Karena hari ini latihan musik dengan para anggota batal, aku harus pulang sekarang. Tapi, kupikir nanti saja sebab lalu lintas di hari Jumat sangat padat. Aku memutuskan berjalan ke lapangan menghabiskan waktu untuk menonton sepak bola.
"Mau ke mana?" aku menoleh mendengar suara si tampan itu, memasukan tangan ke saku celana seolah sedang menilaiku.
Hey, aku bukan produk di etalase.
"Cih!" jawabku dengan nada kesal dan mengangkat bahu sekali. Alisnya berkerut, tampak tidak senang dengan kata-kata dan sikapku. Dan saat ini aku sangat suka membuat marah orang terpintar di sekolah, sebagai salah satu pencapaian intelektual brilian sepertiku.
"Yang sopan." Lelaki tampan itu menekan suaranya begitu rendah sehingga aku bisa merasakan dingin di matanya, itu sama menakutkannya dengan seorang pembunuh. Dan aku masih tidak ingin kehabisan napas sekarang. Karena itu, tingkat agresiku harus sedikit dikurangi.
"Nonton sepak bola," kataku, sementara dia mengerutkan kening pada putaran kesejuta membuat aku ingin membuka mulut untuk bertanya apakah ada masalah dengan otot-otot di alisnya sampai sering mengerutkan kening.
"Kenapa kamu nggak pulang?" lelaki jangkung itu bertanya padaku. Dalam hati, aku sangat ingin menjawab, 'Kenapa?' tapi aku harus mengubah sistem berpikir dengan cepat.
"Macet."
Sosok tinggi itu mengangguk mengerti. Lalu pergi tanpa pamit.
Oh! Hubungan sosialmu benar-benar negatif, ketua OSIS tampan. Aku memarahi sosok tinggi itu setelah dia berlalu.
*
Sambil menunggu klub sepak bola bersiap, aku duduk di atas kursi marmer dan membuka tasku untuk mengerjakan tugas. Menyalin tugas.
Serius, tidak peduli seberapa bodoh atau malas, kita harus disiplin belajar. Iya kan? Mulai dari matematika. Aku mengambil buku milik dewa Po. Menyalin dan menempelkan seperti tradisi yang diturunkan sejak zaman dulu.
Sungguh disiplin.
"Bodoh," sebuah suara memarahi dari belakang. Sembari buku Po diambil, membuatku dengan cepat berbalik dan menengadah.
"Ai Tin."
"Bangga nyalin punya orang?" tanya orang di depanku dengan wajah datar.
"Nggak nyalin, cuma belajar."
"Huh?"
Sialan, malah dimarahi.
"Oke, aku nggak bisa." aku tidak bisa berkutik, aku harus mengaku. Berharap si pintar ini tahu.
"Bodoh."
Astaga, aku masih dimarahi. Kalau tidak berhenti, kuambil pisau dan ambil ususmu untuk dimakan burung pemakan bangkai.
"Kerjain sendiri." lelaki tampan membalikkan tangannya ke belakang untuk menyembunyikan buku Po, memaksaku untuk menghitung soal pertama. Sangat bingung dan bodoh sekarang.
"Aku nggak bisa."
Mendengar itu, dia menatapku. Ya, aku tidak bisa melakukannya. Aku harus apa? Aku tidak sepintar kamu.
Tanganku gemetar!
Tatapannya tidak biasa, lelaki tampan itu menghela napas panjang.
"Aku ajarin."
Hah?
Tidak mungkin!
Mata terbuka lebar, sebesar telur. Siapa yang mengira aku akan mendengar kalimat ini darinya?
"Lihat soalnya."
Setelah beberapa waktu duduk untuk dia mengajariku dengan cara menggertak, aku baru sadar kalau lelaki tampan ini adalah dewa lain yang menjelma ke dunia menjadi manusia karena dia menghitung secepat kecepatan cahaya matahari ke bumi.
"Ngerti?" dia bertanya padaku setelah mengajar dan mencoba soal pertama, dan apa hasilnya? Aku menggelengkan kepala. Dia menghela napas dan membuat wajah jenuh.
"Ayo lagi."
Persetan. Mulai lagi soal nomor satubukanya malah baru selesai hari Minggu? Aku menatapnya memohon, tapi dia menatapku melotot dan membuat aku untuk diam.
Lakukan yang baik, lakukan, bodoh.
"Kamu paham soal limit?" tanyanya, menoleh ke arahku dan aku-
Tersenyum karena otak sudah mati sendiri.
Oh! Lelaki tampan itu memukul bagian atas kepalaku dengan keras. Kemudian dia duduk di atas meja dan menjelaskan dengan menggunakan jari telunjuknya, dan memberiku soal untuk mencoba. Kalau salah, dia akan memukul jariku.
Sialan, kamu melakukan kekerasan terlalu banyak, bajingan tampan.
"Nggak usah sedeket ini," kataku padanya begitu aku merasakan tubuhnya mulai terlalu dekat denganku. Begitu dekat hingga napasnya terasa di pipiku.
"Jangan cerewet, kerjain aja."
Astaga, aku menuntut kedaulatan atas tubuh tercintaku. Menjadi sedekat ini dengannya dianggap sebagai ancaman.
"Ya," kataku, mencoret-coret secarik kertas dan menyerahkannya untuk diperiksa.
Lakukan dengan benar, jangan memujiku, tapi itu juga salah.
Lelaki tampan, kamu harus memberiku semangat dan dorongan. Aku masih sangat muda, aku butuh pujian.
"Apa pendapatmu tentang ini?" tanyaku, menengadah padanya tepat ia menatapku.
Ini seperti di sinetron lagi. Kedua peran secara tidak sengaja bertemu pandang mereka dan akhirnya saling memberikan sentuhan penuh gairah. Sebelum berakhir di tempat tidur dan gambar dipotong ke lampu samping tempat tidur atau bulan di malam bulan purnama.
".........."
Lelaki tampan itu tidak menjawab, tapi masih menatap mataku.
"Um, kurasa lebih baik aku pikirin sendiri." Jadi aku harus mundur karena sepertinya tidak aman baik secara fisik maupun mental.
"Bagus."
"Apanya yang bagus?"
"Aku bisa bikin kamu mikir, mungkin." katanya, mengangkat alisnya dan menyeringai.
"Diam." Jadi aku beralih ke arah lain dan pindah. Jadi ada jarak aman di mana aku bisa melarikan diri tepat waktu.
Aku mengerjakan tugasku sendiri. Aku tidak peduli kalau ini salah, aku tidak akan berikan ini kepada lelaki tampan untuk memeriksanya.
"Aku mau pulang, bye." baru aku mau melangkah, dia menghentikanku
"Tunggu."
"Apa?"
"Kamu nggak mau bilang terima kasih padaku?"
"Buat?"
"Ngajarin tugas rumah."
"Ini bukan ngajarin, ini pemaksaan. Nggak usah berharap terima kasih dariku." Ucapku. Dia mengerutkan alis seolah tidak senang.
Plak!
Anjir!
Lelaki tampan itu memukul dahiku dengan keras dan berjalan pergi dalam sekejap, aku mengikutinya dan menyentuh punggungnya, tapi seolah-olah dia tahu dan mengancamku dengan matanya. Kejam, sampai aku tidak berkutik.
Lihat saja, tampan. Aku akan menuntut ke Departemen Investigasi Khusus (DSI) untuk kasus penyeranganmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Ketua OSIS
Подростковая литератураJudul asli: My President Karya: Pruesapha Terjemahan dalam bahasa Indonesia, nonprofit, hanya untuk hiburan. Tayang 2 Desember 2022 dengan judul "My School President"