9. Rawat Baik-Baik

0 0 0
                                    

"Gue tau, lo butuh uang ini, buat ibu lo berobat," ucap Aldo membuat hati Ferdi tersentuh.

Ferdi terdiam.

"Fer ... udah berapa kali gue bilang sama lo? Kalo lo lagi kesusahan, ngomong sama gue. Setidaknya gue pasti bakalan nyoba bantu sebisa gue. Gue udah anggep lo itu adek gue sendiri, dan tante Linda udah kayak ibu gue sendiri," lanjut Aldo.

"Gue ... nggak enak sama lo, Bang. Ibu udah sakit-sakitan, kami sering nyusahin lo ... lo udah banyak bantu gue sama ibu. Bahkan lo yang udah tanggung biaya ibu berobat di rumah sakit beberapa kali."

Otomatis lelaki yang lebih muda tiga tahun dari Aldo itu, memeluk Aldo dengan air mata di sudut matanya. "Makasih, Bang! Makasih banyak! Gue ... gue bakal balikin nih duit, kalo nanti gue udah punya--"

Aldo menepuk punggung Ferdi. "Nggak perlu! Gue ikhlas kasih ini buat ibu lo, rawat baik-baik," tolaknya tulus.

Ferdi mengurai pelukannya, menghapus air matanya dengan lengan. "Lo emang baik banget, gue beruntung bisa dapet temen sekaligus abang kayak lo."

"Tapi ... gue, udah banyak nyusahin lo. Lo udah banyak bantuin gue, nggak sekali-dua kali ...." Ferdi sadar, jika ia telah merepotkan Aldo selama ini. Pernah Aldo berkata untuk menganggapnya sebagai kakak, tapi Ferdi tidak bisa. Ia terlalu tidak tahu malu jika menganggap Aldo sebagai kakaknya.

Aldo yang notabenenya anak tunggal, ia menganggap Ferdi seperti adiknya sendiri. "Fer, sana pulang! Kasihan ibu lo di rumah sendirian."

Ferdi mengelap ingusnya yang keluar lalu mengangguk. Ia segera pamit pergi untuk pulang. Aldo masih di sana, menatap punggung kurus Ferdi iba. Aldo mengingat kembali pada tiga tahun yang lalu. Dimana ia bertemu dengan Ferdi.

Saat itu, tiga tahun yang lalu. Aldo menunggu jemputan dari sopir pribadinya di depan gerbang sekolah. Tetiba ia merasa lapar, lalu mengambil roti dari dalam tasnya untuk mengisi perut sambil menunggu. Belum sempat ia melahap roti itu, seorang anak laki-laki menyahutnya lalu kabur tunggang-langgang. Aldo refleks mengejarnya.

"Woi! Berhenti, Lo. Maling!" teriakan Aldo mengiringi laju larinya mengejar maling itu.

Tidak jauh, hanya beberapa meter dari jalan raya. Aldo terus menyusul maling itu berlari menyelip di gang sempit dengan tubuh kurusnya. Melewati beberapa rumah yang penuh dengan baju-baju yang dijemur di balkon, sampai akhirnya tiba di salah satu rumah, yang sebenarnya tidak layak disebut rumah karena dindingnya terbuat dari tripleks yang sudah berlubang di sana-sini, pun atap esbes yang sudah rapuh.

Aldo berhenti sedikit jauh dari rumah itu, menyembunyikan diri di balik pohon pisan yang berdaun lebar. Mengamati maling yang mengambil rotinya sedang membuka pintu tergesa-gesa sebelum masuk. Aldo mengendap-endap mendekati rumah itu, mengintip di sela lubang kecil untuk melihat keadaan di dalam.

Di dalam rumah. Terlihat seorang wanita paruhbaya yang tidur dam seorang anak laki-laki yang mencuri roti Aldo duduk di sebelahnya.

"Bu, aku bawa roti. Ibu makan, ya?" Maling--maksudnya Ferdi yang mencuri roti Aldo--berbicara dengan ibunya.

"Kamu dapat roti ini dari mana? Kita nggak punya uang buat beli roti seperti ini." Suara wanita itu lemah bertanya pada putranya.

"Dikasih sama teman." Anak itu berbohong.

Meskipun sedikit curiga, tapi ibu Ferdi masih percaya pada putranya. "Kamu udah makan?" tanya si ibu dengan suara lemah yang ditanggapi dengan anggukan kecil Ferdi.

Ferdi tersenyum, segera membuka kemasan roti, kemudian mengulurkan tangan menyuapi ibunya. Tetapi baru satu gigitan, sang ibu terbatuk keras dan memuntahkan seteguk darah di telapak tangannya.

"Ibu!" Ferdi terkejut. Ia menangis khawatir, panik, bingung harus bagaimana, dan takut jika terjadi sesuatu pada ibunya.

Aldo yang sejak tadi mengamati juga segera menerobos rumah dan membantu wanita itu untuk duduk dan menyuruh Ferdi mengambilkan air minum.

"Ambil minum!"

"N-nggak punya," jawab Ferdi terbata-bata karena menangis.

Karena darurat, Aldo tidak sempat berpikir bagaimana dua orang ini bisa hidup tanpa air? Akhirnya Aldo mengambil air minum dari tasnya dan membantu ibu Ferdi untuk minum perlahan.

Selang beberapa saat, Aldo melihat wanita itu sudah tidak terlalu parah. Aldo mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelpon pak supir yang biasa menjemputnya.

"Halo, Pak ...."

Di lain sisi, Agus, nama sopir Aldo itu dengan tangan gemetaran meraih saku celananya yang bergetar. Tetapi melihat nama penelpon yang terpampang di layar, segera tubuhnya menjadi lebih tenang.

"Den Aldo ada di mana? Saya sudah di depan sekolah. Katanya pak satpam Den Aldo udah keluar dari tadi," sahut Pak Sopir dengan nada cemas.

Bagaimana tidak cemas? Aldo bisa dibilang Tuan Muda. Ayah dan ibu Aldo bekerja sebagai pebisnis yang cukup berjaya. Aldo sebagai anak orang kaya sangat berpotensi mengalami penculikan yang biasanya bermotif meminta uang tebusan yang banyak, 'kan? Misalkan saja Aldo benar-benar diculik, bisa-bisa hidup Pak Sopir jadi taruhannya.

Sebelum Pak Sopir yang bernama Agus, Sopir saat ini, bekerja di keluarga Aldo, sudah pernah ada sopir lain yang juga bekerja di sana.

Dengar-dengar, ada satu cerita di mana saat itu Aldo berumur 5 tahun, berhasil diculik oleh penculik yang selama setahun bekerja sebagai sopirnya. Makanya, sangat sulit bagi Agus ketika berusaha membuat keluarga Aldo percaya bahwa ia benar-benar orang yang jujur dan sangat membutuhkan pekerjaan. Andaikata Aldo kenapa-kenapa ketika dalam pengawasannya, apa pun kemungkinan buruk bisa terjadi padanya.

Bagaimanapun yang kaya adalah yang berkuasa, 'kan?

"Pak, tolong ke sini, ya! Ada yang sakit. Cepet!" Aldo gusar sendiri.

"Den Aldo kenapa?! Aden sakit? Aduh Aden ... Aden sakit apa? Aden ada di mana sekarang?" rancau Pak Sopir yang sudah berpikir yang tidak-tidak, takut apa yang ia wanti-wanti sebelumnya menjadi kenyataan

Bisa mampus kalau begini, aduh... anak orang kaya lagi. Kalau kenapa-kenapa gimana? Pikir Pak Sopir.

"Aduh, jangan banyak tanya deh, Pak. Mending Bapak ke sini sekarang!" Aldo yang gemas ditambah gregetan langsung memutuskan sambungan telpon dan mengirim lokasi saat ini.

Pak Sopir terbangun dari lamunannya segera masuk mobil dan bergegas mengikuti rute gps di ponsel dari kiriman Aldo.

Entah bagaimana saat melihat ibu Ferdi, membayangkan orang yang berada di posisi itu adalah ibunya, hati Aldo merasa sedih dan kasihan.

Terlepas dari ingatan itu. Kini Aldo memakai kembali helm-nya bersiap untuk pulang dan tidur karena jujur matanya terasa sangat panas, mungkin hampir tiga hari ia tidak bisa tidur dengan lelap.

"Kalo nggak salah, tikungan depan ada apotek."

___

211223

ALTAR [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang