0

14 9 0
                                    

Di ruang makan rumah besar itu, empat orang duduk dengan hening. Tidak ada suara apa pun selain dentingan sendok dan piring yang beradu.

"Nanti malam, Papa sama Mama akan pergi. Kalian berdua baik-baik, ya, di rumah." Seorang wanita dewasa menatap kedua anaknya dengan raut sendu sedikit bersalah.

"Tapi, Mama sama Papa baru sampai rumah, loh, masa harus pergi lagi?" Anak perempuan itu menatap orang tuanya sedih.

"Kalian nggak akan ngerti. Bisnis kami di mana-mana, kalian pikir siapa yang ngurus kalo bukan kami?" ucap sang kepala keluarga.

Bisnis, bisnis, dan bisnis. Tari dan Mana, kedua bersaudara kembar tidak identik itu mendengkus kesal.

Alam, sang kepala keluarga itu menatap putrinya dan berkata, "Kamu akan menikah besok."

BESOK!?

MENIKAH?!

Pernikahan macam apa itu? Mendadak sekali seperti tahu bulat.

Tari berhenti dari gerakannya yang sedang mengiris daging steak di depannya. Ingin sekali Tari berdiri dan menodongkan pisau kecil itu di depan orang tuanya dan berkata, "Ini pisau tajam, loh." Dan sayangnya itu hanya menjadi angan-angan ketika Tari bahkan hanya terdiam di tempat.

BRAKK!

"Maksud Papa, apa?!" Lesmana--atau biasa dipanggil Mana, kembar tidak identik Tari itu berdiri menggebrak meja makan dengan marah dan berteriak pada ayahnya. "Papa nggak bisa seenaknya nyuruh Tari nikah! Tari masih kecil, Pa!" lanjutnya dengan amarah menggebu.

Alam, Nindi, dan Tari berdiri terkejut.

"Jaga sikapmu, Mana!" bentak Alam pada putranya.

"Apa!? Papa dan Mama nggak pernah ngurus kami berdua! Aku sama Tari, hidup kayak orang hilang di rumah sendiri yang megah dan mewah," berang Mana menjadi.

Alam menatap putranya tajam. "Kami kerja, nyari uang buat kalian! Biar kalian bisa hidup enak, nggak kayak gembel di luar sana," sangkal Alam turut marah.

"Papa pikir, selama ini kami berdua senang? Dikasih barang mahal, semua fasilitas terpenuhi, bisa hura-hura? Nggak, Pa!" Mana melempar beberapa kartu ATM berbagai warna dari sakunya ke meja.

"Kami cuma butuh kasih sayang Papa sama Mama! Bahkan kalau kami hidup miskin, kami akan bahagia bisa bersama kalian setiap hari--"

PLAK!

"Kurang ajar! Anak nggak tau terima kasih!" Alam menampar Mana dengan keras membuat bocah 17 tahun itu tersungkur ke lantai.

"Abang!"

"Papa!"

Teriak Tari dan Nindi--ibu Tari dan Mana bersahutan. Tari menghampiri Mana dan melihat keadaan kembarannya itu. Sudut bibirnya berdarah! "Abang udah ...." Tari menangis melihat luka Mana yang terlihat menyakitkan.

Nindi menghampiri suaminya dan mencoba menenangkan Alam yang marah. Mengelus lengan suaminya agar emosinya mereda, tetapi Alam menghentakkan tangan Nindi dan segera pergi.

Nindi menghampiri kedua anaknya dengan sedikit air mata di sudut matanya.  "Mana ... Tari ... maafin Mama, ya?" sesal Nindi.

Mana menyingkirkan tangan Nindi dan Tari yang mencoba membantunya berdiri. Lalu bangkit, mengelap sudut bibirnya yang berdarah dengan usapan jempol. Mana menatap Nindi kecewa dan marah di saat yang bersamaan, lalu pergi meninggalkan dua perempuan itu.

"Tari ...," ucap Nindi melirih mencoba menggapai Tari.

Tari yang kelewat kecewa, menatap sedih ibunya tersebut dengan air mata yang membanjiri pipi. Tari memalingkan wajahnya, lalu berkata pelan, "Beri kami waktu, Ma." Tari pun pergi meninggalkan Nindi seorang diri di ruang makan tersebut.

Nindi hanya mengangguk tanpa bisa berkata-kata. Kini air matanya takbisa dibendung lagi, Nindi terisak menatap punggung kecil Tari yang kini terlihat lebih dewasa.

"Maafin mama, sayang ... mama nggak bisa berbuat banyak kalo papa udah nentuin," gumam wanita itu lalu menghapus air matanya pelan.

___
Sabtu 17.6.23

ALTAR [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang