***
Meja makan marmer nan mengkilap itu menampung makanan dan minuman berbagai jenis, menemani sepasang kekasih yang baru bertunangan tiga minggu lalu, dan akan melangsungkan pernikahan dalam dua bulan mendatang.
Pencahayan minim dari lampu kecil di sudut ruangan yang berteman lilin di atas meja makan, menambah kesan romantis dalam suasana perayaan tahun ke tujuh hubungan pacaran mereka yang kini sudah resmi berubah status menjadi tunangan. Sungguh malam dan suasana yang tepat untuk perayaan seperti itu.
Untuk beberapa saat Ramone mengabadikan wajah sang tunangan dalam rekaman video di ponselnya sebelum ia beralih menyetel Für Elise dari Ludwig van Beethoven. Alunan piano dalam instrumen klasik yang paling terkenal itu mendayu menyamankan telinga.
Dengan senyum, Ramone bergerak kembali ke meja sembari memamerkan sedikit tarian kecil yang kaku. Ia kemudian mengambil duduk tepat di sisi kanan Sheena-perempuan yang paling ia cintai, tentu saja selain ibunya.
Ramone melirik sang tunangan, lalu dengan senyum manisnya ia mulai berujar, "Aku teringat tujuh tahun lalu, saat kencan pertama kita setelah resmi menjadi sepasang kekasih, suasananya hampir sama seperti malam ini, bedanya malam itu kita di restoran."
Detik setelahnya, bibir tipis Ramone mulai melukis senyum. Pria itu larut dalam kenangan. Angannya memundurkan waktu tepat pada tujuh tahun sebelumnya, saat di mana Sheena mengucap terima kasih dengan senyum yang mengembang malam itu.
"Terima kasih untuk apa?" tanya Ramone balas menatap dengan senyum penuh arti.
"Untuk malam ini, malam yang kujanjikan takkan pernah bisa tercecer dalam bagian memoriku yang terlupakan."
Uraian kata mesra itu lantas dibalas Ramone yang mengatakan, "Melupakan malam ini bukanlah takdir memoriku." Senyumnya memekar, tak hanya dalam kenangan, tapi juga realitas kini.
Senyum penuh arti tersebut baru memudar dari paras rupawan Ramone ketika ia kembali ke realita setelah dikagetkan oleh Sheena yang berkata, "Aku harus pulang sekarang!"
"Kenapa buru-buru? Kita bahkan belum memulai makan malamnya, Sayang."
"Aku bilang sekarang, Sayang!"
"Baiklah," pasrah Ramone walaupun tak paham dengan perilaku tunangannya yang dirasa aneh itu.
Sejenak Ramone mengamati paras cantik idamannya. Sungguh berbeda malam ini. Tatapan perempuan itu mengarah dingin pada Ramone. Itu tatapan tak biasa, bisa dibilang tatapan paling aneh yang pernah diterima Ramone dari Sheena.
Meski demikian, perasaan Ramone yang terlalu besar pada pujaan hatinya itu, mampu meruntuhkan segala spekulasi buruk dalam benaknya. Ramone bahkan masih bersikap romantis seperti biasa ketika mereka sudah dalam perjalanan.
Sembari mengemudikan mobilnya, Ramone melirik perempuan yang tertidur dalam posisi duduk di sampingnya itu. Ramone melepas satu tangannya dari kemudi mobil, lalu meraih ponsel dari dashboard dan mulai merekam wajah Sheena sembari tersenyum geli.
Selesai dengan rekaman beberapa detik tersebut, Ramone lalu mengusap puncak kepala tunangannya dengan belaian penuh keromantisan.
Tiba-tiba saja Sheena terbangun. Wanita berambut pirang itu lantas berkata, "Aku pikir kita sudah sampai."
"Sebentar lagi," sahut Ramone yang tak memudarkan senyum. Matanya kembali tertuju lurus ke arah jalan. "Melihatmu terlelap di sampingku saat kita bersama dalam mobil, aku jadi teringat saat pertemuan pertama kita. Kau pun masih mengingatnya, bukan?"
Hampir sepuluh detik terlewati, tak ada tanggapan dari Sheena, Ramone kembali memalingkan muka, hatinya sontak resah melihat sang tunangan yang menatap lurus ke depan dengan tatapan dingin, seolah tak menghiraukan keberadaan Ramone.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penggalan's Kisah Dalam Menit
AcakKumpulan berbagai kisah dalam bentuk one-shot. Mayoritas lebih mengarah ke kisah inspiratif. Singkat dan bermakna. Itu dua hal utama yang ditawarkan konten ini. Copyright © 2021 FLORIFICTION. All Rights Reserved