5. Jadi, Gue Minta Sama Lo ...

4 6 0
                                    

Jadi, gue minta sama lo ...
.

Sungguh, sebenarnya Nindi ingin bersama Tari dan Mana lebih lama lagi. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan dua anak itu. Karena ia sadar jika selama ini, apa yang dilakukannya kurang tepat. Andai bisa, ia mungkin akan memutar kembali waktu di mana kedua buah hatinya masih kanak-kanak. Sayangnya itu tidak akan pernah terjadi.

Tari menyahut dengan terbata, "Itu ... dia, dia--"

"Aku di sini, Ma!" ucap Aldo yang baru saja tiba.

Aldo berjalan dengan santai, mengambil duduk di kursi samping Tari. Lelaki itu tersenyum menyapa mertuanya dengan ramah.

"Oh, iya ... Nak, Aldo. Mama sama Papa titip Tari, ya? Jaga dia baik-baik." Nindi menatap menantunya, sebelum beralih menatap Tari. "Tari ... sekarang Nak Aldo udah jadi suami kamu. Yang berbakti ya, sama suami. Jangan lupa selalu ijin suami kalo mau pergi ke mana-mana atau ngapain aja."

"Iya, Ma / Ya, Ma," ucap Aldo dan Tari hampir berbarengan. Membuat dua orang itu saling lirik sekilas lalu memalingkan wajah masing-masing.

Nindi yang melihatnya tersenyum tipis. Nindi tidak buta, melihat penampilan Aldo yang seperti berandalan di pinggir jalan. Tapi ia yakin dengan pilihan suaminya tidak mungkin salah. Bukankan orang yang buruk pun memiliki hak untuk mengubah masa depannya? Nindi berharap dengan pernikahan ini Aldo bisa menjadi lebih baik. Nindi yakin dengan putrinya yang pasti akan mampu mengubah kepribadian buruk suaminya.

"Udah cukup diskusinya? Papa udah laper, nih. Mending kita langsung makan," pungkas Alam.

Rowan tertawa, dan berucap, "Hahaha, aku juga setuju sama Alam. Mari kita makan."

Mereka semua lalu makan bersama, menyisakan suara dentingan sendok dan piring yang beradu. Berbeda dengan Tari yang tidak nafsu makan, ia hanya mengaduk makanan di depannya dengan melamun. Bukan karena masakannya yang tidak enak, menu saat ini adalah makanan kesukaannya, sup ayam.

Hari ini, semua terasa lebih hambar dari biasanya. Yang seharusnya menjadi hari yang membahagiakan justru malah membuatnya terasa menyedihkan. Entah bagaimana kedepennya nanti, yang jelas untuk saat ini Tari akan mencoba untuk menerima suaminya, menerima kehidupan barunya, mungkin tidak akan mudah, tapi setidaknya ia akan berusaha menjadi istri yang baik untuk suaminya.

Entah kenapa kata 'istri' masih menggelitik benak Tari ketika memikirkan jika ia sudah menjadi istri orang. Sulit dipercaya tapi itu kenyataan.

"Oh, ya, Al. Habis ini kamu sama Tari mau tinggal di rumah daddy atau Papa Alam?" celetuk tiba-tiba Rowan. Kemudian dilanjut, "Nggak mungkin 'kan, kalo tinggal di apartemenmu?"

Uhuk-uhuk!

Aldo tersedak. Tari yang melamun akhirnya sadar dan mengambilkan segelas air untuk Aldo. "Minum pelan-pelan," kata Tari menepuk-nepuk pelan punggung Aldo yang terbatuk.

Aldo minum air itu pelan, lalu tangannya terangkat untuk mengisyaratkan Tari agar berhenti menepuk punggungnya dan kembali duduk. Aldo mengatur napasnya sebelum menatap penuh sang ayah.

"Kok Daddy tau, kalo selama ini aku tinggal di apartemen?" tanya Aldo.

"Kamu pikir, daddy kamu ini siapa? Mata daddy di mana-mana! Selama ini daddy tau semua kelakukan buruk kamu. Tapi daddy biarin, biar kamu sadar dengan sendirinya. Tapi sayangnya daddy salah, sekarang kamu justru makin menjadi," jelas Rowan menatap serius putranya.

Aldo menormalkan raut wajahnya menjadi pasrah. Ya, bukannya itu memang tujuan awalnya? Agar bisa dilihat dan diperhatikan orang tuanya, tapi sekarang Aldo merasa risih.

"Ya, aku bakalan tinggal di apartemen," kata Aldo acuh tak acuh lalu melanjutkan makan.

Alam menyahut, "Tapi, Nak Allard. Kalian baru saja menikah. Bukannya lebih baik tinggal di rumah dulu? Kalian masih belum terbiasa hidup bersama. Jika tidak mau tinggal di rumah papa, tinggal-lah di rumah Rowan dan bawa Tari bersamamu."

Mana yang menyimak akhirnya membuka suara, "Kali ini aku setuju sama Papa. Paling nggak, kalian berdua tinggal di rumah Papa selama satu bulan."

Satu bulan? Itu terlalu lama! Aldo tidak bisa keluar dengan bebas untuk pergi bersama teman-temannya, mengikuti balap motor, ini terlalu mengekang.

"Nggak. Satu minggu atau tinggal di apartemen mulai sekarang," tawar Aldo keras kepala.

"Aldo!" bentak Rowan tidak main-main, selama ini ia sudah bebas membiarkan putra satu-satunya itu menjadi berandal, tapi sekarang tidak lagi, Aldo harus bertaubat.

"Kalo kamu gimana, menantu?" Savira membuka suara menatap Tari yang hanya diam.

Tari yang dipanggil gelagapan, apalagi semua tatapan yang ditujukan padanya. "Aku ... ikut Al-aldo aja," katanya sedikit asing menyebut nama Aldo.

Tari menatap kembarannya seolah tak rela. "Tapi kalo bisa, aku masih pengen tinggal di rumah ... aku perlu waktu," lirihnya.

Rowan tersenyum puas. "Nah, Aldo. Istri kamu setuju buat tinggal di rumah Papa Alam. Sebaiknya kamu tinggal di sana dulu."

Aldo menatap Tari tajam. Tari melirik sebentar sebelum matanya mengerling menatap segala arah agar tidak bersirobok dengan mata elang lelaki itu.

Mana melihat kelakuan mereka berdua, kembali menatap Aldo tak kalah tajam. "Mata lo mau gue colok?" desis Mana mengancam.

Kini, hawa tidak enak keluar dari dua sisi samping Tari, membuat sang empu yang berada di tengah-tengah mereka merasakan atmosfer yang mengerikan. Kedua lelaki itu sama-sama memiliki tatapan maut yang dingin dan tajam, seolah dengan tatapan mereka akan menguliti Tari hidup-hidup.

"U-udah ... Abang!" peringat Tari menepuk paha kakaknya.

"Dia yang mulai, Tar."

"Udah, sekarang Abang lanjutin makan. Biarin aja dia kayak gitu."

"Hmm," gumam Tomy.

"Jangan marah. Aku nggak belain dia," bisik Tari yang hanya diangguki kembarannya itu.

Tari tahu jika kakanya mengambek, Tari mengerucutkan bibirnya, mendorong piring di depannya menandakan ia telah selesai.

"Kenapa, Nak? Kok nggak dimakan? Makannya nggak enak?" tanya Nindi sambil mengelap bibirnya dengan tisu.

"Nggak, Ma. Tari nggak laper. Oh, ya, aku mau kembali ke kamar buat beresin barang-barang yang tadi aku bawa. Permisi semua," pamit Tari pergi.

Setelahnya, Aldo pun mengekor di belakangnya. Ia juga akan mengambil beberapa barangnya di kamar hotel itu.

Sampai di kamar, Aldo mencekal tangan Tari. "Tunggu, gue mau ngomong sama lo," katanya.

Alis Tari berkerut. "Apa?"

"Lo tau, 'kan kalo kita nikah karena terpaksa? Jadi, gue minta sama lo buat jangan ikut campur urusan gue, jangan kekang gue, dan jangan ikut campur kehidupan pribadi gue," kata Aldo membuat Tari sedikit tidak nyaman. "Kalo lo pengen jadi istri yang baik, lo cukup nurut apa kata gue. Gue juga nggak akan ikut campur urusan lo, gue juga nggak akan ngekang lo--mau lo punya cowok ataupun pergi kemanapun, terserah. Dan sebaliknya, lo juga nggak akan larang gue ini-itu," lanjut lelaki itu.

"Jadi, kita impas. Lo setuju, 'kan?" tanya Aldo yang sebenarnya tidak membutuh6kan jawaban Tari.

___
Rabu, 21.6.23

ALTAR [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang