🌻6: Nightmare - The Price of an Option

15 4 1
                                    

Di suatu taman bermain dekat pekarangan rumah, dua orang anak kecil bermain. Sesekali main ayunan, sesekali bermain perosotan, sesekali berkejaran. Di sela bermain, salah satu anak tampak duduk menyetabilkan napasnya yang ngos-ngosan. Sambil memegangi dadanya yang sedikit nyeri, anak itu mengangkat wajah melihat gadis kecil itu mendekat dan menatapnya dengan tatapan polosnya.

"Kamu gapapa?" Tanyanya.

Sebagai jawaban anak kecil itu hanya tersenyum. Gadis kecil itu kemudian mengulurkan tangan yang lalu disambut olehnya.

"Ayo kita pulang." Ajak gadis berkepang itu. Hari sudah sore, langit sudah berubah berwarna jingga keunguan.

"Gamau pulang. Masih mau main." Gelengnya dengan suara imut, sepadan dengan wajahnya yang tak kalah imutnya.

"Ayo main lagi." Ajaknya lagi meraih tangan mungil gadis itu, lalu ditariknya menuju ke sebuah padang rumput luas yang tak jauh dari taman bermain.

Seketika adegan manis antar dua anak kecil itu terlihat kusut seperti tayangan TV yang hilang sinyal sesaat. Adegan selanjutnya pun berubah menjadi bayangan punggung anak kecil yang berlari, sesekali menoleh ke belakang dan tertawa. Semua warna terlihat hitam dan putih, kecuali gelang di tangan anak lelaki itu yang satu-satunya berwarna biru.

Kusut lagi. Seperti sebuah adegan yang direka berselang-seling tanpa konsep. Sesekali memperlihatkan tangan mungil yang merogoh saku, mengeluarkan permen yang lalu disuapkan kepada anak lelaki yang tersenyum cerah itu. Wajahnya yang sepucat bulan masih bisa tersenyum dengan lebarnya, meski harus sesekali memegangi dadanya yang sesak.

Satu suapan permen yang selanjutnya adalah bagian terburuk di mimpi itu. Anak lelaki itu mendadak jatuh terkulai di rerumputan. Dan suasana tampak kelam, petir bersahut-sahutan, dan dunia menjadi sangat gelap. Tangan mungil itu menggoyangkan tubuh lelaki kecil itu, tampak pudar seolah-olah dihalangi oleh bendungan air mata.

Adegan berseling lagi. Suara gemuruh petir terdengar seakan hendak menyambar kepalanya. Beberapa orang datang dengan langkah lebar, derai tangis pecah, lelaki itu dibawa pergi. Sementara itu di sebelahnya, tertinggal kaleng permen yang beberapa isinya tumpah ke rerumputan.

Gadis itu menangis sendirian. Hujan datang petir bersahutan membuatnya ketakutan. Di ujung gelap sana pria kecil tadi muncul sambil menyeringai lebar, terlihat pucat dengan darah berlumuran keluar dari mulutnya.

Pria itu lantas berbalik, dengan tawa pecah ia berlari meninggalkan gadis yang langsung mengejar bayangan itu. Namun semakin dikejar, justru bayangan itu semakin memudar hingga terakhir, kaki mungilnya mendadak terpeleset. Ia terjatuh ke sebuah jurang kelam seperti tanpa dasar. Tawa anak kecil yang renyah itu memenuhi telinga, dengungan aneh pun terdengar bersamaan tangis gadis kecil itu dalam kegelapan.

Sekeras apapun ia berteriak, tak ada yang menyahutnya. Tak ada yang menggapai uluran tangannya. Makin terjebak dalam kegelapan yang membuatnya sesak dan menderita, seperti apa yang selalu anak lelaki itu rasakan.

"ENGGAK! ENGGAKKK!" Seru Hazel kencang. Ia menggeleng, memberontak, hendak menghindar dari sesuatu yang berdarah-darah ingin menyergapnya.

"ENGGAK MAU! LEPAS!"

"AAAA LEPAS!!"

"HAZEL!"

"MAAFIN AKU!!!!!" Ia menangis. Air mata merembes. Tubuhnya memberontak.

"INI MAMA HAZEL. SADAR NAK. HAZEL!!!"

Setelah panggilan terakhir, Hazel terbangun, ia membuka mata dan wajah mamanya adalah hal yang pertama ia lihat. Hazel terdiam sesaat, wajahnya terlihat pias dan dibanjiri air mata. Sementara mama memeluk Hazel, memberikan rasa aman setelah tahu anak satu-satunya itu terbangun dari mimpi buruk lagi.

Broken Mirage✓ JunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang