Aleena diam-diam menyelinap masuk gedung pertemuan. Setelah sekitar setengah jam lebih Druig bersama gerombolan tadi berada di dalam sana, mereka keluar satu persatu. Menyisakan Druig sendirian di sana. Sedang duduk termenung, terlihat berpikir keras.
"Druig?" panggil Aleena dengan lembut. Laki-laki itu mendongak sambil menatap gadisnya dengan tatapan yang rumit. Ekspresi wajahnya yang tegang, cemas dan marah bercampur jadi satu. Aleena merasakan gejolak emosi dari Druig.
"Siapa mereka? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Aleena perlahan. Ia duduk di samping Druig sambil mengelus pundak laki-laki itu dengan lembut.
"Tidak menyangka pertemuanku dengan keluarga eternalsku membawa kabar yang tidak menyenangkan," ujar Druig dengan nada yang berat. Duduknya berubah posisi menghadap Aleena, memegang kedua tangan gadisnya dengan lembut.
"Ceritakan jika kau merasa perlu menceritakannya padaku," ujar Aleena sambil tersenyum. Mengelus tangan Druig dengan jemarinya, menenangkan laki-laki itu.
Druig menghela nafas berat sejenak. Lalu memulai ceritanya, dari Sersi, salah satu eternals bersama rombongan tadi memberikan kabar buruk pada Druig. Ajak, pemimpin mereka telah meninggal dunia karena diserang deviant. Kabar selanjutnya, Sersi kini menjadi pengganti Ajak dan ketika berbicara dengan pemimpin mereka, Arishem, mengetahui fakta bahwa mereka ras eternals adalah robot canggih ciptaan Celestial untuk membawa sebuah misi. Misi yang ditanamkan pada mereka adalah melindungi umat manusia dari deviant, tapi sebenarnya adalah untuk menjaga agar energi kehidupan planet bumi terus bertambah sampai titik tertentu sehingga bisa melahirkan Celestial baru, Tiamut.
Druig menjelaskan semua itu pada Aleena dengan nada penuh emosi. Aleena menatap sedih pada Druig yang frustasi.
"Selama ini, eksistensiku bagi pemimpin kami adalah robot canggih untuk membantu lahirnya celestial baru. Rasanya seluruh hidupku adalah kebohongan," ujar Druig sambil memejamkan mata. Berusaha tidak melepas amarahnya pada Aleena, yang tentu saja baru mengetahui hal itu juga.
"Jadi, sebentar lagi bumi akan hancur? Karena Tiamut akan lahir?" tanya Aleena dengan nada setengah bingung. Setitik rasa ketakutan ada di hatinya. Bumi ini segera menghadapi kiamatnya. Dan entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Terlebih, laki-laki yang dicintainya itu juga menghadapi kebimbangan.
"Mereka meminta bantuanku untuk menidurkan Tiamut, sampai nanti kami para eternals menemukan solusi agar umat manusia bisa selamat. Apakah... apakah aku akan sanggup?" tanya Druig putus asa. Wajahnya tertunduk, perasaan frustasi dan amarah semakin menguasainya. Aleena mengelus pundak Druig, kemudian meraih wajah laki-laki itu dengan lembut.
"Kenapa kau takut?" tanya Aleena dengan lembut. Ia tak ingin terlalu menunjukkan rasa terkejut dan ketakutannya pada Druig. Laki-laki itu terlihat lebih frustasi darinya.
"Aku takut kehilangan dirimu, my lady..." sahut Druig dengan nada sedih. Tangannya mengelus tangan Aleena yang ada di pipinya. Merasakan kehangatan Aleena yang menenangkan.
"Sepertinya aku tidak bisa melakukan apapun juga kan?" sahut Aleena sambil tersenyum tipis. Druig menghembuskan nafas berat. Mereka berdua dalam posisi yang sama bingungnya. Druig dengan kebimbangannya untuk membantu misi Sersi dan Aleena yang syok menerima kenyataan bahwa bumi akan kiamat.
"Aku ingin menghentikan emergence, kelahiran Tiamut. Tapi aku tidak tahu apakah aku sanggup menidurkan celestial. Aku tidak punya kekuatan sebesar itu," gumam Druig. Terlihat ia seperti kesal dengan dirinya sendiri.
"Kau belum mencobanya, rekan eternalsmu yang lain pasti membantu kan?" sahut Aleena menenangkan. Druig membuka matanya, menatap wajah Aleena yang tersenyum tipis. Wajah yang belakangan ini terus menemaninya, membuat hari-harinya berwarna dan lebih hidup. Membuatnya merasakan cinta, saling mencintai dan saling melindungi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be With You | Druig's Fanfiction
Fiksi PenggemarTernyata, ada baiknya aku tidak bisa membaca dan mengendalikan pikiranmu. Aku jadi bisa terus punya alasan untuk dekat denganmu. [Druig] Aleena Ambrose. Membaca memori orang lain tak selamanya menyenangkan, karena manusia selalu menyimpan traumanya...