Chapter 26: Dukungan Yang Cukup Besar

5.6K 591 54
                                    

Pukul 6 pagi

Aku duduk sambil menggosok mataku dan menguap di kursi panjang. Di bawah langit yang berawan, aku akan memulai hari baru. Aku menerima perintah dari ibu untuk membawakan sesuatu kepada lelaki tampan itu, memberikannya langsung dariku. Jika melakukan kesalahan, aku tidak boleh pulang dan menunjukkan wajahku.

Hey, siapa di sini anak kandung Bu Ratchanee?

Keadilan tidak berarti di dunia ini.

"Ai Po, sini!" aku memanggil sahabatku yang sedang mencariku. Kami membuat janji untuk bertemu lewat LINE tadi malam.

"Pagi banget."

"Ada perintah dari atasan." kataku dengan nada rendah dan kemudian menguap lagi.

"Aku paham, bung." kata Po yang lalu duduk di sampingku. Aku mengambil sandwich tuna yang kubuat saat bangun tidur.

"Kamu belum sarapan kan."

"Oh, aku sayang kamu." Po tersenyum sambil membenamkan kepalanya di bahuku sampai aku menggelitik dan menggeser kepalanya dengan pelan karena takut melukai otaknya yang memiliki kontribusi kepada sekolah dan bangsa.

"Dia dateng." ujar Po menunjuk ke arah yang dimaksud. Dia pun langsung memakan sandwich tuna dengan wajah riang. Aku melihat orang penting yang membuatku harus duduk untuk para nyamuk sejak pagi. Aku berjalan ke arahnya, takut gadis-gadis yang mengikuti untuk menyemangatinya akan berkerumun dan menyeretnya lebih dahulu. Sosok tinggi yang memasukkan tangannya ke saku celana dan mengenakan headphone itu mengangkat alisnya. Sedikit terkejut bahwa aku berlari untuk menjebaknya di depan. Dia melepas headphonenya. Menatapku dengan wajah yang sulit ditebak. Aku tahu lelaki tampan jarang membuka obrolan. Jadi aku yang harus memulainya.

"Ibu nitip ini buat kamu." aku merogoh saku seragamku dan menyerahkan sebuah kotak kecil di tanganku kepada lelaki tampan itu.

Dia mengangkat alis sedikit ragu.

"Ini apa?" kemudian bertanya.

"Jimat." kataku dengan suara rendah karena aku takut orang lain akan mendengarnya.

"Hah?" pria tampan itu menunjukkan wajahnya yang semakin bingung.

"Ibu bilang ini akan membawa keberuntungan." aku harus menceritakan alasannya saat ibu mengatakan di telingaku sampai aku ingat. Dia mengangguk dan mengambil kotak itu dariku dan memasukkannya ke dalam saku.

Ibu akan senang... jika beliau melihat ini.

"Kamu sudah sarapan?" tanyaku. Tidak sulit menebak kalau dia membeli suatu bahan untuk di lemari es tapi tidak pernah mengambilnya untuk memasak sarapan. Dia menatapku dan menggeleng.

Hey, kudengar kamu perlu menggunakan otakmu sepanjang hari. Sarapan itu sangat penting, kenapa kamu melewatkannya?

"Nih." aku memberikan kotak bekal yang telah kusiapkan. Pada awalnya dia tampak bingung, tapi akhirnya mengulurkan tangan untuk menerima.

Duh, tanganmu tidak harus menyentuh tanganku seperti itu. Aku segera menarik tanganku.

"Sarapan membuat otakmu bekerja." selepas memberitahunya, aku berjalan kembali ke Po untuk menyemangatinya terlebih dahulu. Mari berjuang.

Aku menunggu sampai mobil van itu keluar dari gerbang sekolah. Aku tahu sedikit tentang Olimpiade Akademik yang akan dilombakan di universitas negeri terkenal di jantung kota Bangkok. Di mana harus melakukan perjalanan pagi-pagi untuk menghindari masalah kemacetan besar-besaran.

Jam tanganku menunjukkan pukul 06:45. Aku ke mana, ya? Masih ada satu jam lagi sebelum waktunya upacara. Sendirian duduk di tempat yang sama takut malah terkena demam berdarah dan koma di rumah sakit. Lokasi terbaik adalah ruang Klub Universal Music. Aku memiliki kunci cadangannya. Lekas masuk ke ruangan, nyalakan lampu dan nyalakan AC yang cukup dingin untuk tidur dan kemudian duduk di sofa para seniman yang berserakan tanda pena dan segala macam hal yang bisa dicoret-coret.

Pacarku Ketua OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang