u

3.1K 222 40
                                    

Raib menggedor rumah Seli beberapa kali sambil menangis. Persetan meskipun ini tengah malam, Seli dan Ily pasti masih bangun. Mereka sering begadang (Seli dengan drakornya, Ily dengan alat-alat miliknya).

"Raib?!" Seli membuka pintu terkejut. Dia pikir yang menggedor pintu adalah penjahat, pencuri, atau apalah. Tidak menyangka kalau itu Raib.

"Seli.... Aku tidak tahan lagi, aku ingin berpisah!" Raib menangis, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Ada apa? Aduh, pelan-pelan, Raib!" Seli bergegas menuntun Raib duduk di kursi tamu rumahnya.

Ily ikut bergabung, menatap Raib dan Seli bingung. Untung saja rumah mereka berada di atas tiang tinggi, tidak ada tetangga julid.

"Buatkan Raib minuman hangat, Ily! Juga camilan, atau apapun yang bisa membuat Raib senang!" Seli berseru, melotot pada suaminya.

Dengan patuh, Ily segera melangkah ke dapur.

"Kamu ada masalah apa, Raib? Astaga, siapa yang berani membuatmu seperti ini? Aku akan menyambarnya dengan petir biru paling terang!" Seli memeluk Raib.

"Ali, Sel..."

"Heh?!"

"Aku akan menceritakan semuanya, Sel. Aku tidak bisa bohong lagi kepadamu..."

Malam itu, Raib menceritakan semuanya kepada Seli dan Ily--dia bergegas kembali ke ruang tamu setelah minuman hangat mereka jadi. Raib bercerita panjang lebar, mulai dari pernikahan mereka yang dipaksa (kalau ini Seli dan Ily sudah tahu), sandiwara Ali, kecuekan Ali, Ali yang kadang membuatnya berdebar, sampai Ali yang diam-diam pergi dengan April. Semuanya Raib ceritakan.

Seli duduk lemas setelah mendengar cerita Raib. Matanya berkaca-kaca, "Raib..."

Aduh, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Seli. Dia ikutan menangis, memeluk Raib.

"Maafkan aku yang tidak menyadarinya dari awal, Ra. Aku... aku sahabat yang buruk. Seharusnya kamu cerita dari awal agar ini semua tidak menjadi semakin rumit..." Seli melepas pelukan, menghapus air mata Raib.

"Aku mencintainya, Sel..."

"Oh, Ali adalah cowok paling bodoh sekaligus paling jenius yang pernah kutemui!"

"Mungkin saat pergi dengan April, Ali memang sengaja tidak memberitahumu karena dia tahu kamu akan kepikiran," Ily ikut memberi saran, menepuk-nepuk pundak Raib.

"Tapi itu artinya dia bohong, Ily. Aku tidak suka!" Raib berseru.

"Ra, dari sudut pandangku sebagai sahabat yang sudah menemani kalian selama hampir sepuluh tahun, kamu dan Ali saling menatap dengan cara yang sama, Raib. Kalian mencintai satu sama lain. Mungkin sebaiknya kamu mendengar penjelasan dari Ali setelah kamu tenang," Seli menggenggam tangan Raib, menguatkan.

Dia mungkin tidak punya teknik penyembuhan, tapi dia punya kekuatan persahabatan. Seli yakin genggaman tangannya akan membuat Raib tenang.

"Tapi rasanya sesak sekali, Seli. Dia bahkan tidak pernah mengajakku jalan-jalan, tapi dia malah pergi dengan April..." Raib kembali menangis.

Seli dan Ily mendengarkan sambil saling tatap. Aduh, ini rumit sekali.

"Katamu jatuh cinta rasanya seperti ulang tahun setiap harinya. Tapi asal kamu tahu, Sel, aku merasa sesak setiap kali berulang tahun, karena... karena Ibuku meninggal tepat di hari yang sama...."

Seli menggelengkan kepala, ikut menangis lagi. Memeluk Raib,"Maaf, Ra. Maaf."

Raib menggeleng, tidak apa-apa. Balas memeluk Seli. Rasanya sedikit lega ketika Raib menceritakan ini pada Seli.

Mereka berada dalam posisi tersebut selama sepuluh menit. Tangis Raib sudah mereda. Sekarang dia melamun, menatap minuman buatan Ily.

"Ra, eh, apa aku boleh tanya?" Seli bertanya pelan.

"Itu kamu sudah tanya."

Seli nyengir, "Eh, apa inikah alasan kamu, eh, belum itu... hamil?"

Ily ikutan menoleh, kepo.

"Iya."

"Jadi, kamu masih sama seperti Raib yang dulu? Eh, maksudku kamu--"

"Iya, Seli."

Seli diam lagi.

"Setelah kamu tenang, kamu harus pulang, Raib." Ily akhirnya ikut bicara, "Bukannya aku mengusir, tapi kita tidak tahu apa yang dilakukan Ali sekarang. Bagaimana kalau dia melakukan hal aneh?"

Seli dan Raib saling tatap. Namun kemudian Raib menunduk. Dia tidak ingin bertemu Ali.

"Kamu masih jadi istri Ali, Ra. Dia berhak menjelaskan sesuatu padamu, dan kamu berhak mendengarkan penjelasan Ali. Aku yakin alasan Ali menikahimu bukan hanya karena Ibunya. Dia pasti punya alasan lain. Ali sudah cukup dewasa untuk tahu bahwa pernikahan itu bukan sekedar untuk menyenangkan Ibunya."

"Kamu benar, Ily. Ali pasti punya alasan. Minum susu hangat, tenangkan dirimu, lalu pulang, Ra. Dengarkan penjelasan Ali. Dan kalau penjelasan itu tidak memuaskanmu, kamu boleh datang ke sini lagi." Seli tersenyum, merapikan rambut Raib.

Raib menghela nafas pelan sebelum membuka pintu rumahnya.

Dia merasa bodoh sekali. Biasanya, diantara kedua sahabatnya, Raib selalu berpikir secara rasional dan emosional. Seimbang. Tapi entah kenapa kejadian tadi membuatnya hanya berpikir secara emosional.

Rumah berantakan. Basah dimana-mana. Itu bekas salju Raib yang sudah mencair. Tuh kan, dia tidak berpikir matang tentang akibat dari salju tadi.

"Raib..." Suara Ali terdengar. Dia baru saja keluar dari kamar.

Si biang kerok itu berantakan sekali. Rambut dan bajunya acak-acakan, wajahnya kusut, matanya sembap. Raib menggigit bibir bawahnya, menahan tangis.

Ali berjalan mendekat, dengan sebuah tablet kecil di tangannya.

Raib menggeleng, "Ali--"

"Kumohon, baca catatan kalender digitalku sebelum kamu memutuskan apapun, Raib." Ali berkata tegas, menyodorkan tablet yang ada di tangannya.

Dengan ragu, Raib menerima tablet itu.

"Itu kalender digital, Raib. Canggih sekali. Aku tidak bisa mengubah isi catatan di kalender jika sudah berganti hari. Jangan berpikir bahwa aku memanipulasi isinya," Ali menghela nafas pelan. "Cari namamu di kolom pencarian, Raib. Baca semuanya."

Tablet berbentuk persegi itu berkedip pelan. Raib memperhatikannya. Tanpa menatap Ali, dia pun berjalan menuju kebun belakang rumah. Membaca catatan kalender Ali di sana.


Raib hanya bisa berharap agar kalender ini bisa mengubah semuanya.

━━━━━━━━━━━━━━━

y

uk berdoa semoga besok om tere upload cerpen kelanjutan kisah ali di sagaras. aamiin 🙏

roller coaster | raib ali fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang