Ini, 'kan punya lo
.Seorang lelaki dengan setelan jaket hitam dan celana jeans baru saja tiba di sebuah tempat yang ramai oleh para manusia yang didominasi pemuda, dengan tampang mereka yang terlihat sangar. Ia melirik sekitar, tidak menyangka akan seramai ini, ia lalu turun dari motornya. Melepas helm full face berwarna hitam yang ia kenakan, lalu mengurai rambutnya yang sedikit panjang--untuk anak laki-laki yang masih sekolah. Mengacak-acak rambutnya yang terasa gerah dengan gerakan yang berdamage.
Dari jauh, segerombolan laki-laki lain datang dan menyambut lelaki bertubuh kurus jangkung itu. Dengan senyum lebar segerombolan lelaki itu menyapa ramah.
"Wess, Bos! Dari mana aja dua hari terakhir? Pas gue cek ke basecamp, motor lo ada, tapi orangnya nggak ada." Seorang dari gerombolan itu mengangkat tangannya untuk ber'tos'ria dengan si lelaki yang ia sebut "bos".
Lelaki jangkung itu menyambut tangannya lalu berpelukan ala pria. "Biasa," jawabnya enteng.
Setelah melepas pelukan mereka, si lelaki yang rambutnya disemir merah itu mengangguk-angguk. "Bonyok pulang?" katanya.
Aldo, si lelaki jangkung itu berdeham acuh tak acuh untuk mengi'yakan. Mau bagaimana lagi? Aldo memang tinggal di apartemen yang ia sewa dengan uangnya sendiri, terkadang ia akan tinggal di basecamp beberapa hari. Tapi ketika orang tuanya pulang, ia akan pulang dan berpura-pura tinggal di rumah seperti anak baik. Namun, baru-baru ini, ia tahu jika orang tuanya telah mengetahui, dan Aldo tidak peduli.
Bahkan sekarang Aldo tidak perlu berpura-pura baik di depan mereka, atau bermain seperti maling.
"Fer, kita-kita balik ke sana dulu," ucap seorang perwakilan dari segerombolan itu pada Ferdi--si rambut merah.
"Oh, oke! Thanks, ya!" Ferdi lalu ber'tos dengan 3 lelaki lain, termasuk yang pamitan.
Ternyata itu adalah teman dari Ferdi, tapi Aldo tidak terlalu mengenal mereka. Ya, tentu saja karena Aldo hanya mempunyai sedikit teman untuk dipercaya, lelaki itu bukan tipe orang yang mudah percaya dengan orang lain, Aldo cenderung lebih sering sendirian daripada bersama teman-temannya, padahal ia sadar jika merasa kesepian.
Aldo menilik arloji di tangan kirinya sebelum melihat-lihat sekitar. "By the way, udah dimulai?"
Ferdi, bawahan sekaligus teman Aldo itu ikut melihat arloji di pergelangan tangannya, masih jam 10! "Belum. Baru dimulai ntar jam 12."
Aldo mengangguk paham. "Gue laper, cari makan, kuy!" ajaknya.
Mata Ferdi berbinar antusias, ia mengangguk. Aldo lalu mengambil helm, dan memakainya, ia bersiap menaiki motor, tiba-tiba tanpa disuruh Ferdi sudah nangkring di jok belakang.
"Motor lo mana?"
"Ada," balas Ferdi tak berdosa.
"Kenapa nggak dipake?"
Ferdi cemberut. "Yaelah, Bos. Pelit amat sih, nebeng bentar juga. Motornya jauh di sana, males ngambilnya."
Tanpa persiapan Aldo melajukan motornya membuat Ferdi terkesiap sedikit terhuyung ke belakang, dengan cepat ia memeluk Aldk untuk pegangan.
"Bos! Bilang-bilang napa kalo mau jalan!" jengkelnya.
Aldo yang risih segera memukul tangan Ferdi yang melingkar di perutnya. "Lepas, anjir! Lo homo!?" sungutnya.
Ferdi segera melepas tangannya, ia lalu tersenyum kesal. "Ehehe ... maaf dah, lagian lo nggak ngotak," ucapnya sembarangan disertai senyum sepolos pantat bayi.
Di malam hari ini, mereka berdua membelah jalan kota yang padat. Jaket Aldo berkibar terbawa angin, begitupun dengan rambut Ferdi yang terlihat mencolok di gemerlapnya lampu-lampu kota.
Kini mereka berdua berada di warung makan langganan, Aldo menyuruh Ferdi untuk memesan beberapa porsi lagi.
"Buat siapa, Bos?" tanya Ferdi.
"Anak-anak. Buruan lo pesen, abis itu kabarin mereka," perintah Aldo.
Ferdi dengan senang hati melakukan perintah Aldo. Sungguh, bosnya ini sangat murah hati. Memang diantara ia dan beberapa orang se-gengnya, Aldo satu-satunya yang dari keluarga kaya. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang masa kecilnya terlantar, dan hidup di jalanan.
Beberapa saat berlalu, lima oramg pemuda dengan tampang dan pakaian sangar memasuki warung makan itu. Si pemilik warung hanya tersenyum karena ia kenal dengan mereka, pelanggan setia.
Satu per satu dari mereka menyapa Aldo dengan bahagia. Aldo hanya membalas senyum dan tos. Mereka semua makan dan ngopi, serta nongkrong beberapa jam, membahas segala sesuatu yang bisa di bahas. Terkadang Aldo juga ikut berpendapat, ketika ia tertarik dengan topiknya.
Setelah makan, kopi, dan rokok mereka habis. Aldo menyudahi acara kumpulnya, ia segera membayar lalu bergegas pergi ke tempat balap motor bersama Ferdi.
Tepat waktu! Jam menunjukkan pukul 12 malam dimana acara akan segera di mulai.
Aldo langsung berada di standnya, tanpa melepas helm. Ia melirik orang di sampingnya.
"Gue kira lo nggak dateng," ucap si penantang balap motor malam ini yang juga melihat Aldo.
Aldo menyeringai. "Dan gue kira, lo bakal batalin ini acara karena takut sama gue."
"Nggak mungkin!"
Seorang perempuan dengan baju kurang bahannya berdiri di depan antara Allard dan si penantang.
"Kalian berdua siap?!" Perempuan itu mengangkat sepotong kain yang ia bawa di tangan kanannya.
Aldo dan si penantang mulai memanaskan motor, bersiap untuk meluncur.
"Tiga ...."
"Dua ...."
"Satu!!"
Wush!
Aldo menarik gasnya, melaju menyusuri jalan yang sangat licin dengan gesit. Ia tidak akan membiarkan si penantang menang. Memang benar jika orang tuanya kaya, tapi Aldo berjuang untuk harga dirinya! Ia tidak bisa membiarkan harga dirinya jatuh dengan menolak tantangan tersebut. Persetan dengan hadiah.
Semua penonton berteriak ramai, menyemarakkan acara malam ini, di ujung garis finish sana terdapat Ferdi yang juga menyemangati Aldo bersama teman-temannya. Ya, lelaki itu selalu bersemangat ketika Aldo beraksi, karena menurutnya keren.
Si penantang berada jauh di belakang, kalah telak! Tidak lama Aldo mencapai garis finish, beberapa detik di susul si penantang.
Sorak sorai semakin ramai, Aldo dan si penantang turun dari motor untuk berjabat tangan dan memberikan hadiahnya.
Si penantang menghembuskan napas "Huh ... nggak mengecewakan. Ternyata mereka yang bilang kalo 'lo hebat' bukan cuma bualan doang. Dan gue akui juga kalo lo hebat."
Sebenarnya ia cukup malu, tapi ia tetap rasional. "Sesuai perjanjian, 10 juta, cash!"
Aldo menerima uang itu, tanpa ia cek segera menaruhnya di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya untuk berjabat tangan. "Lo juga nggak buruk," pujinya secara nggak lanhsung.
"Sampai ketemu di lomba selanjutnya!" Si penantang lalu segera pergi dengan rombongannya. Dengan lemas mereka membawa pulang kekalahan.
Beberapa dari para penonton juga membubarkan diri, menyisakan Aldo dan, Ferdi yang menatap kantong uang itu berbinar.
"Selamat, Bos! Lo emang selalu jadi yang terbaik! Gue tau lo pasti bakalan menang!" pujinya.
Aldo membuka kantong uang itu, mengambil 8 juta rupiah dan ia berikan pada Ferdi. "Nih, ambil!"
Ferdi menangkap uang itu dengan bingung. "Ha? Buat apa? Ini, 'kan punya lo."
___
Sabtu, 24.6.23
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAR [Hiatus]
RandomUntuk mempererat suatu hubungan dan menjalin relasi yang saling menguntungkan, takayal perjodohan menjadi sebuah pilihan yang kerapkali digunakan para pebisnis di zaman dulu. Bahkan sampai kini, di tahun 90-an, masih banyak yang menggunakan metode...