Raib terbangun ketika merasakan nafas seseorang di lehernya. Hampir saja Raib memukul orang itu, kemudian teringat bahwa semalam dia tidur dengan Ali, Raib batal memukul.
Sinar matahari masuk melalui celah jendela. Raib masih diam di atas ranjang. Dia tidak bisa bergerak, Ali tidak melepas pelukannya sejak semalam.
"Ali..." Raib memanggil.
"Hmm?" Ali menggeliat kecil, "Ra, apa kamu bisa melakukan teknik penyembuhan padaku?"
"Eh? Kamu kenapa, Ali?" Raib spontan memegang lengan Ali, melakukan teknik penyembuhan.
Ternyata Ali kram di beberapa tempat. Eh, apa itu karena semalaman Ali memeluknya terus? Jadi salah posisi saat tidur?
"Sudah merasa nyaman?" Raib bertanya.
"Iya. Terima kasih, Ra..."
"Ayo bangun, Ali. Kita harus membantu di rumah Ilo," Raib menatap jam. Sudah pukul sembilan pagi.
Dengan cekatan, Raib memasak pancake. Menu yang mudah.
"Perlu kubantu, Ra?"
Raib menggeleng, "Kamu siap-siap saja, Ali."
Lima belas menit, Ali sudah siap. Pancake juga sudah terhidang di atas meja.
"Ayo makan, Ali."
Ali tersenyum. Akhirnya dia bisa sarapan dengan Raib.
Mereka makan dalam diam, seperti biasanya. Raib terlihat buru-buru. Dia belum bersiap.
"Makan pelan-pelan, Ra. Kalau kamu datang terlambat tidak akan dihukum, kok."
"Tapi aku merasa tidak enak, Ali. Mereka banyak membantu di pernikahan kita."
Tiga menit, piring Raib sudah kosong. Dia bergegas mandi, membiarkan Ali menikmati sarapannya dalam diam.
Ali menghela nafasnya, membereskan piring miliknya kemudian mencuci piring.
Raib keluar dari kamarnya lima belas menit kemudian. Terlihat cantik dan segar. Mata indahnya menatap Ali.
"Kamu... eh, ehem, ayo berangkat."
Raib menatap Ali kebingungan. Ada apa dengan Ali?
Aduh, Ali menghela nafasnya kasar. Jantungnya berdetak tidak karuan. Apa susahnya bilang kalau Raib terlihat sangat cantik?
Sekali lagi, Ali melirik Raib yang duduk di kursi kapsul. Melihat pemandangan.
"Ada apa, Ali? Apa kamu ingin menyampaikan sesuatu?" Raib balas menatapnya.
Ali menggeleng.
"Tenang saja, hari ini aku akan melakukannya dengan baik," ujar Raib pelan.
"Melakukan apa?"
"Apa lagi? Sandiwara kita, Ali. Kali ini kamu tidak perlu menyuruhku. Aku sudah paham."
Hati Ali terasa seperti dicabik ketika Raib berkata seperti itu. Sungguh, dia tidak ingin ada sandiwara lagi. Ali capek. Dia capek harus berpura-pura membuat sandiwara mencintai Raib. Dia ingin sekali berteriak kepada Raib bahwa selama ini dia tidak pernah bersandiwara.
Ali ingin memperpanjang percakapan, namun mereka sudah sampai di rumah Ilo. Semua orang sibuk membantu. Ali dan Raib datang sedikit terlambat.
"Nah, ini Raib." Ilo tersenyum lega.
"Ada apa?"
Ily keluar dari kamarnya. Tampak gagah dan tampan.
"Pergilah ke mall dengan Ily, Ra. Kita butuh hadiah pernikahan untuk Seli, mereka berpikir sudah membelinya minggu lalu. Tapi ternyata belum," Perintah Tazk.
"Eh, pergi berdua dengan Ily?" Ulang Raib. Apa dia tidak salah dengar?
"Kamu tidak salah dengar, Raib. Pergilah ke--"
"Maaf, Tazk. Tapi aku tidak setuju." Ali ikut nimbrung, tangannya bersedekap di depan dada. "Raib adalah istriku, bukannya kamu juga harus menanyakan pendapatku?"
"Ali, ini bukan waktunya untuk berdebat." Ily berbicara.
"Iya. Tapi Raib adalah istriku. Dia milikku. Kenapa Tazk menyuruh istriku pergi dengan cowok lain?" Ali semakin kesal.
Raib melipat bibirnya. Ini sandiwara yang berlebihan. "Ali! Hentikan!"
"Seharusnya kalian juga menghargaiku sebagai suami Raib!"
"Ali!" Raib melotot. "Kalau begitu, bolehkah kami pergi bertiga, Tazk?"
"Yeah, terserah saja."
Ily segera masuk ke dalam kapsul terbang miliknya yang terparkir di halaman rumah. Raib dan Ali menyusul Raib.
"Maaf membuatmu tersinggung, Ali," Ily memulai pembicaraan ketika kapsul sudah mengudara.
Ali tidak menjawab. Masih kesal pada Ily. Dia kesal karena dulu Ily sempat menyukai Raib. Sementara Raib juga begitu, selalu baik hati pada Ily sehingga dia salah paham.
"Maaf karena kami membuat keributan kecil, Ily." Raib tersenyum.
"Tidak apa-apa, Raib. Itu tandanya Ali sangat mencintaimu," Ily balas tersenyum.
"Sudah tahu begitu, kenapa kamu mau pergi berdua dengan Raib?" Ali berseru ketus.
"Hentikan, Ali. Pada akhirnya kamu juga ikut, kan?" Raib membalas sewot.
Aduh, Ily tersenyum kikuk. Kenapa pula dia berada dalam satu kapsul yang sama dengan pasutri yang sedang marahan ini.
Terlepas dari pertengkaran itu, acara belanja untuk Seli berjalan lancar. Raib tersenyum puas. Seli akan sangat menyukai hadiah-hadiah ini.
Mereka berada di rumah Ilo hingga malam hari. Sampai akhirnya pukul delapan, mereka pamit pulang karena harus ke Klan Bumi. Pernikahan Seli akan dilaksanakan besok.
"Lain kali kamu tidak perlu bersandiwara yang berlebihan seperti tadi, Ali." Raib memulai percakapan begitu mereka masuk ke dalam rumah.
"Apa maksudmu sandiwara berlebihan?" Ali tersinggung.
"Marah-marah tidak jelas tadi. Ily butuh bantuanku. Kenapa kamu malah mengomeli Master B seperti itu? Ily juga jadi merasa bersalah kepada kita."
"Marah-marah tidak jelas? Tadi itu jelas sekali kenapa aku marah, Ra. Kamu masih belum paham?"
Dua tahun menikah, baru kali ini Raib dan Ali bertengkar. Sebelumnya, berbincang saja jarang. Dan ini adalah pertama kalinya Ali membentak Raib setelah mereka menikah.
"Kamu marah tidak jelas, Ali. Kamu marah tanpa sebab!"
"Bagaimana kalau aku bilang aku cemburu? Apa masih bisa disebut marah tidak jelas, Ra?"
━━━━━━━━━━━━━━━
hayo siapa yg bisa nebak kenapa ali marah bgt waktu raib disuruh ke mall berdua sama ily? 😏
KAMU SEDANG MEMBACA
roller coaster | raib ali fanfiction
Romanceraib dan ali belum saling suka. mereka hanya menganggap satu sama lain sebagai sahabat baik. lalu, bagaimana jadinya apabila mereka dijodohkan? ✦ semua karakter milik Tere Liye.