***
"Kenapa, sih, semua cowok kayaknya demen banget sama si Gisele? Nggak ada satupun yang ngelirik aku. Apa aku nggak cantik kali, ya?"
Menempati meja kantin, aku mengunyah mie goreng sembari mengamati keluhan insecure yang baru saja keluar dari mulut seorang perempuan yang duduk berhadapan denganku.
"Menurut kamu, aku kurangnya di mana, Sat?" tanyanya padaku yang bernama panjang Satria.
Mata indahnya kuselami jauh sembari mulutku bergerak dalam proses menghaluskan makanan. Kutatap dalam diam perempuan itu, perempuan yang adalah teman kampusku. Teman kampus, sahabat, sekaligus makhluk paling cantik setelah ibuku, dialah perempuan yang kupacari dalam khayalku. Ya, hanya sebatas dalam imajinasi kita berpacaran. Janji sejak kecil untuk tak saling jatuh cinta adalah tembok yang membatasi mulutku mengungkapkan apa yang sudah kupendam sejak duduk di kelas dua SMP.
"Satria, dengerin aku nggak, sih? Sahabatnya lagi pengen cerita, nggak ditanggepin malah ngunyah mulu," sungutnya sedikit memonyongkan bibir.
Usai dengan proses mengunyah, aku lalu berujar, "Dia disukai banyak orang, sedangkan lo nggak, dan itu lo jadiin alasan buat insecure?" Aku menggeleng heran diiringi tawa kecut. "Ada-ada aja lo, Taaa, Ta."
"Nggak ada yang lucu!" protesnya memasamkan muka. Selalu demikian sikap yang ditunjukkan perempuan bernama Prita itu ketika dia kubuat kesal. "Aku tau, dia emang cewek paling populer se-kampus, tapi masa iya, semua cowok larinya ke dia? Udah kayak nggak ada cewek lain aja di kampus."
"Dengar...." Aku menjeda omongan sembari meneguk sedikit air mineral, barulah lanjut berujar, "Ibarat film, dia itu film box office, ditonton banyak orang, tapi kebanyakan cuman ikut-ikutan karena film-nya booming, jadi biarpun nggak suka tetep harus nonton, supaya bisa di-posting di media sosial biar dianggap nge-hits. Beda sama film festival yang non komersial--"
"Bentar, deh," selanya memotong, "Ini kenapa jadi nyambung-nyambungin sama film?"
"Dengerin dulu gue ngomong. Belum juga selesai, udah dipotong-potong aja."
"Ya udah, sorry deh."
"Dia itu ibarat film box office, banyak yang nonton--"
"Nggak usah diulang lagi, kan tadi kamu udah ngomong kalo kebanyakan cuman ikut-ikutan karena film-nya booming, jadi biarpun nggak suka tetep harus nonton, supaya dianggap nge-hits. Gitu, 'kan?"
"Iya, itu film box office, beda sama film festival, biarpun cuman segelintir orang yang nonton, tapi mereka semua orang-orang yang paham akan kualitas, pentingnya lagi diantara mereka nggak ada yang terpaksa nonton, nggak ada kepura-puraan. Mereka nonton karena mereka memang tau kualitas film-nya."
Perempuan yang kucintai tanpa kata itu agak mengernyit, mencerna sebentar kata-kataku, kemudian ia lalu bertanya, "Jadi maksud kamu? Dia ibarat film box office, dan aku film festival gitu?"
"Yap! Film box office banyak ditonton orang yang pura-pura suka, biar kelihatannya nge-hits, beda sama yang festival, ditonton sedikit orang, tapi nggak ada yang pura-pura, karena yang pengen mereka tontonin cuman kualitas, bukan popularitas," sahutku memperjelas.
"Tapi, bukannya box office banyak yang suka karena lebih berkualitas?" Mata bulatnya yang hanya bisa kupuja lewat imaji itu memelas. "Aku rasa, kayaknya emang dia lebih segalanya dibanding sama aku."
"Nggak semua film box office berkualitas, tapi film yang udah layak dimasukan dalam festival, itu udah pasti berkualitas," kataku melempar senyum, berusaha memberikan energi positif untuk membunuh insecure sialan pelemah hati yang selalu terdamba dalam doa di tiap malamku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penggalan's Kisah Dalam Menit
De TodoKumpulan berbagai kisah dalam bentuk one-shot. Mayoritas lebih mengarah ke kisah inspiratif. Singkat dan bermakna. Itu dua hal utama yang ditawarkan konten ini. Copyright © 2021 FLORIFICTION. All Rights Reserved