1. Kita Nikah Karena Terpaksa

8 8 0
                                    

Kita Nikah Karena Terpaksa
.

"Yaampun! Kamu cantik banget. Padahal cuma dipoles dikit doang, loh. Kulit kamu lembut, lembab, kinclong bercahaya," puji si penata rias kepada calon mempelai wanita di depannya dengan senyum mengembang.

"Terima kasih, Mbak." Tari tersenyum tipis. Memang benar, ia terlihat sangat cantik di depan cermin sana. Dengan riasan tipis yang sangat pas di wajahnya, baju pengantin berwarna putih dengan sedikit hiasan, rambutnya yang hitam tersanggul indah menyisakan beberapa helai menjuntai. Terlihat sempurna.

Hari ini, hari pernikahan Tari yang telah ditentukan oleh ayahnya. Tanpa meminta persetujuan, ayahnya telah menetapkan pernikahan ini sendirian. Egois. Sungguh egois. Dengan perlawanan atau protes yang diajukan Mana dan Tari tidak berpengaruh sedikit pun, semua hanya dianggap angin lalu oleh sang ayah.

"Dek ... kamu, yakin?" Mana, kembaran Tari itu menghampiri.

Mana berdiri di belakang Tari yang sedang menatap kosong cermin di depannya. Mana memegang kedua pundak saudarinya, membuat sang empu yang melamun tersentak dan refleks menoleh ke samping.

"Jangan dipaksain, Dek. Abang bakal ngomong sama papa, biar pernikahannya dibatalin," Mana berkata dengan raut cemas.

Tari melihat raut kakaknya itu, matanya memanas. "Abang ... jangan gitu, ah. Nggak asik dong, kalo aku nangis sekarang, ntar make upnya luntur," Tari mencoba bercanda.

"Tari--"

"Bang ... aku nggak mau liat kamu dihajar sama papa, lagi. Cukup kemarin malam liat kamu luka sama papa yang marah. Aku nggak pa-pa." Tari menggenggam tangan Mana yang berada di pundaknya. Meyakinkan kembarannya itu, walaupun ia sendiri bimbang dengan keputusannya.

"Gimana kalo kita kabur aja?" usul Mana mendapat tabokan dari Tari.

Tari tergelak dengan mata berair. "Konyol! Nggak usah ngelawak, ah. Nggak lucu tau."

"Aku serius, Tari. Please, jangan sakiti diri kamu sendiri dengan nerima pernikahan konyol ini. Aku nggak akan rela dan nggak ridho, kalo sampe terjadi sesuatu sama kamu," ujar Mana serius.

Tari bungkam, gadis itu lalu berdiri dan menghadap kembarannya.

Tari menatap mata Mana. "Hey ... aku cuma nikah. Aku nggak kemana-mana, aku masih bisa ketemu Abang, kita masih bisa sama-sama kayak biasanya, 'kan? Abang ... jangan kayak gini ...." Tari menghamburkan diri ke pelukan kembarannya itu hangat, ia tidak bisa lagi jika harus menatap raut khawatir berlebihan dari sang kakak. Ikatan persaudaan mereka sangat erat, terlebih mereka merasa hanya memiliki satu sama lain untuk hidup ketika orang tua mereka seolah menelantarkan selama ini.

Mana mengembuskan napas lelah. "Ingat, hm? Kalo sampai suami kamu kasar, main tangan--pokoknya, nyakitin kamu. Bilang sama abang. Biar abang yang hajar itu orang. Oke, Girl?" ucap Mana.

Tari hanya mengangguk mengiyakan.

"Tari ... Mana ...," Nindi yang berada di ambang pintu memanggil kedua anaknya yang sedang berpelukan.

Nindi mendekat ketika si kembar telah mengurai pelukannya. Nindi menggenggam tangan dingin Tari dan berkata, "Maafin mama, Sayang. Mama nyesel nggak bisa berbuat apa-apa buat kamu. Kamu tau 'kan? Gimana sifat Papamu?"

Mana yang mendengarnya diam-diam mencibir dalam hati. Ketika hendak membuka mulutnya, tangan kiri Tari yang bebas menarik jas kembarannya itu dan mengisyaratkan untuk diam. Mana hanya menurut lalu pergi tanpa sepatah katapun. Bahkan hanya melirik Nindi kecewa.

Sungguh, sangat sakit ketika putramu sendiri mengabaikanmu. Nindi tahu dia salah, tapi Nindi tidak bisa berbuat apapun. Nindi terisak, Tari memeluk dan menepuk punggung ibunya pelan. "Aku tau, Ma. Mungkin ini emang takdirku. Apa yang bisa aku lakuin? Nggak ada yang bisa aku lakuin ... bahkan aku nggak bisa nyalahin Mama."

Perkataan Tari semakin membuat Nindi merasa bersalah. Nindi mengurai pelukannya. "Maafin mama, harusnya mama mengurus kalian dengan baik di rumah. Bukannya malah kerja sana-sini bareng papa. Kalian--" Nindi menangkup wajah Tari.

"--Entah kapan, terakhir kali mama bisa liat kamu dengan puas kayak gini. Mama baru sadar, sekarang kamu udah tumbuh dewasa tanpa Mama dan Papa. Sekali lagi, maafin mama, Sayang ...." Beribu kata maaf selalu ada di hati Nindi, menggambarkan rasa bersalahnya yang besar.

Tari tersenyum tipis menutupi senyum mirisnya dan menggeleng pelan. Tangannya terulur untuk mengusap air mata di pipi Nindi. "Jangan nangis, Ma. Aku nggak bisa liat Mama nangis. Mama mau kalo make up-ku luntur gara-gara ikut Mama nangis?" canda Tari.

Nindi mengecup telapak tangan Tari di pipinya.

"Ekhm!" dehaman seseorang di ambang pintu membuyarkan drama mewek dua perempuan itu.

Tanpa berkata apa pun, Tari sudah tau jika ini adalah saatnya untuk ijab kabul.

Sepanjang jalan menuju ruang utama untuk ijab kabul, Tari berpikir untuk membatalkan pernikahan ini. Tari menimbang penawaran Mana yang mengajaknya kabur. Sepertinya bukan ide yang buruk, tapi tidak baik juga, pikir Tari.

Mengenai calon suaminya, Tari tidak pernah tahu seperti apa calon suaminya itu? Tari berpikir, jika orang itu adalah pria tua, berperut tambun, dan berpikiran mesum. Yah, kurang lebih seperti pria-pria kaya hidung belang yang sering berkunjung di club malam. Akan sangat menyedihkan jika itu benar.

Tanpa disadari, Tari telah sampai ke tujuan, melebarkan pandangannya mencari kemungkinan pria mana yang akan menikah dengannya.

"Tari," tegur Nindi mengisyaratkan untuk putrinya itu duduk di depan penghulu.

Tari duduk dengan menunduk, bayang-bayang buruk terus berkeliaran di kepalanya. Badannya pun turut gemetar karena grogi.

"Baik. Kedua mempelai sudah siap? Kita bisa memulainya sekarang," ucap seorang penghulu yang mengabsen mempelai dan saksi.

Alam mengangguk dan mempersilakan.

Penghulu itu berjabat tangan dengan mempelai pria. "Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan kawinkan engkau, saudara Allardo Ferdinand bin Rowan Ferdinand dengan saudari Lestari Aruna Suryadi binti Alam Suryadi dengan maskawin ...."

Tari memejamkan matanya. Menulikan pendengaran sejenak. Ini adalah acara sakral pernikahan. Walaupun ini mendadak, bahkan Tari tidak mengenal siapa suaminya. Tapi bagaimanapun, pernikahan ini, Tari ingin menjadi pernikahan satu-satunya dalam hidup. Pernikahan bukan sesuatu yang bisa dipermainkan seenaknya.

"Sah!"

Dan seketika air mata Tari meluruh. Mereka semua lalu berdo'a bersama. Tari mengelap air matanya dan memberanikan diri mendongak menatap orang yang kini telah sah menjadi suaminya.

Wajah tampan itu menyapa Tari membuat sang empu tercengang. Apakah ini benar? Jadi ... bukan pria tua bertubuh tambun dan jelek yang menikah dengannya? Tari takut ini adalah mimpi, suaminya terlihat sangat tampan dan masih muda, mungkin seumuran. Sangat jauh dari bayangan di otaknya.

Ingin sekali Tari menangis hingga bersujud syukur, walaupun ini pernikahan yang terkesan dipaksakan, setidaknya, suaminya bukan pria tua yang jelek--

"Tari, cium punggung tangan suamimu." Entah siapa yang berkata, tetapi kata-kata itu membangunkan Tari dari acara melamunnya.

Lelaki dengan raut wajah acuh tak acuh itu memberikan tangan kanannya. Tari menerimanya dan mencium ringan permukaan tangan sang suami.

"Jangan berpikir bisa mendapatkan lebih dari apa yang bakalan gue kasih ke lo. Kita nikah cuma karena terpaksa. Ngerti?" bisik sang suami membuat Tari seperti disambar petir.
__

Sabtu, 17.6.23

ALTAR [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang