Pagi harinya, Aldo berdiri di depan cermin wastafel. Pantulan wajahnya terlihat kuyu, mata merah, kantung mata hitam tebal, kulit kering, rambut sepundak acak-acakan dan tubuh kurusnya memperlihatkan tulang-belulang yang menonjol. Sangat menyedihkan.
Kemarin malam sebenarnya Aldo ingin mampir ke apotek untuk membeli obat tidur, tetapi sayang sekali apotek itu tidak buka 24 jam. Tentu saja sudah tutup di jam 2 dini hari.
Aldo asal mencuci wajahnya sebelum berganti baju. Karena perutnya sudah keroncongan, ia berniat untuk membeli bahan-bahan makanan di depan apartemen.
Namun saat membuka pintu...
"Selamat pagi---AAAAAH!" jerit seseorang di luar pintu.
Refleks Aldo membelalakkan matanya sembari memegangi dada karena terkejut.
Aldo melihat seorang gadis, mungkin satu atau dua tahun lebih muda darinya, membawa mangkuk berisi bubur di tangannya. "Ada apa, Ren?"
Suara Aldo menariknya dari ketakutan, Rena mengamati Aldo dengan saksama untuk memastikan ia tidak salah pintu. Tetapi postur tinggi, suara, model rambut, bahkan jaketnya benar-benar milik Aldo.
"A-anu, Kak. Ini ada sarapan dari mama. Dimakan, ya?" ucap Rena sembari mengulurkan bubur di tangannya.
Setahun terakhir, entah bagaimana Aldo terbiasa dengan Rena yang pagi-pagi sekali muncul di luar pintu apartemennya untuk memberikan sarapan.
Aldo menerima mangkuk itu sambil berucap, "Makasih, ya. Sampaiin ke mama lo."
"Kak Aldo nggak apa-apa? Kelihatannya nggak sehat gitu?" tanya Rena.
Beberapa bulan terakhir Rena mendengar desas-desus dari tetangga yang mengatakan Aldo kemungkinan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Rena ingin menyangkalnya, tetapi dilihat-lihat dari perilaku Aldo memang mencurigakan.
Tiba-tiba saja seorang ibu-ibu--yang dari wajahnya saja kelihatan julid--menghampiri kedua remaja itu seraya berceletuk, "Eh Nak Aldo."
Aldo mengangguk dan tersenyum tanpa bersuara.
"Beberapa hari terakhir saya nggak lihat, Nak Aldo kemana aja?" tanya Ibu itu yang mewakili pertanyaan Rena juga.
Sejujur-jujurnya, Aldo malas meladeni orang-orang seperti ibu itu. Karena ia tidak tuli untuk mendengarkan gosip para tetangganya yang julid. Apa manfaatnya mengetahui segala hal yang ia lakukan? Aldo sedikit mendengkus.
"Ada acara keluarga, Bu," katanya.
Rena yang tersisihkan merasa merinding di tempat. Buru-buru ia pamit pulang, yang disusul Aldo pamit untuk menaruh mangkuk bubur ke dalam.
Tidak lama saat satu orang lagi menekan bel pintu apartemen. Aldo berdecak, "Ck, ada apa, sih, sama orang-orang ini?"
Setelah pintu terbuka, seorang laki-laki segera menerobos seenaknya masuk dan seperti juragan diduk di sofa dengan kaki di akan ke atas meja.
"Yo!" sapa lelaki itu yang sudah terlambat. "By the way, lo kemana aja?"
"Nikah," jawab Aldo singkat.
"Gak usah bercanda kau dek ... dek," lelaki itu takpercaya meskipun menatap tampang Aldo yang--jujur--tidak terlihat bercanda.
"Gak percaya, bodo amat. Noh di dapur ada bubur, kalo lo mau," tawar Aldo.
Jay, lelaki itu bersemangat bangkit menuju dapur sembari berkata, "Wuih mantap! Dari Rena?"
"Ya siapa lagi," jawab Aldo asal. "Gue turun dulu, gak usah ribut!"
Jay dengan lahap memakan bubur itu hingga membuat mulutnya penuh, merespon perkataan Aldo dengan acungan jempol seolah berkata "oke".
Tidak berselang lama, ponsel Jay berdering ada pesan masuk.
____________________________________________
_______[Allardo:
Ntar apart gue lo kunci, gue ada perlu][Shapp!]
____________________________________________
Aldo mengendarai motornya tanpa helm, karena tanpa persiapan. Akhirnya ia menghindari jalan raya dan melewati jalan tikus untuk ke rumah Tari.
Singkat saja. Setelah Aldo keluar dari pintu apartemennya, sang ibu menelepon dengan menggebu-gebu mengutarakan isi hatinya yang sebal terhadap sang anak. Bagaimana tidak? Ada yang membocorkan keberadaan Aldo berada di tempat balap, ikut balapan. Padahal kita semua tahu bahwa Aldo adalah pengantin baru.
"Aduh, aduh, Ma ... iya ... iya ... Aldo berangkat."
Cepat-cepat Aldo mematikan telepon. Mengusap kupingnya yang panas akibat ceramah dari mamanya.
Untuk sejenak memang Aldo lupa bahwa dirinya sudah menikah. Yah, pernikahan mendadak--ralat, sangat mendadak--itu tidak meninggalkan kesan bagus sekecil apa pun, sehingga tidak terlupakan!
Aldo mendengkus sebal.
***
Aldo sampai di rumah Tari dengan selamat. Meskipun di tengan jalan ia menguap beberapa kali karena matanya yang teras sangat berat, pun perut yang keroncongan.
"Assalamualaikum!"
Tidak terduga yang menyambutnya adalah sang ibu mertua.
"Nak Aldo?" Jujur saja nada bicara Nindi ragu-ragu.
"E-eh iya, Bun. Anu Tari-nya di mana?"
"Loh, kamu ini ada-ada aja. Wong Tari kan istri kamu, kok tanya bunda?" Nindi bercanda.
"Yuk sarapan dulu. Bibi tadi pagi udah siapin sarapan."
Aldo tidak melihat orang selain Nindi di rumah. Ke mana semua orang?
Nindi melihat Aldo yang celingak-celinguk pun peka dan memberikan informasi.
"Ayah Tari masih tidur. Mana dan Tari pergi ke rumah neneknya nganterin sarapan, paling bentar lagi juga pulang," jelas Nindi sembari berjalan ke dapur yang diikuti Aldo.
Aldo mengangguk saja.
Baru saja Aldo duduk di kursi ruang makan, dua orang juga menyusul ke ruang makan.
"Weh, ngapain lo di sini?" tanya Mana melihat sosok Aldo dengan tidak ramah.
"Mana! Gak boleh gitu," tegur Nindi.
Sedangkan Tari membantu Nindi untuk menyajikan sarapan sebelum duduk bersama.
Awalnya Tari hanya menyiapkan empat porsi bubur, tetapi ternyata ia melupakan satu orang lagi yang secara tak terduga datang. Yah, suaminya yang baru pulang setelah dua hari pergi.
Nindi melihat tidak ada yang menyinggung keberadaan sang suami, pun berinisiatif memberi tahu. "Ayah kalian masih tidur kemarin habis lembur, jadi kita sarapan dulu aja."
Keempat orang makan dengan hening. Tidak ada percakapan, hanya dentingan sendok dan piring yang samar-samar terdengar.
Keadaan Aldo berbeda. Ia kini menatap makanan di depannya dengan horor. Takut-takut ia mengangkat seujung sendok bubur itu dengan enggan.
Sudah sejak lama Aldo tidak bisa makan makanan yang di masak orang lain, bahkan jika ibunya sendiri yang masak Aldo tetap merasa aneh dan mual. Mungkin karena masa lalunya ....
"Nak Aldo. Kok gak dimakan buburnya?"
Suara Nindi mengambil atensi Mana dan Tari untuk melihat Aldo.
Ditatap 3 pasang mata sekaligus membuat Aldo merinding. "G-gak, kok. Ini dimakan."
Meski enggan, Aldo menahan dengan susah payah. Menelan sesendok penuh bubur dengan tanhan kitinya yang di bawah meja terkepal erat. Sesuap demi sesuap Aldo mati-matian menahan perasaan mual dan aneh di perutnya.
Hampir setengah mangkuk berhasil Aldo makan. Hanya saja kini perutnya sudah tidak kuat. Daripada nanti muntah, Aldo memilih berhenti makan saja.
Mengambil tisu untuk mengelap bibirnya dari sisa-sisa makanan sambil menghela napas berat.
_____
271223
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAR [Hiatus]
RandomUntuk mempererat suatu hubungan dan menjalin relasi yang saling menguntungkan, takayal perjodohan menjadi sebuah pilihan yang kerapkali digunakan para pebisnis di zaman dulu. Bahkan sampai kini, di tahun 90-an, masih banyak yang menggunakan metode...