Can I talk to....

2.3K 540 72
                                    

"Bu, bajuku sama baju Cakra kok gak ada di tempat gosok ya?" tanya Maya saat menemui Ibunya di dapur.

"Ibu bawa dry clean. Sayang kalau cuci biasa. Mahal-mahal, kan...." jawab Ibunya.

"Ibu pakai repot-repot... Makasih ya, Bu," tegur Maya walau seulas senyum bersandar di pipinya.

"Lapar? Mau makan lagi gak?" tawar Ibunya dan Maya menggeleng.

"Cakra sama bapak kamu kok gak pulang-pulang. Tadi udah Ibu telp katanya, Cakra masih betah di pemancingan. Anak SMP, kok, hobinya mancing, Nduk? Gak salah?"

Maya tertawa. "Cakra sering dibawa Opa-nya mancing ke laut. Kayaknya baru kali ini dia diajak ke pemancingan biasa, makanya betah." Maya memijat lembut bahu Ibunya.

"Dia juga suka main golf, kok. Cakra begitu orangnya, cepet bosen. Main basketnya jago tapi gak suka diseriusin, ikut bela diri tapi ya bertahan berapa bulan doang, les gitar, les piano... Paling lama cuma satu tahun trus mulai deh minta ikut kegiatan lain aja. Gak pernah ada yang tuntas. Tapi ya kalau ditanya hobinya apa, kayaknya dia memang paling suka mancing. Bisa betah dia melaut lama-lama. Opa-nya kan hobi mancing juga," jelas Maya panjang-lebar.

Ibunya menatap Maya tajam. "Kamu bahagia kan, Nduk? Kamu diperlakukan dengan baik?"

Maya menarik napas dalam, tersenyum saat berkata. "Iya, Bu... Aku bahagia."

------------

Maya kembali ke kamarnya, duduk melihat-lihat peninggalan masa kecilnya, buku, boneka, bahkan meja belajar tua-nya masih ada di sana.

Dia mengambil satu buku, menimangnya saja di pangkuan tanpa ada niat untuk membaca ketika dia menyenderkan diri ke dipan.

Bahagia... Benarkah itu kata yang tepat untuk menggambarkan hidupnya sekarang?

Hidupnya saat ini tentu saja dipenuhi dengan berbagai macam kemudahan dan tak lupa juga dengan kemewahan.

Di bawah sorotan, Maya harus tampil sempurna, setidaknya dia memiliki 30 set berlian untuk dipakai bergantian setiap hari. Baju-bajunya dari merk-merk ternama. Tak perlu dibahas sepatu dan tasnya yang nyaris seperti etalase toko sendiri di walk in closet-nya.

Hal itu cukup membuatnya senang walau dia sadar kalau dia mendamba sesuatu yang lebih berharga.

Kehadiran nyata suaminya.

Kesibukan mereka berdua yang di luar nalar menciptakan jurang di antara mereka.

Bukan berarti Angkasa tidak mencoba. He tried so hard, tapi untuk Maya rasanya tetap kurang.

He's a man without words dan Maya sebetulnya sangat memahami hal itu.

Bukan Maya tak ingat perhatian-perhatian kecil seperti ajakan makan siang di tengah kesibukan. Makanan kesukaan yang tahu-tahu saja sudah tersedia tanpa dia minta, atau yang jadi favorit Maya, hadiah yang tidak akan pernah dia dapat dari orang selain Angkasa; sketsa dirinya.

Biasanya akan dikirimkan oleh Angkasa sebagai kejutan di waktu-waktu yang tak pernah Maya duga namun, reaksinya selalu sama setiap mendapat anggrek potong disertai dengan satu sketsa; Dia merasa sangat bahagia.

Kebiasaan ini bermula pada hari di tahun-tahun yang lalu. Maya yang sedang tidur, tiba-tiba saja terbangun dan merasa heran saat melihat suaminya sedang duduk bersandar, menggoreskan pensilnya di atas buku sketsa. Lampu di mejanya menyala redup.

Saat Angkasa menyadari kalau Maya terbangun, dia cepat-cepat menaruh buku sketsa dan pensilnya. "Kenapa bangun? Biasanya tidur kamu nyenyak sekali." tegurnya dengan senyum terkulum.

Angkasa MayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang