ALVABILLA 20

1K 34 0
                                    

Billa, Calista, dan Martha sepulang sekolah mampir ke Mall. Kali ini Billa tanpa pawangnya, karena Alvaro dan teman-temannya sedang ada urusan. Mereka tanpa Cindy karena gadis itu masih ngambek dengan Martha. Martha tadi sudah meminta maaf, tapi Cindy tetap ngambek dan mendiamkannya.

Mata Billa berbinar melihat rumah-rumahan Barbie terpajang di salah satu toko mainan. Tanpa sepengetahuan Calista dan Martha yang sibuk melihat-lihat dress batik, Billa memasuki toko mainan tersebut.

"Mbak, Billa mau ini dong," pinta Billa pada pramuniaga sembari menunjuk rumah-rumahan Barbie.

"Iya, Dek. Saya bawakan ke kasir." Billa mengikuti pramuniaga yang membawa mainan kesukaannya itu.

Kasir menyerahkan rumah-rumahan Barbie yang sudah dibungkus itu pada Billa, lalu menyebutkan nominal harganya. Billa pun merogoh saku seragamnya. Uangnya hanya ada dua ratus ribu. Sedangkan, harga mainan itu lebih dari satu juta.

"Maaf, Mbak kasir. Uang Billa gak cukup. Billa telpon Kak Adler dulu, ya," ucap Billa pelan.

Ia mencoba menghubungi Adler, namun tidak diangkat-angkat. Tak kehabisan ide, Billa pun hendak menyusul Calista dan Martha di toko sebelah. Sialnya, mereka tidak berada di toko itu. Billa kembali ke toko mainan.

"Mbak, boleh nggak Billa bawa mainannya dulu. Nanti Billa kesini lagi buat bayar kekurangannya," cicit Billa.

"Waduh, gak bisa, Dek. Lagian orangtaua kamu kemana? Kok sendirian?"

Bibir Billa mengerucut. Matanya berkaca-kaca. "Billa mohon, Mbak kasir," mohon Billa.

"Ini." Seseorang mengulurkan Black Card ke arah kasir. Billa mendongak, lantas langsung menghambur ke pelukan orang itu.

"HUWA, KAK AL!"

"Ini, Tuan." Kasir tadi menyerahkan kembali Black Card pada Alvaro yang tiba-tiba saja ada di toko mainan itu.

"Lain kali kalau dia kesini, kasih apapun yang dia mau. Toko ini sudah saya beli," ucap Alvaro dingin.

Billa melongo. Ia tidak salah dengar, kan? Alvaro membeli toko mainan ini? Sekaya apa pacarnya ini? Billa menatap sekeliling toko itu. Banyak sekali mainan favoritnya yang dijual di toko ini.

"Kak Al, Billa mau itu juga, boleh?" tanya Billa.

"Of course, Babe."

Billa memekik senang. Dengan dibantu pramuniaga, Billa mengambil semua mainan yang ia inginkan. Alvaro hanya memperhatikan. Kekasihnya itu memang berbeda. Kalau perempuan lain, maka akan meminta baju, tas, sepatu, jam, atau perhiasan. Sedangkan Billa, malah meminta mainan. Walaupun begitu, Alvaro tetap mencintainya.

Alvaro bisa ada di sini karena telepon dari Calista yang memberitahu bahwa Billa hilang. Karena Alvaro dari awal sudah menyuruh orang untuk mengawasi ketiga gadis itu, ia pun tidak panik karena sudah tau keberadaan Billa. Yang membuatnya kemari, ya, itu. Kata orang suruhannya, Billa kebingungan karena ia tak memiliki cukup uang untuk membeli mainan. Ada-ada saja.

"Kamu seneng?" tanya Alvaro, saat ini mereka sudah berada di mobil.

"Seneng banget. Billa punya banyak mainan baru. Di sini Billa nggak punya mainan. Mommy gak bolehin Billa bawa mainan," jawab Billa.

"Emang mau mainan sama siapa?" tanya Alvaro penasaran.

"Kak Adler," balas Billa santai.

"K--Kak Adler?" Billa mengangguk.

"Iya. Pas masih di Barcelona, Kak Adler suka banget nemenin Billa mainan Barbie. Kak Adler juga ikut main kok. Kan, Billa punya Barbie yang cowok," jelas Billa membuat mata Alvaro membola.

Ia tidak percaya dan tak habis pikir. Bisa-bisanya mantan ketua geng motor mainan Barbie. Diam-diam ia menyeringai. Bisa dijadikan bahan ancaman kalau sewaktu-waktu Adler menggangu Calista lagi.

"Kak Al mau main sama Billa juga?"

A--apa? Tidak mau! Enak saja. Masa ketua geng motor sepertinya bermain Barbie. Bisa turun kewibawaannya. 

***
Kembali lagi dengan tukang rumpi. Mereka sedang ada jam kosong. Ada tugas, tapi tidak ada deadline. Jadi ada kesempatan untuk bersantai ria sembari ber-rumpi ria. Topik kali ini masih guru baru itu. Lagi, dan lagi.

Martha sudah tau wajah dan sosok guru bule tersebut. Ia menceritakannya dengan menggebu-gebu. Betapa cantik dan sempurnanya guru itu. Dari yang diceritakan Martha, Calista dan Billa bukan hanya curiga lagi, tapi sudah pasti.

"Itu kayak Kak Galina, Calista," ucap Billa.

"Keknya. Kita cari tau sekarang aja gimana? Kata cowok gue, guru itu lagi ngajar di kelasnya," balas Calista yang sedari tadi memang sibuk bertukar pesan dengan Ragil.

"Kuy! Kuy!" Cindy berdiri dengan antusias.

Fyi, Cindy sudah berbaikan dengan Martha. Mereka berdua itu memang sudah biasa bertengkar kecil. Namanya juga sahabat.

Mereka ber-empat berhenti di sebuah ruang kelas. Pintu terbuka sedikit. Mereka masih berdebat masalah siapa yang akan mengintip duluan. Padahal, kaca jendela kelas lebar. Kenapa tidak langsung melihat dari jendela?

"Billa duluan aja!" Billa maju satu langkah, mencondongkan sedikit tubuhnya, dan mengintip.

Matanya membulat sempurna. "Bener, Calista! Itu Galina!" pekik Billa heboh.

"Heh! Jangan teriak, bocil! Entar tu guru denger," tegur Cindy.

Telat. Pintu kelas sudah terbuka lebar. Tampak seorang perempuan dengan tampilan khas guru keluar dari kelas tersebut. Ia tersenyum ramah pada keempat muridnya. Ia sudah bekerja di sekolah ini, itu artinya semua siswa yang ada di sekolah ini adalah muridnya tanpa terkecuali, sekalipun ia tidak mengajar di kelas tersebut.

"Hello. Do you guys have any business with me? Or one of the students in this class?" sapa Galina ramah.

(Apa kalian ada urusan dengan saya? Atau salah satu siswa di kelas ini?)

"No," jawab Calista.

"Excusme, Miss." Mereka berjalan meninggalkan Galina dengan kikuk. Malu.

Galina menggelengkan kepalanya, kemudian masuk kembali ke kelas. Ia menatap Alvaro yang fokus menatap luar kelas. Ia berdehem kencang guna menegur murid 'kesayangannya' itu.

"I'm allowed to go to the toilet," ucap Alvaro.

(Saya izin ke toilet.)

"No! Just take a break!" tolak Galina. Ia tau kemana Alvaro akan pergi.

(Tidak. Nanti pas istirahat saja.)

"And I don't care," desis Alvaro sembari melenggang pergi dengan santainya.

"Alvaro! I will punish you!" teriak Galina yang tak digubris oleh Alvaro.

"Sorry, Miss. Alvaro used to that. After all, he only goes to the toilet, " sahut Aldo.

(Maaf, Miss. Alvaro memang sudah biasa begitu. Lagian, dia hanya ke toilet.)

"Shut up!"

Aldo bungkam. Seisi kelas menatap Galina heran. Kenapa harus segitunya? Mereka sekarang me-judge Galina guru killer. Izin ke toilet saja tidak diperbolehkan. Marah pada satu siswa, semuanya jadi kena imbasnya.

ALVABILLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang