4. Lo Apain Adek Gue?!

8 6 0
                                    

Lo, apain adek gue?!
.

Cklek!

Seorang lelaki yang bermain ponsel dengan hikmat, terbaring santai di kasur empuk itu menoleh ke pintu kamar mandi yang berbunyi. Matanya melotot ketika mendapati adik tersayangnya tengah di gendong oleh lelaki, yang sialnya adalah adik iparnya.

"Lo, apain adek gue, njing!?" Mana berkata ngegas.

Satu kalimat untuk Mana, sungguh tidak tahu diri. Bagaimana tidak? Bukankah sesuatu yang normal untuk sepasang suami istri, apalagi mereka pengantin baru. Hanya masalah gendong-menggendong Mana permasalahkan.

Bangkit dari rebahannya, menghampiri sepasang pengantin baru itu dengan tergesa. Tari menatap kakaknya itu bingung, lalu matanya bersitatap dengan mata Aldo mengisyaratkan untuk menurunkannya. Aldo pun dengan pasrah menurunkan Tari dari gendongannya.

"Dek, lo nggak pa-pa, 'kan? Ada yang luka? Lo diapain sama nih cunguk?" Mana memutar, membolak-balikkan tubuh adiknya itu dengan gelisah.

"Abang ... abang, abang stop! Aku nggak pa-pa, aku sehat wal'afiat!" komplain Tari yang merasa pusing.

"Terus ini darah apa?" Mana berkata dingin, matanya menatap Tari tajam.

Mana mengangkat jari Tari yang terkena darah dari hidung Aldo. Tari tersenyum kikuk lalu menjawab, "Itu--"

"Nih, dari hidung gue," potong Aldo menunjuk hidungnya yang masih ada tisu di sana.

Mana mengernyit bingung. Apa maksudnya?

"Gara-gara adek lo!" imbuh Aldo melihat raut kakak iparnya itu.

Mana melihat saudari kembarnya yang sedang tersenyum tidak enak, jemarinya pun saling bertaut resah di balik punggungnya. Kemudian Mana melihat raut kesal Aldo, juga bercak darah di tisu yang berada di hidung lelaki itu.

"Pfft--bwahahaha!" Mana tergelak meledakkan tawanya. Memegang perutnya yang sedikit keram karena tertawa, Mana bertanya pada Tari, "Aduh, ngakak, anjing! Itu beneran gara-gara kamu, Dek?"

Wajah Tari memerah malu. 'Ya, ini memang salahnya, tapi ya jangan diperjelas, dong! 'Kan malu,' pikir Tari.

"Abang ... udah ... malu ...," rengek Tamy sembari tangannya mencubit kecil lengan saudara kembarnya itu.

Mana terjengkit. "Aaa ... iya, iya, iya ...." Mana mengusap bekas cubitan adiknya itu. Lumayan juga. Panas.

Mana merangkul bahu Tari dengan tersenyum pongah, melirik Aldo yang menatap kakak beradik itu datar, sama-sama childish. Tangan Mana terulur mengusak kepala Tari dan berkata dengan bangga, "Bagus! Itu baru adek gue! Kalo ada yang macem-macem, lawan! Hajar! Jangan biarin lolos! Bhahahaha!" Mana kembali tertawa lebar.

Tari menepuk keningnya pelan. 'Gini banget punya abang, huh,' batinnya meringis. Abangnya ini sangat aneh, dia bisa menjadi orang yang galak, dingin, tetapi ia juga bisa menjadi konyol dan menyebalkan, terutama ketika bersama adik tersayangnya, sifat usil bin jailnya akan keluar.

"Kok Abang bisa ke sini?" bingung Tari mengalihkan topik.

"Kamu ngeremehin abangmu yang cerdik, pintar, cerdas bin jenius ini?" Mana berkata dengan narsis. "Apa, sih, yang nggak bisa abang lakuin?" Mana menyugar rambutnya ke atas.

Tari dengan lugu menjawab, "Nggak ada." Ya, memang benar, di mata Tari, Mana itu manusia multitalenta.

Mana menjentikkan jarinya. "Nah! itu tau!" katanya.

"Emang abang mau ngapain ke sini?" tanya Tari lagi.

Mana mengusap dagunya mengingat-ingat. Benar juga, kenapa ia ke sini? "Oh, tadi abang disuruh manggil kalian berdua buat makan siang. Ya, sebenernya udah telat sih, sekarang udah jam satu."

Tari mengangguk. "Oh, iya, iya. Sekarang abang keluar, gih. Aku mau bantuin obatin dia." Tari menunjuk Aldo yang sudah duduk menyender di sofa.

Mana mengikuti arah tunjuk Tari. "Hah? Biarin aja ... dia masih sehat, organnya juga masih utuh, masih berfungsi. Bisa obatin sendiri. Mending kita berdua langsung pergi aja, cus! Tau nggak, tadi abang nemuin sesuatu, deh! Mau liat nggak?" Mana menarik tangan Tari hingga mereka keluar dari kamar.

Dengan alis bertaut, Tari ingin membantah. "Loh, ta-tapi--" Sungguh! Tari merasa bersalah dan tidak enak pada Aldo.

Mana merangkul bahu saudarinya itu. "Udah ... dia udah gede. Masa nggak bisa obatin sendiri, malu dong, sama anak TK."

Tari menghembuskan napas. Ya, sekarang ia hanya bisa pasrah mengikuti kemana kakaknya itu membawanya pergi.

Sedangkan Aldo, membersihkan hidungnya sendiri. Tanpa mengobati luka di hidungnya itu, Aldo langsung memakai kemeja putih tadi, dan memakai celana pendeknya, lalu keluar dari kamar untuk makan siang--yang nyatanya adalah makan sore. Aldo berharap ia ingin segera pulang ke apartemennya, merebahkan tubuhnya yang terasa lelah, agar malamnya ia bisa mengikuti balab motor, seperti pesan singkat temannya beberapa saat lalu.

[Gimana, Boss? Lo bisa dateng, nggak? Mayan loh, taruhannya 6 juta!]

[Ya, ntar malem gue dateng, gue ambil tantangannya]

Pesan untuk temannya di aplikasi berwarna hijau dengan ikon bentuk telepon. Aldo keluar dari room chat itu, lalu mematikan ponselnya dan meletakkan benda pipih itu ke dalam saku. Ia lalu berjalan menuju ruang makan.

Sedangkan si kembar itu sudah duduk di kursinya masing-masing. Di ruang makan itu terdapat ayah dan ibu mereka, juga kedua merdua Tari. Kini para orang tua itu sudah rapi mengenakan pakaian formal, membuat Tamy mengerutkan alisnya bingung.

"Kenapa kalian pake pakaian formal? Bukannya kalian masih libur kerja, ya?" tanya Tari.

"Menantu ... kami habis ini akan langsung ke bandara. Kami berempat ada pertemuan penting dengan salah satu kolega bisnis di luar kota," ucap si ayah mertua, Rowan.

"Maaf, ya ... Sebenernya kami juga masih pengen lama-lama bareng pengantin baru, tapi ya, bagaimana lagi?" timpal Savira.

Di bawah meja, kedua tangan Tari terkepal erat. Ini adalah hari yang bersejarah untuk Tari, hari yang penting. Tidak bisakah kedua orang tuanya ini meluangkan waktu sedikit saja? Mulai saat ini, Tari sudah menikah. Pasti akan sulit untuk ia dan orang tuanya bertemu, apalagi--kalau tidak salah, ia harus tinggal bersana suaminya.

Tari menunduk, menyembunyikan matanya yang memerah. Ia hanya mengangguk untuk menanggapi ucapan mertuanya. Ya, Tari tahu ini tidak sopan, tapi ia takut jika menyahuti, ia akan menangis saat itu juga.

Mana yang duduk di sebelah Tari menatap Alam dan Nindi tajam secara terang-terangan, ia tak peduli dicap buruk oleh mertua adiknya itu. Tangan Mana terulur menggenggam tangan Tari hangat, menguatkan gadis itu. Bukankah mereka sering seperti ini?

Tari mengelap sudut matanya, kemudian menatap Mana yang tersenyum tulus membuatnya ikut melengkungkan bibir. Seolah bertelepati, pikiran Tari pun sama seperti kakaknya.

'Bukankah mereka sudah sering melakukannya? Ini hanya pernikahan singkat, bukan sesuatu yang berarti. Lo bisa, Tari. Anggap aja semua hanya angin lalu,' batin Tari mencoba menguatkan.

"Sayang, di mana suami kamu? Kok nggak diajak ke sini bareng?" Nindi mengusir hening dengan celetukkannya.

__
Selasa, 20.6.23

ALTAR [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang