Aleena mengembalikan ponsel pemilik penginapan setelah tahu Druig juga sedang berada di distrik yang sama dengannya. Ia berjalan keluar penginapan dan mencari sosok Druig di antara keramaian. Dari balik kacamata hitamnya, pandangan Aleena menangkap sosok Druig yang sedang berdiri di seberang jalan. Laki-laki itu memegang ponselnya dengan kebingungan. Kemudian pandangan mereka bertemu.
Aleena tersenyum dari balik maskernya. Ia berjalan menghampiri Druig dengan semangat. Saat sudah sampai dihadapan Druig, laki-laki itu masih menatapnya dengan terkejut dan bingung. Aleena kemudian ingat, tampilannya sekarang sangat berbeda dengan sosoknya saat terakhir bertemu Druig. Rambutnya kini berubah menjadi merah gelap dan ia membuat tindik di telinganya yang kini tertutup rambutnya yang tergerai sebahu.
"Aleena?" ujar Druig sambil menatapnya dengan pandangan terkejut. Aleena melepas kacamata hitamnya dan masker di wajahnya, menyunggingkan senyum sambil menjawab panggilan Druig.
"Ya, ini aku." ujar Aleena. Selanjutnya adalah hal paling mengejutkan yang tidak Aleena sangka. Druig menariknya dalam pelukan yang cukup erat. Membuat jantung Aleena berdegub tak karuan. Wajahnya mulai memanas. Tapi perlahan, ia pun membalas pelukan itu. Tubuhnya merasakan kehangatan dari tubuh Druig.
Suara dari lubuk hati Aleena menginginkan pelukan ini lebih erat dan lebih lama. Seolah pelukan ini, memang sejak lama ia mau.
"Kau selamat..." bisik Druig. Aleena kembali terkejut.
"Bagaimana dia tahu aku sedang dalam bahaya?" gumam Aleena dalam hati.
Perlahan pelukan itu dilepas Druig. Tubuh mereka saling menjauh. Namun, tangan Druig masih memegang lengan Aleena. Iris mata biru itu memandangi gadis di hadapannya lekat-lekat. Mengamati dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah memastikan Aleena benar baik-baik saja.
"Kenapa kau bisa terluka bersimbah darah?" tanya Druig dengan nada cemas yang terselubung. Meskipun wajahnya menampilkan ekspresi datar, tapi sorot mata dan nada bicaranya jelas menunjukkan rasa cemas.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Aleena keheranan. Druig tidak bisa membaca pikirannya. Jadi tidak mungkin laki-laki itu bisa tahu apa yang Aleena alami.
"Aku mengawasimu, melalui orang-orang di sekitarmu." sahut Druig dengan singkat. Aleena terlihat berusaha mencerna kalimat itu sejenak, lalu mengangguk paham.
Mereka berdua tenggelam dalam diam. Hanya suara keramaian pasar di sekitar mereka. Tangan Druig masih menggenggam lengan Aleena. Druig menyadari itu, menatap sekilas ke lengan Aleena yang ada digenggamannya.
"Ayo ikut aku." Druig menarik lemgan Aleena perlahan. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Druig.
"Kau mengawasiku diam-diam?" tanya Aleena sambil mengikuti langkah kaki Druig. Laki-laki itu mengangguk singkat. Langkah kakinya menjauh dari keramaian pasar dan jalanan distrik. Aleena mengamati sekitar sejenak. Druig mengajaknya berjalan ke desanya, bersama-sama. Tanpa membuatnya pingsan.
Aleena ingin bertanya lagi, tapi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih menikmati berjalan di sebelah Druig, menuju jalan setapak yang tertutup semak belukar. Menuju ke desanya.
~~~**~~~
Sekitar setengah jam lebih Aleena berjalan mengikuti Druig dan kini, mereka berdua sampai di jalan setapak lebih lebar. Mereka mulai memasuki sebuah desa di tengah hutan. Gerbang desa dari dua pohon besar menyambut. Rerimbunan tumbuhan yang menjalar jatuh ke tanah, menghiasi dua pohon besar itu. Tak jauh dari gerbang desa, mulai terlihat pemukiman. Beberapa warga desa sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Beberapa pemuda terlihat sedang memotong kayu dengan kapak dan sekelompok wanita paruh baya sedang merajut baju di teras rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be With You | Druig's Fanfiction
FanfictionTernyata, ada baiknya aku tidak bisa membaca dan mengendalikan pikiranmu. Aku jadi bisa terus punya alasan untuk dekat denganmu. [Druig] Aleena Ambrose. Membaca memori orang lain tak selamanya menyenangkan, karena manusia selalu menyimpan traumanya...