n

2.7K 234 33
                                    

Satu minggu berlalu. Raib tidak sesibuk minggu-minggu sebelumnya. Dia telah selesai mengedit naskah novel, tinggal menunggu keputusan perusahaan.

Raib tersenyum lebar. Dia pulang lebih siang, bisa mampir tempat Seli bekerja lebih dulu. Namun, sejak kemarin pesan Raib tidak dibalas oleh Seli.

Sambil berjalan santai, Raib menuju rumah sakit tempat Seli bekerja. Letaknya dekat dengan kantor Raib, kalau berjalan hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit. Mereka sering makan siang bersama kalau punya waktu luang.

Sinar matahari artifisial menyirami wajah Raib. Kalau orang tidak tahu, mungkin mereka akan menganggap Raib sedang shooting music video. Entah apa yang membuatnya bahagia hari ini sampai dia senyum sepanjang jalan.

"Hai, Liz! Apa Seli masih ada pasien?" Raib menuju meja resepsionis. Dia sudah kenal dengan Liz--staff yang bekerja di situ.

Liz menggeleng, "Hari ini Seli tidak masuk. Katanya sedang ada masalah. Kamu tahu apa masalahnya, Raib?"

Dari Raib mengerut. Seli ada masalah? Kenapa dia tidak mengabari Raib seperti biasanya?

"Ily!"

"Ily? Di mana, Liz?" Raib celingak-celinguk.

"Astaga!" Liz menepuk dahinya, "Masalah Seli adalah Ily, Raib!"

"Apa maksudmu?"

Liz memberi sinyal agar Raib mendekat, "Aku tahu semuanya, Ra. Tentang Ily yang hidup lagi tapi amnesia... Kemudian Seli berusaha mendapat perhatian dari Ily, tapi Ily malah menaruh perhatian pada perempuan lain."

"Seli menceritakan itu semua padamu?"

Liz nyengir, menggeleng. "Seli waktu itu sedang berbincang dengan Yua--dia seorang psikolog--di taman rumah sakit. Aku tidak sengaja mendengarnya saat sedang mengantar pasien jalan-jalan."

Astaga. Raib mendengus kesal. "Itu bukan tindakan yang baik, Liz! Kamu tidak boleh asal menguping!"

"Aku tidak menguping! Suara mereka yang terdengar di telingaku, bukan salahku, dong!"

Puh. Raib mendengus. Baiklah, terserah.

Setelah beberapa kata lagi dia pamit, segera memanggil taksi untuk pergi ke rumah Seli. Dalam perjalanan, Raib berusaha menelepon Seli. Percuma, tidak diangkat.

Aduh, Raib panik. Berseru kepada taksi tanpa pengemudi itu agar menambah kecepatan. Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada Seli?

Lima menit, Raib telah sampai di halaman rumah Seli. Menghiraukan seruan taksi untuk memberi bintang lima, Raib turun dengan tergesa.

"Seliiiii?" Raib berseru, berlari kecil ke depan pintu rumah.

Lengang.

Raib memencet bel.

Tidak ada jawaban.

Akhirnya Raib memberanikan diri, membuka pintu rumah Seli. Kosong, tidak ada orang. Tapi kenapa pintu rumah tidak dikunci?

Samar-samar, Raib mendengar suara tangisan orang. Juga suara laki-laki yang sedang menenangkan. Raib hapal suara itu.

Dengan perlahan, Raib pergi ke teras belakang. Tepat sekali.

"Ali? Seli?" Raib memanggil.

Seli sedang menangis. Air matanya membekas di pipi, wajahnya sembap. Sementara Ali terkejut melihat Raib berada di ambang pintu.

Meskipun Seli adalah sahabatnya sendiri, entah kenapa Raib merasa sakit hati ketika Ali dan Seli berduaan. Apalagi Ily juga tidak ada di rumah.

Juga, kenapa Seli lebih memilih untuk bercerita kepada Ali ketimbang padanya?

"Eh... Ra?" Ali menggaruk rambutnya canggung.

"Seli, kamu baik-baik saja?" Raib mendekat, memegang pundak Seli.

"Kenapa kamu ke sini, Ra?" Seli bertanya serak.

Apa maksud Seli? Raib termenung sebentar. Apa mungkin Seli tidak suka dia berada di sini? Apa salahnya?

"Tadi aku ke rumah sakit, Liz bilang kalau kamu tidak masuk. Aku khawatir, karena itulah aku langsung pergi ke sini," Raib berjongkok di depan Seli yang sedang duduk.

"Oh ya?" Seli menghapus air matanya. "Tadi Ali langsung datang begitu aku bilang padanya bahwa aku sedang ada masalah."

"Memangnya kenapa? Aku tidak boleh datang?" Ali duduk di sebelah Seli.

Raib menghela nafas pelan, "Kamu baik-baik saja, Seli? Apa ada yang nisa kubantu? Kamu kenapa? Aduh..."

Dengan tangan bergetar, Raib menggenggam tangan Seli sambil memberi teknik sugesti, menenangkan. Namun, Seli menarik tangannya, menggeleng. Raib tidak akan membantu apapun.

"Apa aku membuat salah, Seli? Kalau memang iya, aku minta maaf. Sungguh." Raib menatap Seli khawatir.

Mata Seli bertatapan sejenak dengan milik Raib. Seli menangis lagi, rasa bersalah menjalar di tubuhnya. Apa yang telah dia lakukan pada Raib?

Raib bermaksud baik, tapi Seli malah ketus. Astaga. Seli tidak bisa membenci Raib, bahkan jika dia mencoba untuk membencinya. Tetap tidak bisa.

"Pulanglah, kalian berdua." Seli berkata pelan.

"Aku tidak mau. Aku akan menemanimu--"

"Pulang saja Ra, Ali. Kumohon."

"Ya sudah." Ali mengeluarkan hologram miliknya, memesan taksi.

Satu menit, taksi sudah berada di depan rumah Seli.

"Seli, kamu betulan tidak apa-apa?" Raib bertanya cemas.

Seli mengangguk. "Maaf aku sudah merusak siang kalian..."

"Tidak, Sel." Raib hendak menghampiri Seli.

Ali menghentikan gerakan Raib, menggandeng tangannya, "Ayo."

Tapi Raib menepis tangan Ali. Dia menatap Seli dengan khawatir selama beberapa detik, kemudian berjalan keluar dan masuk taksi tanpa mengatakan apapun.

Aduh, Ali menggaruk rambutnya. Setelah bingung mengatasi Seli yang menangis, sekarang istrinya marah tanpa sebab. Ali duduk di sebelah Raib dengan canggung, sedangkan istrinya menopang dagu, menatap luar.

"Kamu sudah makan, Ra?"

Raib tidak menjawab. Dia marah, kesal, sedih. Kemarin, Ali menolaknya makan malam di restoran. Tapi demi Seli, dia bahkan pulang lebih awal. Kalau Raib tidak pergi ke rumah Seli, mau sampai kapan mereka berduaan di sana?

Raib cemburu. Meskipun sudah menikah, tapi Raib tidak yakin Ali punya perasaan padanya. Bisa jadi Ali malah punya perasaan pada Seli. Memikirkannya, Raib jadi sedih sendiri.

Eh, bagaimana kalau itu betulan? Karena Ily menyukai perempuan lain, bisa jadi Ily dan Seli bercerai. Kemudian Ali yang merasa tidak bahagia dengannya ikut mengajak cerai, lalu Ali dan Seli menikah.

Ya ampun! Raib memukul kepalanya. Bisa-bisanya dia berprasangka buruk pada suami dan sahabat baiknya.

"Raib?" Ali kembali bertanya.

Raib menggeleng.

"Mau makan di restoran yang kamu ingin kemarin, Ra?"

"Aku sudah tidak ingin!" Raib berseru ketus. "Kamu pergi saja dengan Seli!"

Ali tersentak. Apa Raib sedang cemburu?

Ide jahil muncul di otak Ali, "Eh, betulan boleh?" Ali nyengir.

Raib tidak membalas, memalingkan wajah ke luar jendela.

Sambil mengalungkan tangannya di leher Raib, Ali berseru kepada taksi untuk mengganti tujuan ke restoran.

"Ali! Aku tidak ingin pergi!" Raib menegaskan sekali lagi.

"Aku juga tidak ingin pergi darimu, Ra." Ali mendekatkan kepala Raib ke bahunya, membuat Raib bersandar padanya. "Dan aku ingin makan malam spesial dengan istriku yang paling cantik se-galaksi bima sakti. Apa boleh?"

Wajah Raib memerah. Kenapa si biang kerok ini jadi pandai menggoda?

━━━━━━━━━━━━━━━

roller coaster | raib ali fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang