Sebetulnya Angkasa sudah bersiap akan penolakan. Bahkan mungkin sebuah tamparan saat dirasakannya Maya terkesiap ketika Angkasa menciumnya. Akan tetapi, walau tubuh Maya menegang dan tangannya terdiam kaku di sisi tubuhnya, dia tidak serta merta mundur atau mendorongnya menjauh.
Hal itu membuat Angkasa berani memperdalam ciumannya. Tangannya membelai lembut wajah Maya. Saat udara dirasa menipis, Angkasa menempelkan keningnya ke kening Maya, menyentuh sudut bibirnya. "Maaf...." gumamnya tanpa sepenuhnya menyadari untuk apa sebetulnya dia meminta maaf.
Maya memberanikan diri menatap Angkasa, wajahnya memerah sepenuhnya. Tangannya terangkat ragu membelai pipi Angkasa lembut. "You're drunk.... Go to sleep, Sa...."
"No I'm not," balas Angkasa.
Tersenyum tipis, Maya menatap Angkasa dengan sorot mata sendu. Kedua tangannya menangkup pipi Angkasa dan dia berbisik, "You won't kiss me if you're not."
Entah karena nada sendu yang terdengar di telinganya atau karena perasaan putus asa serupa yang memberati mereka berdua. Angkasa menarik tubuh Maya lebih dekat, memeluknya erat lalu menciumnya. Dan dirasakan Maya membalas ciumannya, kali ini tanpa keraguan.
-----------
Angkasa terbangun saat matahari sudah bersinar terik. Dia mengerjapkan mata, mengusir kantuk yang masih memberatinya. Tangannya terulur menyentuh sisi ranjangnya.
Kosong....
Dia menghela napas, merutuki dirinya sendiri.
Damn! I made a mistakes.
Dia melompat bangun, bergegas mandi dan setelah terburu-buru berpakaian, dia nyaris berlari ke depan kamar Maya.
Sesampainya dia di sana. Dia mengetuk berkali-kali, memanggil-manggil Maya, namun saat pintu dibuka, dia terkejut melihat Rein yang membuka pintu.
"Rein.... Di mana Maya? Kok kamu di sini?"
Alis Rein terangkat. "Kan ini kamarku juga sebelum Ken datang. Aku hanya mengambil barang-barangku saja," jelasnya dengan nada seperti sedang mengajar anak kecil.
Angkasa merasa bodoh. Kejadian semalam tampaknya berhasil menjadikannya pria paling idiot di dunia.
"Maya di mana?" ulang Angkasa lagi.
"Dia sudah pergi dari dini hari. Aku baru baca pesannya jam 6 pagi. Sepertinya dia ambil flight paling pagi."
Angkasa terhenyak. "What?" bisiknya tanpa sadar.
Mata Rein memicing, raut wajahnya penuh curiga. "What happened, Sa? Bukankah harusnya kita pulang sore nanti?"
"I... Ummm... I...." terbata-bata Angkasa mencoba menjelaskan. "Aku harus mengambil ponselku dulu. See ya, Rein," ucapnya pada akhirnya. Untuk apa dia menjelaskan perbuatan bodohnya kepada Rein? Rein tak perlu tahu soal itu.
Angkasa hendak berbalik pergi, namun Rein mencengkram lengannya, menghentikan langkahnya "Sa... Maya baik-baik saja, kan?" tudingnya. Bola mata gelapnya menatap tajam Angkasa.
Mau tak mau, walaupun rasanya malu, Angkasa balas menatap Rein. "Ya, dia baik-baik saja...." ucapnya pelan. 'I wish she's okay,' tambahnya dalam hati.
-------------
Maya jelas menghindarinya. Telepon dari Angkasa tak pernah dijawab, pesan-pesannya bahkan tak dibaca. Belum lagi sesampainya Angkasa di Jakarta, tiba-tiba saja dia diberitahu kalau Maya mengambil cuti seminggu untuk pergi ke rumah orang tuanya yang ada di kota lain.
Angkasa merutuki kebodohannya berkali-kali. Dia ingin menyusul Maya ke rumah orangtuanya, namun Papanya sudah memerintahnya untuk segera bekerja di Rumah Sakitnya saat ini juga sehingga dia tak bisa pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Maya
RomanceNothing takes the taste out of peanut butter quite like unrequited love. -Chalie Brown-