2. Jangan Berisik

8 8 0
                                    

Jangan Brisik
.

"Jangan berpikir bisa mendapatkan lebih dari apa yang bakalan gue kasih ke lo. Kita nikah cuma karena terpaksa. Ngerti?"

Tari mendengar bisikan dingin itu seketika dibuat refleks mendongak, menatap wajah suaminya yang tersenyum miring. Tari mengendalikan raut wajahnya yang terkejut, lalu tersenyum sangat tipis. Benar, ini hanya pernikahan paksa, yang mengharuskan dua orang yang bahkan belum pernah saling bertemu sebelumnya, untuk menjalin suatu hubungan sakral. Mengikat dua orang itu dalam bahtera rumah tangga tanpa cinta.

"Sekarang kalian berdiri, kita harus menemui beberapa orang teman Papa  dan Mama," Alam berkata pada putri dan menantu barunya.

Mereka semua berdiri dan menyambut beberapa tamu undangan yang hadir. 2 jam berlalu, tamu yang katanya "beberapa" itu bahkan terlihat lebih dari 300 orang, tentu saja karena relasi bisnis orang tua Tari dan suaminya sangat banyak.

"Ini menantuku? Ya ampun ... cantik banget." Seorang wanita seumuran ibu Tari itu menghampiri kedua pengantin baru dengan raut bahagia.

'Menantu? Apakah ini ibu mertuanya?' batin Tari. Alis Tari mengkerut lalu menatap ibunya meminta penjelasan. Nindi yang melihat putrinya kebingungan itu tersenyum miris, bahkan dia belum tau siapa mertuanya, sangat konyol, bukan? Nindi mengangguk membuat Tari tersenyum manis dan menyambut ibu mertuanya dengan ramah.

"Tante--"

"Panggil 'Mom', Sayang," ralat Savira, ibu mertua Tari.

Tari tersenyum kikuk dan mengangguk. "Iya, Mom."

"Maaf, ya, sayang. Mom sama Dad baru dateng," sesal Savira menggenggam tangan Tari hangat.

"Nggak pa-pa, kok, Mom."

Savira beralih menatap putranya. "Al ... sekarang kamu udah nikah, udah punya istri, Mom harap kamu bisa berubah mulai dari sekarang. Kamu udah menjadi kepala keluarga, akan ada banyak tanggung jawab di pundakmu dari sekarang."

Allardo yang biasa dipanggil Aldo itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis menanggapi ceramah ibunya. Tetapi, berbeda dengan hatinya yang terasa sangat panas. Hidup di tengah orang tua yang gila bisnis membuat hidup Aldo tidak berbeda jauh dengan Tari dan Mana yang kesepian. Mungkin Tari masih mempunyai setidaknya satu saudara yang selalu ada untuknya, tidak dengan Aldo yang adalah anak tunggal.

Akibat tidak merasakan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya, membuat hati Aldo mendingin. Dan itu bisa menjadi lebih buruk lagi, hingga mungkin hatinya akan membeku. Rasa kesepian dan terabaikan itu membuat Aldo mencoba berbagai cara agar diperhatikan orang tuanya. Tak terkecuali mengikuti dan melakukan hal-hal negatif seperti ikut geng motor, balapan sana-sini, mabuk-mabukan ... itu semua agar orang tuanya bisa melihat dan memperhatikannya.

Karena sering keluyuran tengah malam membuat Aldo selalu begadang hingga pagi, dan mabuk-mabukan membuat tubuhnya kian rusak luar dan dalam. Kulitnya yang putih pucat, dan badannya yang kurus kering membuatnya terlihat menyedihkan. Aldo tahu ini salah, tetapi ia sudah kecanduan dan sulit untuk menjauh dari hal-hal negatif itu.

Aldo melihat istrinya, tunggu, istrinya? Takdir konyol macam apa ini, Tuhan? Setelah semua kasih sayang orang tuanya terenggut oleh bisnis, sekarang sepertinya kebebasan juga akan terenggut darinya. Aldo benci pada orang tuanya, tetapi ia lebih membenci dirinya sendiri yang tidak berdaya, tidak bisa melakukan apa-apa.

Lama merenung, Aldo tidak mendengar apa yang menjadi perbincangan keluarganya dan keluarga barunya. Bahkan Aldo bisa melihat Tari yang terus tersenyum paksa menanggapi celotehan ibunya yang terlihat sangat antusias. Aldo mengamati setiap gerak-gerik Tari yang terlihat tidak nyaman--sama seperti dirinya sekarang, dan ia pun mengambil inisiatif.

"Maaf, semuanya. Kayaknya Tari udah kelelahan, aku juga. Jadi, aku mau antar dia istrirahat." Aldo tersenyum pada mertuanya. "Dan ada yang perlu kami bicarakan."

Mana yang mendengar itu langsung melesat ke sisi kembarannya dengan cemas. "Dek, kamu nggak pa-pa? Ada yang sakit? Kita ke rumah sakit, hm? Abang anter," tanya beruntun Mana dengan wajah khawatir.

Tari meringis malu. "Abang ...," gumamnya menatap Mana.

"Mana, Tari udah nikah, biar suaminya aja yang ngurus. Benarkan, menantu?" ucap Alam tersenyum aneh. Ditanggapi anggukan oleh Aldo.

Savira dan Nindi ikut terkikik dengan kerlingan mata menggoda, membuat Tari merasa aneh dan ngeri. 'Apa-apaan mereka ini?' pikir Tari.

"Tapi, Pa--"

"Mana," geram rendah Alam menatap Mana tajam.

Mana tidak peduli dan menatap Tari iba. Ia mengembuskan napas pasrah. "Huh ... baiklah ... baiklah ... tolong jaga adek gue baik-baik. Kalo sampe gue tau lo nyakitin dia, habis lo!" ancam Mana.

Tanpa basa-basi, Aldo menggendong Tari dan pamit pergi untuk istirahat. Acara telah selesai tepat jam 12 siang, karena kedua pengantin itu masih sama-sama sekolah, acara hanya dihadiri 10% dari yang seharusnya mereka undang ke resepsi resmi. Mungkin nanti?

"Kayak nggak sabaran banget, deh," celetuk Savira terkekeh.

Nindi kemudian menyahut, "Biasa, darah muda."

Sedangkan di lain pihak, Mana dan Alam saling melempar tatapan tajam satu sama lain. "Aku nggak akan pernah maafin Papa, kalo sampe terjadi sesuatu yang bisa nyakitin Tari," bisik Mana sebelum pergi.

Tatapan Alam melunak, menatap punggung kokoh Mana yang terlihat seperti dirinya ketika muda. "Maafin papa, Nak ... ini cara papa buat lindungin adek kamu," batin Alam.

Rowan, ayah Aldo, menepuk pundak besannya beberapa kali. "Dia pasti bakalan ngerti, kok. Dia sepertimu, sangat pintar," kata-kata hiburan dari Rowan.

Di lain tempat, tepatnya di lift hotel bintang empat itu. Sepasang pengantin baru saling diam. Tidak ada percakapan apa pun bahkan sampai di salah satu kamar hotel. Aldo melempar Tari seenaknya ke kasur empuk di sana.

Tari yang merasa teraniaya menatap berang Aldo. Saat ingin mengeluarkan sumpah serapahnya, Aldo lebih dahulu membuka suara, "Lo berat!"

Aldo melenggang pergi ke kamar mandi tidak mempedulikan Tari yang sedang menyiapkan ancang-ancang melempar sepatu kacanya pada Aldo. Tari membidik tepat ke punggung Aldo yang sedang berjalan santai.

Brangk!

Sayang sekali sepatu kaca itu hanya mengenai pintu kamar mandi yang ditutup dengan cepat oleh Aldo.

"Gggrh!" geram Tari.

Turun dari tempat tidurnya, Tari berdiri di depan cermin fullbody yang memantulkan seluruh tubuhnya. "Gue kurus, anjir! Mana ada berat. Orang, abang aja yang sering gendong, nggak pernah ngeluh, tuh. Kok dia baru gendong sekali aja, dah ngeluh. Huh, lemah!" gerutu Tari di depan cermin.

Tari mencopot satu per satu hiasan di rambutnya, memakai micelar water untuk menghapus make up-nya yang terasa tidak nyaman.

Cklek!

Suara pintu mengalihkan atensinya, Tari refleks menatap pintu kamar mandi dan terpampanglah tubuh kurus yang terlihat seperti hanya tulang dan kulit berjalan.

Aldo keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk kecil yang menutupi pinggang hingga lutut. Tari yang melihat itu terkejut dan berteriak, "AAAA!" Sungguh, ini pertama kalinya ia melihat dada seorang lelaki selain ayah dan  kakaknya.

Aldo menutup kedua telinganya yang berdenging. "Jangan berisik!" tekannya menatap Tari tajam.

Tari segera menutup mata dan berjalan ke kamar mandi setelah semua riasannya terlepas.

Blam! (suara pintu yang ditutup dengan kencang)

___
Minggu, 18.6.23

ALTAR [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang