Pagi itu Aleena sudah kembali mengambil kesibukan di aula desa. Membantu warga desa untuk menyiapkan sarapan bersama. Sedangkan Druig sedang membantu warga desa menata meja-meja di aula. Sesekali Aleena bisa merasakan Druig mengamatinya dari jauh dan beberapa kali pandangan mereka bertemu. Gadis itu nyaris tak melepaskan senyum setiap kali bertemu pandang dengan Druig.
"Kau terlihat ceria hari ini, nona." celetuk seorang wanita paruh baya yang sedang mengaduk sup untuk sarapan. Aleena menoleh pada wanita itu, mengerjapkan matanya sejenak.
"Oh, iyakah? Aku hanya merasa hari ini menyenangkan," sahut Aleena sambil mengulum senyum. Melanjutkan kegiatannya membuat telur dadar sebagai lauk tambahan menu sarapan.
"Kalian berdua terlihat cocok, Druig terlihat lebih banyak tersenyum saat bersamamu." timpal wanita lain di dapur aula desa. Aleena menyelesaikan adonan terakhir telur dadar dan membereskan peralatan masak di depannya.
"Memangnya selama ini Druig jarang tersenyum?" tanya Aleena antusias. Beberapa wanita di dapur aula itu mendekat begitu mendengar pertanyaan Aleena.
"Ya, wajahnya selalu serius atau lebih sering tanpa ekspresi berarti. Tapi dia selalu ada untuk membantu kami di desa. Sebenarnya dia laki-laki yang hangat, hanya saja memang tidak banyak menunjukkan ekspresinya," sahut seorang wanita.
"Tapi berbeda begitu kau datang, nona Alexandra. Seperti memberikan alasan Druig untuk tersenyum dan berekspresi lebih banyak," sahut yang lain.
Aleena mengerjapkan matanya mendengar semua cerita itu. Ia tak menyangka, dilihat dari sudut pandang orang lain, kehadirannya begitu berpengaruh pada Druig.
"Kalian berdua sangat cocok," ujar seorang wanita dengan tulus. Aleena tersenyum mendengar itu. Hubungannya dengan Druig didukung oleh banyak orang. Hatinya semakin menghangat. Merasa hidupnya lebih normal dari sebelumnya. Ia seperti menemukan tempatnya untuk pulang.
"Semuanya sudah siap? Ayo mulai kita bagikan," ajak seorang wanita. Seluruh persiapan untuk sarapan telah selesai, waktunya membagikan makanan. Aleena mengangguk sambil mengangkat sepiring besar telur dadar buatannya.
~~~**~~~
Druig menunggu Aleena yang sedang membagikan bagian terakhir makanan untuk warga desa. Ia menyisakan tempat duduk di depannya untuk Aleena. Dari jauh gadis itu membawa nampan berisi makanan untuk sarapan, mendekat ke meja Druig.
"Hari ini ada yang ingin kau lakukan?" tanya Druig. Ia mulai menyantap sarapan begitu melihat Aleena juga menyantap makanannya.
"Aku ingin membuat boneka untuk latihan katana, kalau kau?" tanya Aleena pada Druig.
"Biar aku membantumu. Kau mau tempat latihan seperti kemarin?" tawar Druig. Aleena mengangguk setuju. Setelah membereskan piring kotor, Druig terlihat berjalan menuju peternakan desa. Sedangkan Aleena kembali ke rumah untuk mengambil katana, lalu menunggunya di perbatasan desa dengan hutan, dekat dengan jalan menuju rumah pohon.
Tak lama kemudian, Druig membawakan seikat besar jerami dan sebuah tiang kayu. Laki-laki itu membawanya tanpa terlihat kesulitan, padahal jerami itu jelas berat. Aleena menyunggingkan senyum melihat otot lengan Druig yang lebih terlihat saat mengangkat barang-barang itu.
"Ayo," ujar Druig. Mereka berdua berjalan beriringan menuju tanah lapang dekat rumah pohon. Sesampainya di sana, Druig segera membuat boneka jerami untuk Aleena berlatih katana-nya. Aleena di sisi lain sedang memeriksa ketajaman katana-nya, mengayun-ayunkan salah pedang itu. Beberapa daun pohon yang berjatuhan, Aleena mengarahkan ayunan katana ke daun itu. Seketika daun itu terbelah menjadi dua.
Gadis itu mengangguk mantab, mendekatkan katana ke wajahnya. Melihat pantulan wajahnya sendiri di bilah pedang, lalu kembali menyarungkannya.
"Berapa tahun kau mempelajari itu?" tanya Druig yang ternyata memperhatikan Aleena dari tadi, sambil terus mengikat sekumpulan jerami membentuk boneka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be With You | Druig's Fanfiction
FanfictionTernyata, ada baiknya aku tidak bisa membaca dan mengendalikan pikiranmu. Aku jadi bisa terus punya alasan untuk dekat denganmu. [Druig] Aleena Ambrose. Membaca memori orang lain tak selamanya menyenangkan, karena manusia selalu menyimpan traumanya...