Gue mau ngomong sama lo
.Aldo memasuki sebuah kamar yang berdesain simple bernuansa elegan. Cat berwarna coklat, kasur besar, lemari kayu, hampir semua yang berada di kamar ini berwarna coklat. Dapat ia simpulkan jika istrinya menyukai warna coklat.
Aldo tersenyum. Setidaknya Tari bukan gadis penyuka warna pink, yang semuanya harus berwarna pink, jika iya, maka Aldo tidak akan pernah menginjakkan kakinya di kamar itu.
Aldo berjalan ke sebuah meja belajar, barang-barang di sana tertata rapi, mungkin Tari orang yang sangat rajin.
Wush!
Angin berhembus menggerakkan pintu balkon yang sedikit terbuka. Aldo melangkahkan kakinya, membuka balkon itu lalu keluar. Dapat ia lihat jika langit telah gelap, dengan bertaburan bintang-bintang kecil di atas sana. Aldo berdiri di dekat pembatas, menikmati semilir angin yang terasa berbeda. Apakah angin bisa setenang ini? Selama ini Aldo tidak pernah memperhatikannya.
"Euuungh." Tari menggeliat karena sapaan angin menyentuh kulitnya. "Siapa?" Suara parau gadis itu ketika menyadari siluet seseorang di balkonnya.
Tari menggosok matanya pelan, lalu menguap kecil. Melihat bayangan seseorang berada di balkonnya membuat Tari merasa was-was. Apa mungkin itu kakaknya?
"Abang ...?"
Tidak ada sahutan.
Tamy bergerak dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju pintu balkon. Membuka pintu yang sedikit terbuka itu perlahan, di depannya, punggung kurus seorang lelaki yang terasa asing. 'Itu jelas bukan Mana, tapi siapa?' batinnya.
Aldo menyadari kehadiran Tari pun menoleh menampakkan setengah wajahnya yang tanpa ekspresi itu.
"Al ...?"
"Hmm," Aldo berdeham, badannya berputar menghadap Tari sepenuhnya dari tempat yang sama.
Sekarang Tari bisa bernapas lega. Mata Tari membulat ketika menyadari sesuatu di belakang Aldo.
"Udah malem?! Ini jam berapa?" Tari mengechek pergelangan tangannya, oh ia lupa jika tidak memakai arloji.
Tari berbalik untuk melihat jam dinding yang tertempel di atas meja belajar, yang menunjukkan angka 7 lebih seperempat.
"Aaaa! Kok lo nggak bangunin gue, sih!" teriakan Tari yang menyambut Aldo dari balkon.
Lelaki itu mengernyit.
"Al, lo udah mandi, belum?" tanya gadis itu.
Aldo menggeleng. Menyadari Tari yang sibuk mencari baju di lemarinya, tentu saja tidak akan melihat gelengan itu, akhirnya Aldo membuka suara. "Belum."
Tari berhenti, menatap Aldo. "Oh iya, lo nggak bawa baju, ya? Kalo gitu gue pinjemin baju abang dulu bentar."
Saat Tari akan berjalan keluar, Aldo mencekal tangannya. "Nggak usah," katanya.
Tari mengerutkan keningnya. 'Apa Aldo malu meminjam baju Mana?' pikir gadis itu. "Kenapa? Malu sama abang? Yaelah ... santai aja kali, baju dia banyak kok. Yang baru juga banyak, ntar gue ambilin yang baru, deh."
Aldo menggeleng. "Nggak, bukan gitu. Tadi gue mau ngomong sama lo"
"Apa?" sahut Tari cepat.
"Sekarang gue mau ke apart buat ngambil baju dan beberapa barang ...," Aldo menjeda. "Kita jadi tinggal di sini seminggu 'kan? Atau lo mau langsung ke apart?" tanya lelaki itu.
Tari menggeleng ribut. "Enggak, nggak, nggak! Kita tinggal di sini dulu seminggu," tolaknya. "Yaudah, ambil aja barang lo. Oh ya, ini kamar gue. Kalo lo nggak nyaman, lo bisa tidur di kamar tamu," imbuhnya.
Aldo mengangguk tak acuh. "Kalo gitu gue keluar. Mungkin ntar pulangnya malem, lo nggak perlu tungguin gue."
Setelah memastikan Tari mengangguk, Aldo segera keluar dari kamar itu.
Aldo berjalan dengan pandangannya terpatri pada ponsel di gengaman. Melewati beberapa kamar lain, tangga, hingga sampai di ruang tamu. Tanpa ia sadari ada orang di depannya.
Aldo menabrak orang itu.
"Weeees ... punya mata dipake, dong!" ucap orang itu.
Aldo beralih menatap orang di hadapannya, itu kakak iparnya. Aldo memilih untuk segera pergi, ia pun melewati Mana begitu saja.
"Nggak sopan, cih!" decih Mana. "Mau kemana lo?"
Aldo berhenti di ambang pintu, menoleh ke belakang. "Bukan urusan lo," jawabnya.
"Allardo ... nama yang nggak asing. Orang yang kerjaannya bolos, ngehajar anak orang, balapan liar, preman. Jujur aja, gue nggak setuju adek kesayangan gue nikah sama berandal kayak lo," jelas dengan muka meremehkan.
Aldo tersenyum miring. "Bukan urusan gue dan bukan kemauan gue buat nikah sama adek lo, Babu Sekolah."
Aldo langsung pergi meninggalkan Mana yang badmood di belakang. Bisa-bisanya, kedua orang tua itu menikahkan Tari yang masih berumur 18 tahun, dengan seorang berandal pula. Tomy tahu betul siapa Aldo, tentu saja karena mereka sekolah di tempat yang sama. Berbeda dengan Tari yang bersekolah di lain sekolah.
Aldo, seorang traublemaker yang membuat pusing hampir semua guru karena kelakuannya. Mana sering bertemu dan berurusan Aldo. Jika Aldo adalah pelanggar aturan, maka Tomy adalah penegak aturan, karena ia adalah ketua OSIS. Sebenarnya Mana tidak peduli dengan para pembuat onar seperti Aldo dan teman-temannya, ia hanya ingin menjadi pelajar yang rajin dan pintar, bukankah itu tujuan sekolah?
Tetapi karena ke-rajinan-nya itu, Mana malah terpilih menjadi ketua OSIS, padahal ia tak pernah minat dan mencalonkan diri. Namun, apa boleh buat? Akhirnya ia menjadi KETOS selama satu tahun, saat ia kelas 11. Ia masih ingat dengan jelas, wajah Aldo yang selalu ia temui di ruang BK untuk mengurus hukuman yang tepat bersama guru BK. Walaupun berkali-kali Aldo dihukum karena melanggar peraturan, tidak membuat lelaki itu jera.
Bahkan hingga saat ini, akhir semester satu kelas 12, Aldo masih tetap sama. Entah bagaimana lelaki itu bisa terus naik kelas.
Mana yang tadinya menghadap pintu, kemudian berbalik, menenteng satu plastik besar yang penuh dengan bahan dapur dan satu plastik besar lain yang penuh dengan makanan ringan, dan beberapa barang yang identik dengan perempuan--yang jelas Mana tidak paham dengan barang-barang itu. Menenteng dua plastik itu di kedua tangannya, Mana menuju dapur. Setelah meletakkan bahan-bahan dapur itu, ia lalu pergi ke lantai dua.
"Tok tok tok, paket!" teriak Mana.
Pintu terbuka menampilkan Tari yang baru selesai mandi. Tari melihat plastik di tangan Mana dengan berbinar menyahutnya.
"Wah! Makasih, Abang! Yang terbaik deh, pokoknya!" ucap gadis itu.
Mana mengerlingkan matanya malas. Tangannya mengusap kepala Tari yang terlihat menggemaskan dengan mata berbinar itu.
"Coba diliat dulu. Udah bener, belom?" tanya Mana memastikan.
Tari mengangguk. Mengeluarkan satu per satu barang dengan teliti. Senyumnya merekah ketika semuanya benar.
"Udah bener semua. Abang pinter juga."
Mengangkat dagunya bangga, lalu Mana berkata, "Abang laper, buatin makanan, gih!"
Senyum Tari memudar. "Kenapa nggak beli di luar aja, sih? 'Kan enak tinggal makan. Bahan-bahan di dapur juga habis, deh, kemaren." Ya, sebenarnya Tari malas melakukan apapun untuk saat ini, ingin tidur semalaman karena merasa tidak enak badan.
"Baru abang beliin bahannya, nggak ada alasan! Sana buatin abang makan. Itung-itung terima kasih, udah abang beliin tuh barang," jeda, "Ingat? Nggak ada yang geratis di dunia ini," lanjutnya mendramatisir.
Ya, Tari juga lapar, apalagi ia makan sangat sedikit tadi sore. "Hmm ... iya, deh."
Mana tersenyum, lalu berjalan menuju kamarnya yang berada di samping kamar Tari.
"Jangan tidur dulu, awas kalo tidur!" ancam Tari.
Kebiasaan kakaknya itu jika sudah tidur, akan sulit membangunkannya. Dan jika Mana tidur, siapa yang akan makan masakannya?
"Iya!" pekik Mana.
___
Jum'at, 23.6.23
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAR [Hiatus]
RandomUntuk mempererat suatu hubungan dan menjalin relasi yang saling menguntungkan, takayal perjodohan menjadi sebuah pilihan yang kerapkali digunakan para pebisnis di zaman dulu. Bahkan sampai kini, di tahun 90-an, masih banyak yang menggunakan metode...