III

147 23 3
                                    

Aleena menelan ludahnya. Tidak semudah itu membongkar identitasnya. Baik sebagai jaksa maupun sebagai anggota organisasinya. Bagaimanapun juga Druig orang asing, siapa yang bisa menjamin dia bisa keluar dari desa ini hidup-hidup? Atau setidaknya masih membawa tubuh yang utuh. Dalam kepalanya, banyak kemungkinan terburuk yang Aleena pikirkan jika memang terpaksa membongkar rahasianya.

"Baiklah, agar impas. Kau juga harus menceritakan tentang dirimu dan desa ini." ujar Aleena. Druig kembali memandangnya dengan tajam, membuatnya sedikit kesal dan ingin menonjok wajah pria itu.

"Kau sudah tahu namaku, bukan kah itu cukup?" sahut pria dengan iris mata biru itu. Aleena mendengus kesal mendengar jawaban itu.

"Bagaimana kau menjelaskan orang-orang yang selalu mengikuti perintahmu, telepati atau apapun itu?"

"Kau tidak akan mudah percaya jika kujelaskan." Jawab Druig lagi. Tentu saja jawaban itu membuatnya bertambah kesal. Pertukaran informasi tentang identitas ini tidak seimbang.

"Oke, Nama asliku Aleena. Aku seorang jaksa, aku memang bekerja di sebuah organisasi tapi tak bisa kukatakan padamu. Intinya, aku tidak bermaksud jahat, aku justru berusaha membantu orang-orangmu yang menjadi korban. Cukup?" Aleena menyelesaikan penjelasannya dalam satu tarikan nafas dan nada tegas.

"Kau membawa senapan saat di penginapan." sahut Druig.

"Aku membawanya karena berjaga-jaga, jaksa punya izin untuk membawanya. Lagi pula ini daerah berbahaya, apa aku salah membawa alat pertahanan diri?" bantah Aleena dengan percaya diri.

Druig masih menatapnya dengan tatapan kesal, untuk pertama kalinya ia tidak bisa mengendalikan pikiran manusia sesuai keinginannya. Ditambah manusia di hadapannya ini keras kepala dan selalu mendebatnya. Di sisi lain, ia bisa saja menceritakan tentang identitasnya sebagai seorang eternal, toh gadis dihadapannya terlihat skeptis. Namun, ia masih dibuat bingung dengan kemampuannya mengendalikan pikiran yang tidak berlaku pada gadis itu. Seolah gadis itu memiliki kekuatan untuk memblokir kemampuan Druig untuk mengendalikan pikirannya.

"Sepertinya kau masih menyembunyikan sesuatu. Kau orang pertama yang tidak terpengaruh kekuatanku, bisa saja kau memiliki kekuatan kan?" selidik Druig pada Aleena, sedangkan gadis itu menahan amarahnya karena kesal terus didesak membongkar identitasnya.

"Apa kau juga akan percaya dengan penjelasanku?" tanya Aleena, membalikan pertanyaan Druig sebelumnya.

Druig meletakkan senapan laras panjang yang sedari tadi ia pegang, menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil masih memandangi Aleena. Manusia di hadapannya ini membuatnya tak berhenti merasa kebingungan sekaligus kesal.

"Ceritakan saja." jawab Druig dengan nada memerintah. Aleena mendengus kesal sebelum menceritakan tentang kekuatannya.

"Aku bisa mendeteksi kebohongan, well itu kemampuan dasar jaksa tapi aku benar-benar bisa mengetahui seseorang berbohong. Seperti ada sinyal energy yang menjalar padaku saat ada orang yang berbohong. Dan, aku bisa membaca memori orang lain melalui sentuhan langsung-" Aleena melirik pada Druig, memperhatikan reaksinya. Ekspresi laki-laki itu tetap datar, sekali lagi membuat Aleena sangat ingin menghantam wajah (yang cukup tampan itu) dengan senapan laras panjang di sebelahnya.

"-Ehem, aku sempat mencoba membaca memori salah satu orang desa. Tapi-"

"Apa yang kau lihat?" potong Druig.

"Tapi aku merasa memorinya terasa aneh, seperti terlalu rapi dan seolah tidak ada trauma yang dialami. Aku jarang membaca memori serapi itu." jawab Aleena dengan nada datar. Ia muak dikorek-korek informasinya oleh orang asing, ditambah terjebak di desa yang asing dan di depan laki-laki aneh yang bisa mengendalikan pikiran manusia di satu desa.

Be With You | Druig's FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang