Aleena merasakan perasaan tak nyaman, entah apa. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Druig. Di antara kepanikan yang menyebar nyaris di seluruh dunia, karena kemunculan sosok tangan besar berikut dengan seperempat bagian kepala dengan enam lubang mata yang keluar dari laut lepas, Aleena merasakan hal lain. Sesuatu tentang Druig.
Gadis itu bergegas mencari cara untuk mendekat ke wilayah kemunculan Tiamut. Meskipun pemerintah di berbagai negara melarang ada yang mendekat, Aleena tetap nekad untuk menerobos ke sana.
Dibantu oleh Rai, menggunakan helikopter yang dipiloti berdua bersamanya, Aleena mendekat ke kepulauan kecil yang terletak di tengah-tengah laut dengan gunung purba yang telah terbelah. Memunculkan jemari raksasa milik Tiamut.
"Aleena! Ini berbahaya! Seluruh pulau itu akan hancur!" teriak Rai di sebelah Aleena, angin di sekitar pulau itu bertiup sangat kencang. Membuat Rai dan Aleena nyaris kehilangan kendali pada helikopter yang mereka tumpangi.
"Setidaknya bawa aku ke bibir pantai itu! Aku harus memastikan sesuatu!" sahut Aleena, bersikeras tetap mencari Druig. Rai hanya mengangguk mengikuti permintaan Aleena. Begitu helikopter mereka mendekat ke pantai yang dimaksud, Aleena melihat Phastos yang sedang menahan Ikaris. Ia tak melihat eternals yang lain, membuatnya segera menurunkan helikopter itu ke pantai, menjaga jarak dari Ikaris dan Phastos yang terlihat sedang berkonflik.
Aleena segera berlari ke arah mereka setelah meminta Rai tetap berjaga di helikopter. Melihat Ikaris yang terus berusaha melepaskan diri dari alat kosmik yang dibuat Phastos untuk menahannya.
"Alexandra?!? Apa yang kau lakukan di sini?!? Apa kau sudah gila?!?" tanya Phastos panik begitu menyadari keberadaan Aleena.
"Kemana yang lain? Di mana Druig?" tanya Aleena panik tanpa memperdulikan pertanyaan Phastos. Wajah Phastos sejenak menegang, tak berani menjawab pertanyaan Aleena.
"Percuma kau mencarinya. Sebaiknya selamatkan dirimu sendiri, nona!" sahut Ikaris dengan nada yang tak menyenangkan. Ikaris kembali mencoba melepaskan diri namun gagal.
"Phastos! Lepaskan aku! Tidak ada yang boleh menghentikan emergence!" teriak Ikaris pada Phastos.
"Sebaiknya kau diam saja Ikaris. Kau terlalu meremehkan Sersi dan sedari dulu aku ingin membuatmu begini! Dasar sombong!" sahut Phastos dengan kesal. Aleena menatap pertengkaran itu dengan bingung, dalam pikirannya tetap mencemaskan Druig.
"Phastos, kumohon. Beritahu aku di mana kau terakhir melihat Druig?" tanya Aleena mendesak Phastos.
Phastos menatapnya sejenak, lalu menghela nafas berat sebelum menjawab. Terlihat ia tak nyaman menceritakan keadaan terakhir Druig. Membuat Aleena memikirkan hal-hal yang buruk terjadi pada Druig.
"Sebelah sana, di bukit batu yang runtuh. Berhati-hati lah!" jawab Phastos, Aleena mengangguk dan segera berlari ke arah yang ditunjuk.
Beruntung ia tak lupa membawa dua katana-nya untuk berjaga-jaga ketika memutuskan menyusul Druig. Meskipun ia tahu kekuatannya tak sebanding dengan para eternals, tapi setidaknya ia punya alat untuk membela diri.
Aleena berlari secepat yang ia bisa menuju bukit berbatu yang terlihat runtuh. Sesekali menghindari lemparan batu dari erupsi gunung berapi di pulau itu yang semakin parah. Begitu sampai di reruntuhan bukit berbatu itu, hati Aleena terasa sesak. Menemukan separuh tubuh Druig tertutup reruntuhan, tak sadarkan diri.
"Oh, tidak..." gumam Aleena, segera berusaha menyelamatkan tubuh Druig dari reruntuhan. Setelah membawa tubuh Druig ke tempat aman dari reruntuhan bukit batu, Aleena berusaha menyadarkan Druig.
"Druig! Sadarlah! Kumohon!" ujar Aleena sambil menepuk pipi Druig. Mata Druig masih terpejam. Aleena sudah memastikan Druig masih bernafas namun belum sadar. Entah apa yang terjadi pada Druig hingga ia tertimbun reruntuhan dan tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be With You | Druig's Fanfiction
FanfictionTernyata, ada baiknya aku tidak bisa membaca dan mengendalikan pikiranmu. Aku jadi bisa terus punya alasan untuk dekat denganmu. [Druig] Aleena Ambrose. Membaca memori orang lain tak selamanya menyenangkan, karena manusia selalu menyimpan traumanya...