"Shane memintaku mengantarkan dia ke sini, Maya... Dia mau menemani Cakra."
Ucapan lembut dari Rein saat dia baru saja tiba membuat Maya terpaku.
Mata mereka bertemu dan Maya dapat melihat kalau Rein amat mengkhawatirkan kondisinya, namun dia juga terlihat waspada, takut akan reaksinya.
Melihat Rein saat ini semua kekhawatiran Maya akan sosoknya yang selama ini mengganggu pikirannya tiba-tiba saja lenyap. Maya sadar kalau sekarang ini dia membutuhkan pegangan. Akan tetapi saat ini tempat dia biasa menggantungkan hidup sedang berjuang untuk hidupnya sendiri.
Air mata yang sedari tadi dia tahan demi anaknya akhirnya lolos begitu saja dari sudut matanya. Dia mengulurkan tangan ke orang yang dulu pernah dia anggap sebagai teman dan untungnya Rein tidak menampik uluran tangannya dan malah memeluknya erat.
"It's okay.... He's strong... And you are strong, Maya... It's okay...." bisik Rein lembut sambil mengusap-usap punggungnya.
"I'm so afraid, Rein...." isak Maya.
"I know... It's okay to be afraid. Aku akan menemanimu di sini. You're not alone, Maya... Everythings gonna be alright."
Rein membiarkan Maya menangis selama lebih dari 10 menit sampai Maya merasa agak lega. Lalu dia menyarankan untuk menunggu di kamar rawat saja agar lebih nyaman.
Awalnya Maya ragu-ragu, namun Bintang juga menyuruh dia untuk beristirahat sejenak karena menurut dia yang dari tadi bolak-balik mencari tahu proses operasi, operasinya masih memakan waktu agak lama.
"Onii... Kabari kami secepatnya ya...." pinta Rein saat dia mengajak Maya pergi dan Rasya langsung mengangguk, mengusap pelan puncak kepala Rein. "Oke, Pumpkin... Tolong buatkan Maya teh hangat, dia nyaris tidak makan dan minum dari tadi."
Rein tersenyum. "Thank you, Onii...." lalu bergegas mengamit lengan Maya membawanya pergi dari ruang tunggu.
Sesampainya di kamar rawat, Rein menyeduh teh dan membawakannya ke Maya yang sudah duduk di sofa bed.
"Thank you, Rein...." bisik Maya setelah menyesap sedikit tehnya.
Rein melambaikan tangan. "It's just a tea... Kan aku minum juga," tambahnya sambil mengacungkan gelas tehnya sendiri.
"Bukan hanya soal teh... Tapi juga untuk Asa. Thank you... Karena kamu menjaganya untuk tetap ada."
Tersenyum, Rein meletakkan gelasnya. "Ah... He finally told you... Jujur saja, aku pun tidak pernah membicarakan hal itu ke siapa pun... Bahkan dengan Ken yang tahu nyaris semua rahasiaku."
"Akhirnya aku tahu kenapa dia tidak pernah bisa melupakan kamu. Kalau aku jadi dia aku pasti akan merasakan hal yang sama...." gumam Maya.
Rein menggeleng. "Kamu menilaiku terlalu tinggi. Padahal aku tidak ada kaitan apa pun dengan Angkasa yang sekarang. Bukankah sikap Papanya dan cara dia diperlakukan oleh Beliau masih sama seperti dulu? Jadi, dia bisa bertahan sampai detik ini aku yakin karena ada kamu di sisinya." Tangan Rein terulur menggenggam tangan Maya. "Because he loves you, Maya...."
"I know... But still... Aku selalu berharap aku sesempurna kamu, Rein."
Tawa kecil terdengar dari mulut Rein. "Excuse me, who's perfect?? Me??" Mata Rein terbelalak tak percaya. "You gotta be kidding, right?"
"Yes, you!! I mean, look at you!!" Maya menunjuk Rein dari atas ke bawah.
Rein kembali tertawa. "Aku jauh dari kata sempurna, Maya... Actually, I look exhausted! I'm a working mom with three kids and one annoying husband. Yang kamu lihat sekarang hanya topeng yang aku perlihatkan ke dunia supaya aku terlihat normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Maya
RomanceNothing takes the taste out of peanut butter quite like unrequited love. -Chalie Brown-