Stay alive

2.5K 594 60
                                    

"Am I late?" seru Bintang yang baru saja mendobrak pintu kamar rawat Angkasa.

"No, but you almost makes me get an heart attack again!" balas Angkasa yang agak terkejut saat mendengar suara pintu terbuka.

"Mana hasil pemeriksaannya? Aku mau lihat!" ucap Bintang tak memedulikan perkataan kakaknya.

"Kok bisa cepet ke sini?" tanya Angkasa.

Bintang menghentakkan tangan tak sabar. "Private jet, aku langsung pesan setelah Cassie memberitahu."

Bibir Angkasa membentuk huruf O tanpa suara.

"Ras, kenapa operasinya gak sekarang juga?" tanya Bintang ke Rasya yang sepertinya baru terbangun karena kedatangan Bintang.

"It's 4 AM! Nanti siang operasinya!!!" seru Angkasa kesal.

"And where is Ken? Dia dokter kamu, kan? Aku mau minta detil rencana operasinya," balas Bintang tak peduli kenyataan kalau sekarang masih dini hari.

Angkasa mengangkat bahu. "I don't know... Mungkin dia sedang melakukan kegiatan seperti orang normal pada umumnya di jam segini... Dia pergi tidur!!!" serunya makin kesal.

Angkasa memerhatikan ponselnya yang menyala karena mendapat pesan, setelah membaca isinya, dia langsung memberi perintah ke Bintang yang tampak gusar.

"Maya is here... Tolong bersikaplah tenang, Bintang. Kendalikan ekspresi wajahmu yang seperti orang linglung. Aku tidak mau membuat dia cemas."

Bintang memutar bola matanya. "Tentu saja dia akan cemas, Bodoh!! Aku saja cemas! Padahal kau siapa?? Orang tak penting!"

Angkasa mengangkat tangannya, memberi tanda meminta Bintang untuk diam. "Sudahlah, yang penting gak usah bicara macam-macam. Aku yakin dia menangis sepanjang perjalanan ke sini tadi. Jangan buat dia semakin panik."

"Dia dari rumah orangtuanya, kan?" tanya Bintang.

"Ya, aku sudah mengirimkan private jet untuk membawa dia pulang. Tapi karena dadakan, butuh waktu agak lama sampai siap terbang," jelas Angkasa.

Baru saja menjelaskan, pintu menjeblak terbuka dan bagaikan kilat, Maya menghambur ke tempat tidur Angkasa. Matanya basah oleh air mata, raut wajahnya sangat cemas.

Maya meraih tangan suaminya, mencium tangannya, menangis tersedu tak melepaskan genggaman tangannya. "How can I missed this?" ucapnya penuh sesal. Air matanya menetes deras sampai dia seperti kehabisan napas.

Beberapa jam lalu saat Angkasa menghubunginya dan dengan tenang menjelaskan kalau dia akan menjalani operasi jantung, Maya nyaris pingsan di tempat. Jika Ibunya tidak sigap memapahnya duduk dan menyuruhnya minum, dia yakin dia pasti langsung tak sadarkan diri.

Setelahnya Maya tak ingat lagi bagaimana cara dia merapikan koper, memberitahu Cakra, menunggu di bandara sampai pesawat yang disiapkan Angkasa membawa dia kembali ke Jakarta, dan menyeret-nyeret Cakra yang sepertinya hendak pingsan karena ngantuk, namun memaksakan diri untuk tetap bangun.

Angkasa mengusap pelan puncak kepala Maya. "I'm okay... No need to worry, Maya... I'm okay...." ucap Angkasa sambil tersenyum menenangkan.

Cakra mendekat, menepuk pelan bahu mamanya yang masih menangis. "He said, he's okay... Mama jangan nangis terus dong. Kan, aku sudah bilang tadi... Orang jahat biasanya tidak semudah itu untuk mati."

"Cakra!!!! Jangan bercanda yang tidak-tidak!!!" bentak Maya

Cakra mengangkat bahu tak peduli. "But, you're okay, right? As  you said earlier," ucapnya sambil menatap lurus ke Angkasa.

Angkasa MayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang