"Sepertinya kau tak berguna di sini." Kara mulai gusar.

"Jika aku tidak turun dan menghampirimu, kau pasti sudah dimakan keluarga beruang."

"Tapi itu tak mengembalikan bungaku."

"Jika boleh, aku ingin sekali lagi bertanya. Mengapa bunga itu sangat berarti bagimu?"

"Kembali saja ke atas sana!" usir Kara muak.

Monolit itu kini menampilkan angka nol, dan satu sampai sembilan sesuai urutan yang terkecil hingga terbesar. Di bawah deretan angka tersebut, terdapat pula deretan huruf yang dimulai dari 'A' hingga 'Z' sesuai urutannya.

"Tekanlah angka '01', lalu disusul huruf 'A', 'S', dan 'O'," perintah monolit hitam.

Kara mematung terperangah. Ia tak paham maksud benda persegi panjang di dekatnya yang makin detik makin me-misteriuskan diri.

"Mengapa masih saja diam? Bukankah kau ingin bungamu kembali?" Nada monolit hitam itu terkesan agak mendesak.

Tanpa lagi berpikir panjang, Kara menuruti perintah monolit hitam itu. Ia menekan sepasang angka dan tiga huruf sesuai yang diminta monolit hitam nan aneh di dekatnya. Dan seketika itu juga sinar benderang yang menyilaukan terpancar dari monolit hitam. Kara tak bisa melihat apa-apa. Tapi, ia berharap setelah pandangannya kembali jernih, bunganya yang dicuri sudah berada di hadapannya.

Penggalan's Kisah Dalam MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang