6. Lo ... Nggak Pa-pa, 'Kan?

5 7 0
                                    

Lo ... nggak pa-pa, 'kan?
.

Tari berpikir sejenak. Setelah Aldo selesai mengucapkan maksudnya, ia pun akhirnya paham apa yang lelaki itu maksud.

"Jadi, maksud lo, kita bebas ngapain aja, nggak ngurus kehidupan pribadi masing-masing, lo dan gue cuma tinggal satu atap tanpa adanya sesuatu yang istimewa--maksudnya hubungan dekat, walaupun kita udah nikah?"

Yang benar saja?! Aldo menganggap pernikahan ini main-main. Tari tidak berpikir jika suaminya itu otaknya sempit. Walaupun ia juga sama-sama terpaksa, tapi ia mau berusaha untuk menerima semua ini, dan jika hanya ia yang berusaha, itu tidak akan pernah berhasil. Ingin sekali Tari marah, tapi apa boleh buat? Seperti kata Aldo, mereka hanya orang asing, dan Aldo tidak mau menjadi lebih dekat.

"Tepat!" Aldo bertepuk tangan sekali. "Tapi paling nggak, kita tetep harus kayak suami istri di depan para orang tua, hanya di depan mereka," lanjutnya.

Sesuai yang Aldo harapkan, gadis itu pintar dan pasti paham dengan apa yang ia maksud. Dengan begini, ia bisa bebas melanjutkan hidupnya seperti biasa--sebelum menikah. Aldo sempat khawatir ketika pertama kali orang tuanya berkata ia akan menikah dengan gadis pilihan mereka.

Kening Tari itu mengkerut dalam menandakan jika ia berpikir. "Itu childish banget, nggak, sih?" tanya Tari sebelum pergi dari hadapan Aldo.

"Nah!" Aldo bersorak sebelum sadar. "Tunggu, apa? Maksud lo?" imbuhnya kemudian.

Aldo mengekor di belakang Tari yang membereskan beberapa barangnya. 'Apa yang gadis ini katakan? Childish?' batinnya. Ketika Tari tiba-tiba berhenti mendadak membuat Aldo yang sibuk berpikir menubruk gadis itu dari belakang.

"Ish! Lo apa-apaan, sih?!" kesal Tari. "Nggak. Tadi gue ralat, gue sih ngikut lo aja. Gue juga nggak peduli sama lo."

Aldo tersenyum puas, lalu ia duduk di ranjang dengan lega. Wanita memang aneh, plin-plan dan sulit dimengerti. Itu juga menjadi salah satu alasannya sedikit menjauh dari manusia berjenis kelamin perempuan.

"Bagus! Dan ... untuk nafkah, lo tenang aja, bakalan gue kasih--"

"Lo punya penghasilan?" Tari bertanya dengan meneliti Aldo dari atas hingga bawah, yah, terlihat seperti berandal gembel jalanan, walaupun sebenarnya orang tuanya kaya.

Aldo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya ... enggak juga, sih. Lo pasti tau, 'kan, kalo yang kaya itu bokap nyokap, bukan gue."

"Hmm ... terus lo mau berusaha nyari duit? Kerja?"

Aldo mengangguk. "Ya, gue tau. Ini emang nggak mudah bagi kita--lo sama gue, tapi asal lo tau, gue juga menghargai pernikahan ini. Gue juga pengen menikah sekali seumur hidup. Tapi sekarang, gue belum siap. Lo ... nggak pa-pa, 'kan?"

Hati Tari tersentuh. Benar, bukan hanya dia yang berharap ini adalah pernikahan pertama dan terakhirnya. Dengan tampang berandal Aldo, setidaknya ia masih mempunyai hati nurani dan rasa menghargai. Aldo bukan sosok yang menganggap kaum perempuan itu rendah, dia sangat menghargai perempuan, sebenarnya.

Tari mengangguk dan tersenyum, ia tak tahu harus berkata apa.

"Jadi, gue bakalan berusaha ngasih lo nafkah kayak suami istri pada umumnya, kecuali ..."

"Apa?" 'Kenapa ada pengecualian? Jadi ragu sama nih berandal, pikir Tari.'

Ald berdeham untuk menetralkan rasa gugupnya. "Ekhem! Kecuali nafkah batin. Lo tau, 'kan, kalo gue belum siap?"

Pipi Tari merona, memalingkan wajahnya dari Aldo. "Ya, harusnya gue yang ngomong gitu. Gue juga belum siap."

Tari segera pergi ke kamar mandi untuk mencari kalung kesayangannya yang terjatuh entah kemana. Beberapa saat berlalu tetapi ia belum menemukan kalung perak itu. Seseorang mengetuk pintu dari luar kamar mandi.

Tari membukanya, Aldo berdiri di sana dengan tampang datarnya.

"Lo--"

Tari yang teringat pembicaraan mereka tadi, yang terkesan vulgar, menjadi aneh. Suasana sangat canggung. Tari tak menanggapi Aldo dan buru-buru kembali masuk.

"Gue lagi sibuk. Jangan ganggu!"

Blam!

Aldo menggeleng. Lalu berteriak, "Para orang tua udah mau berangkat! Cepetan!"

Tari yang mendengar tersentak. Buru-buru gadis itu keluar dari kamar mandi dan tanpa mempedulikan Aldo, keluar begitu saja. Aldo hanya mendengkus lalu mengekor di belakang gadis itu tanpa berlari.

Mereka semua--Aldo, Tari, dan Mana, mengantar keempat orang tua mereka itu hingga ke bandara.

"Mama!" Tari menangis memeluk ibunya.

Nindi dengan senang hati mendekap putri kecilnya, menangkup wajah Tari dan menghapus jejak air mata di pipi gadis itu. "Jangan nangis, malu sama suaminya," goda Nindi.

Nindi mengelus kepala Tari, lalu tangannya melambai memanggil Mana untuk ikut berpelukan. Mana mendekat.

"Kalian berdua udah besar," ucap Nindi menangkup wajah anak kembarnya.

Mengecup kening kedua anaknya itu bergantian. "Hati-hati di rumah."

Si kembar lalu beralih memeluk ayah mereka tanpa sepatah kata pun. Semenyebalkan apapun Alam di mata anak-anaknya, tetap saja, hubungan darah mereka akan terus tersambung erat.

Tari beralih mememeluk ibu dan ayah mertuanya.

Momen perpisahan itu berakhir setelah keempat orang tua itu masuk ke dalam pesawat.

Tari melambai pada pesawat yang lepas landas. "Daaaa-daaaaahh!"

"Sekarang kita pulang," ucap Mana merangkul bahu adiknya.

Sekali lagi, Aldo hanya mengekor di belakang.

Kini si kembar berada di mobil yang sama, sedangkan Aldo mengendarai mobilnya sendiri. Mobil mereka melaju membelah padatnya kota menuju kediaman Alam.

Tari tidur di mobil karena terlalu kelelahan. Mana yang melihatnya merasa kasian. Mereka masihlah sangat kecil untuk menikah. Di umur 17 tahun, dimana remaja pada umumnya mulai merencanakan masa depan mereka, mengejar cita-cita, melalukan apa yang mereka senangi bersama teman-teman. Namun, Tari harus terikat hubungan konyol--menurut Mana ini.

Mana sedikit tenang, karena orang tuanya dan mertua adiknya adalah orang kaya, setidaknya Tari tidak akan hidup terlalu susah. Dan untuk pernikahan ini, sekolah tidak akan mempermasalahkannya--setidaknya jika mereka tidak ketahuan sudah menikah. Jika saja Aldo berani macam-macam, membuat hidup Tamy sengsara, maka Mana sendiri yang akan pasang badan dan mencarikan surat cerai untuk mereka berdua.

Karna pada dasarnya, Mana tidak setuju dengan pernikahan mendadak ini. Mana sangat menyayangi adiknya, melebihi ia menyayangi dirinya sendiri. Dia juga ingin yang terbaik untukadik tersayangnya.

"Dek ... bahagia selalu, ya. Abang nggak bisa liat kamu menderita ...,"

"Cepat atau lambat, kamu juga pasti akan menikah, abang tau itu."

"... Kamu udah ngambil keputusan ini. Abang cuma bisa ngedukung pilihan kamu."

"Bahagia selalu."

Mana mengecup sayang kening kembarannya itu.

Setelah sampai di halaman rumah, Mana menggendong Tari.

Tari yang terusik sedikit membuka matanya, ia mengalungkan tangannya ke leher Mana ketika tahu itu adalah kakaknya. Kepalanya mendusel ke dada bidang Mana dan sedikit bergumam tidak jelas.

Mana tertawa. "Astaga ... kucing kecilnya abang lucu banget, sih!"

Kedua bersaudara itu sibuk dengan dunia masing-masing, tidak mempedulikan Aldo, seolah lelaki bertubuh jangkung itu tidak ada di sana. Allard pun kembali mengekor di belakang, sembari melihat-lihat sekeliling rumah asing yang akan ia tempati seminggu kedepan.

___
Kamis, 22.6.23

ALTAR [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang