Dua

59 8 0
                                    

"Bunda, Mahes berangkat kuliah dulu ya. Kalau mau makan, udah Mahes masakin. Bunda tinggal ambil aja di meja makan. Sampai nanti, Bun. Assalamualaikum."

Usia berpamitan kepada sang ibu yang tidak memberikan banyak respon selain mengangguk lemah, pemuda bertubuh mungil segera berangkat menaiki motor honda Blade Repsol warna orange miliknya. Dia ada kuliah dari pukul 10 pagi sampai pukul 2 siang jadi tadi sempat memasak sarapan dan makan siang juga. Perjalanan dari rumah ke kampus hanya butuh lima belas menit jadi ia berangkat pukul setengah 10 pagi. Ketika tiba di gedung fakultasnya, kakinya langsung melangkah menuju kelas di lantai tiga.

Di dalam kelas, bukannya memperhatikan dosen yang mengajar, dirinya malah melihat ke luar jendela. Pikirannya melayang ke peristiwa yang terjadi enam bulan lalu saat dirinya masih di semester satu. Keluarganya yang semula baik-baik saja menjadi hancur ketika ada seorang wanita datang ke rumah. Itu sekretaris ayahnya yang mengaku sedang mengandung anak bosnya sendiri. Saat itu bunda marah besar lantas meminta ayah yang sedang main ke rumah temannya untuk pulang ke rumah.

Alih-alih berbicara baik-baik, mereka malah bertengkar hebat. Saling memaki bahkan memukul satu sama lain. Tidak peduli ada anak semata wayangnya ketakutan melihat itu semua. Bahkan di situ ada sahabat anaknya juga yang ikut memperhatikan pertikaian sembari berusaha menenangkan Mahesa. Orang ketiga itu hanya menangis ketika melihat sepasang suami istri bertengkar karenanya. Sampai akhirnya pertengkaran selesai lalu berakhir dengan perceraian. Itu merupakan pukulan terbesar di hidup seorang Mahesa.

Semenjak bercerai dengan sang ayah, bundanya menjadi stres dan sakit-sakitan. Beruntung ayahnya masih mau mengirimi Mahesa uang jadi masih bisa digunakan untuk bertahan hidup. Namun, sejak tiga bulan yang lalu, pria paruh baya tersebut hanya memberi uang untuk keperluan kuliah dan membayar listrik serta internet. Untuk urusan makan dan obat ibunya, Mahesa mau tidak mau harus mencari uang sendiri agar kebutuhan lainnya terpenuhi. Dia berkerja menjadi pelayan kafe dan guru tari modern di akademi seni.

Rasanya ingin marah pada dunia yang begitu kejam karena membuat dirinya menjadi seperti sekarang. Namun, ia bukan tipikal orang yang suka mengeluh jadi yang bisa dilakukan adalah menjalani hari-harinya dengan baik. Sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain dan berusaha untuk bertahan menghadapi hidup bersama kedua sahabatnya. Sejak perpisahan kedua orang tuanya, mereka banyak membantu dalam berbagai hal kecuali material karena jelas dia akan menolak.

Mereka sering membantunya mengerjakan tugas, menemaninya ketika sedang bekerja, dan masih banyak lagi. Mahes bersyukur memiliki sahabat seperti Kala dan Jay yang selalu ada untuknya di saat tersulit maupun terbaik dalam hidupnya. Namun, sejatinya ia sadar bahwa tidak selamanya mereka berdua ada dan membantu. Jadi, sebisa mungkin dia mencoba untuk mengatasi suatu masalah sendiri selagi masih kuat. Jika sudah tidak mampu sendiri, barulah meminta bantuan.

"Woy! Ngelamun aja! Udah bubaran. Pindah kelas, cuy!"

Lamunannya buyar ketika salah seorang teman menepuk bahunya dengan cukup keras disertai seruan tak santai. Dia mengalihkan pandangan ke teman yang mengganggu acara merenungnya tadi. Baru disadari ternyata hanya tinggal beberapa mahasiswa saja yang ada di dalam kelas. Tak ada niat untuk menanggapi, ia segera membereskan barangnya lantas beranjak dari tempat sembari menyampirkan totebag di pundak kiri. Setelah ini masih ada kelas lagi di lantai satu jadi harus bergegas karena jedanya hanya lima menit.

Di lain tempat di waktu yang sama, seorang pemuda dengan mata sipit sedang berjalan di lobi sembari membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya. Sudah resiko jadi mahasiswa yang tekenal ramah jadi setiap ketemu orang pasti disapa. Rata-rata hampir satu fakultas sudah mengenal sosok Jayden Yasawirya Biantara jadi tidak heran jika banyak yang menyapa. Bahkan ada juga yang sempat mengajaknya berbincang sebentar.

"Capek juga jadi orang ganteng. Disapa sama diajak ngobrol mulu. Kapan sampai kelasnya kalau gini? Untung masih ada waktu setengah jam sebelum kelas," monolognya sambil menaiki tangga menuju lantai dua. Kelasnya ada di lantai dua di sisi kiri tapi ini dia naik tangga yang ada di sayap kanan karena itu jalan yang sepi. Lagi capek memasang senyum dan mengeluarkan suara.

"Bacot lo, Jay! Bukannya bersyukur malah ngeluh," cibir seorang gadis yang berjalan di belakangnya.

Jay otomatis berhenti pas sudah sampai di lantai dua dan menolehkan kepala. Seketika senyuman merekah di wajah tampannya ketika melihat siapa yang berbicara barusan. Berkah hari ini bisa bertemu dengan sang pujaan hati sebelum memulai kelas. Kan jadi tambah bersemangat dia mengikuti kelas karena bertemu dan diajak bicara sama gadis yang disukai. Meski barusan dirinya dicibir dengan nada ketus dan tidak diberi senyuman.

"Eh, ada mbak crush! Bersykur kok gue. Kan cuma ngeluh dikit. Yang banyak mah cinta gue buat lo, Win."

"Basi banget gombalan lo!" ketus Winter kemudian mempercepat langkahnya melewati Jay.

Pemuda kidal tersebut terkekeh kemudian segera berjalan menyusul Winter yang kelasnya kebetulan bersebelahan dengan kelasnya, "Jangan ditinggal dong! Lagian, masih ada dua puluh menitan sebelum kelas. Kita bisa ngobrol dulu kan?"

"Ogah gua ngobrol sama lo."

"Tapi ini lo ngobrol sama gue loh, Win."

Seketika Winter bungkam dan enggan membalas ucapan pemuda tersebut. Dia lebih memilih duduk di kursi panjang yang ada di antara kelasnya dan kelas Jay. Kemudian menyumpal kedua telinganya dengan headset yang terhubung dengan musik di ponsel agar tidak mendengar suara buaya darat lagi. Sungguh, ia malas diganggu setiap hari oleh lelaki yang ngaku ganteng itu. Ngga di kampus, ngga lewat chat, ngga di luar sana, pasti diganggu. Sampai lelah sendiri meladeni bocah kelebihan energi dari jurusan tetangga.

"Mau lolipop ngga? Atau mau susu pisang?" tanya Jay yang kini sudah duduk di sebelah kanan Winter.

Winter menoleh sekilas melihat dua benda yang disodorkan ke arahnya lalu dengan cepat mengambil permen di tangan kanan lelaki itu, "Thanks."

Senyuman merekah lebar di wajah Jay kemudian ia menusukkan sedotan ke botol susu dan meminumnya perlahan, "Sama-sama, Winter. Oh iya, nanti pulang jam berapa? Mau gue anter pulang ngga?"

"Kepo. Ngga usah. Gua bisa pulang sendiri," jawab Winter ketus lalu membuka bungkus permen lolipop dan segera memasukkannya ke mulut.

"OK! Gue cuma tinggal satu kelas ini aja. Ntar gue tunggu di parkiran ya! Jangan lama-lama!"

"Dih! Lo budek apa congek sih? Dibilang ngga usah. Gua kelar jam tiga sore. Masih lama."

"Oh, jadi selesai jam tiga ya? OK! Nanti gue jemput lo, Win."

Bodohnya gadis itu baru sadar bahwa Jay memancingnya untuk mengatakan kapan jam kuliahnya berakhir. Ia memilih tidak menanggapi dan hanya menghela napas panjang. Keduanya hanya diam sampai jam kuliah mereka tiba. Mereka pun masuk ke dalam kelas masing-masing. Tidak lupa Jay sempat menggombali Winter dan memberikan senyuman manis khas dirinya. Hampir saja gadis itu melempar sepatunya kalau tidak ditahan oleh sahabatnya dan segera ditarik masuk ke dalam kelas. Sedangkan penggombalnya hanya tertawa dan masuk ke kelas bersama temannya.

.

.

To Be Continue

Sorry for typo. Jangan lupa vomment ya! Sankyu^^

Survive? [01 Line of Treasure]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang