"Sorry I'm late," ucap Rasya setelah menutup pintu. Dia bergegas menghampiri Cassie, menciumnya sekilas lalu berjalan menghampiri Angkasa dan Maya, memberi ucapan selamat untuk mereka berdua atas kelahiran bayinya.
"Don't be sorry ... Bersyukur aja dateng telat," ujar Bintang yang berdiri bersedekap di sudut ruangan. Ekspresinya terlihat seperti habis dipaksa menelan muntahannya sendiri.
"What happened?" tanya Rasya.
Kali ini Cassie yang menjawab. "Dementor...."
"Ahhhh... Your father...." Rasya mengangguk-angguk mengerti. "Kupikir bertambahnya usia akan semakin mendewasakan beliau," tambah Rasya lagi.
"Tak usah berekspektasi terlalu positif ke Pak Tua itu... He'll never change... Never will," geram Bintang.
"Sekarang, apa lagi yang dia minta?" tanya Rasya mencoba mengikuti diskusi panas tadi.
"Menurut dia tak banyak yang diminta, hanya hidup anakku saja," jawab Angkasa muram. "Dia bahkan tak menanyakan perkembangan Cakra yang sampai saat ini masih memakai selang oksigen. Dia hanya bilang, tak usah khawatir... Seluruh Pramudya terlahir kuat."
"Bagaimana Cakra?" tanya Rasya sambil menepuk bahu Angkasa, nadanya terdengar simpatik.
"Stabil, sekarang sedang dicoba menurunkan kadar kepekatan oksigennya secara perlahan agar dia bisa terbiasa menghirup udara yang sama dengan kita."
Rasya menatap Angkasa, meremas bahunya pelan memberi dukungan moral lalu beranjak duduk ke sebelah Cassie, tatapan matanya meminta penjelasan lebih terperinci dari sekadar papa mertuanya sudah menghisap habis kebahagiaan orang-orang di ruangan itu.
"Well, nyaris sama seperti yang dia minta ke kita soal Azha, tapi dalam versi yang lebih tidak masuk akal," ucap Cassie.
Rasya termenung. Sejak Azha lahir, Djosef Pramudya meminta dia dan Cassie membawa Azha menginap ke rumahnya dua minggu sekali. Tadinya Rasya pikir itu upaya papa mertuanya untuk mengakrabkan diri dengan cucunya, namun ternyata hanya untuk memberi pendidikan bisnis dini ke Azha. Dia pernah memergoki Pak Djosef membacakan Career Planning and Succesion Management sebagai cerita pengantar tidur Azha.
Angkasa dan Maya saling bertatapan muram. "Dia minta Cakra datang tiga kali semingu," ucap Maya yang suaranya terdengar ingin menangis.
"Kuingatkan kalau dia sibuk, tapi dia malah bilang kalau dia akan pensiun dini saja agar punya banyak waktu dengan Cakra," tambah Angkasa lagi.
"Jangan lupakan 100 juta dollar uang perwalian Cakra dengan syarat dia yang menentukan di mana sekolah dan bagaimana pendidikan Cakra nanti," geram Bintang marah.
"Oh, kalau soal sekolah, kami juga menuruti keinginannya. Azha masuk preschool yang direkomendasikan dia. Kurikulumnya oke, dan kami tak perlu repot-repot survei lagi. Tinggal pilih salah satu dari list yang dia ajukan. It's not that bad actually, walau kurasa aku akan mendebatnya jika nanti dia memaksa Azha masuk jurusan yang tidak Azha inginkan," ucap Rasya mencoba menenangkan mereka semua.
Ke-tiga Pramudya saling menatap, lalu sama-sama menghela napas panjang. Bukan mereka tak mau berpikiran positif seperti Rasya, but they are dealing with Djosef Pramudya yang baru saja memiliki mainan baru. Putra Mahkota impiannya. Entah pendidikan macam apa yang akan dipaksakan Djosef ke penerus Pramudya yang sah.
Perawat datang untuk membawa Maya melakukan pemeriksaan di lab. Angkasa ingin menemani, namun Maya menolak dan memilih untuk pergi tanpa didampingi karena pemeriksaannya akan memakan waktu lama. Lebih baik Angkasa menunggunya di kamar saja sambil mengobrol dengan yang lainnya.
"Oh, iya... Azha mana?" Cassie tampaknya baru menyadari kalau Rasya tidak datang bersama anaknya.
"Sama mama... tadi lagi main juga sama Grace. Kuajak ke sini he said, no! Jadi ya udah, kutinggal aja."
"Oh... Dia gak ketemu Grace nyaris tiga minggu. Wajar kalau dia jadi gak mau ikut kamu. He misses her a lot."
"Azha baru dua tahun kan? Kok bisa kangen-kangenan sama cewek segala?" tanya Bintang keheranan.
Rasya dan Cassie saling berpandangan, lalu sama-sama tertawa. "Kata-kata pertama Azha selain, mama, papa, no, please, thank you, itu Grace...." jawab Cassie yang masih saja tertawa.
"I'm shocked pas dengar Azha teriak manggil Grace dengan pengucapan yang jelas pas kita baru antar dia di pintu kelas dan lihat dia lari meluk Grace, gandeng dia untuk main bareng sementara kita dilupain begitu aja. Dia bahkan gak nyadar kalau kita sibuk dadah-dadah...." tambah Rasya ceria.
"I love Grace... She's so pretty, sopan juga, suaranya halus. Pas besar nanti pasti makin cantik. Perpaduan kaukasian dan timur tengah bikin dia kelihatan misterius. Matanya cantik banget!! She's definitely can put a spell on a man in a single look!" seru Cassie dengan mata berbinar.
"Keturunan kayaknya... Rein juga begitu," gumam Rasya membuat Cassie mencubit pinggangnya, kesal.
"Oh, anaknya Rein... Pantes!" ucap Bintang membuat semua orang melongo ke arahnya.
Sadar kalau dia mendadak jadi pusat perhatian, Bintang mengangkat bahu, melanjutkan ucapannya. "Baru lihat Rein dengan jelas pas nikahan Asa. Kalian tahu kalau aku lemah tiap lihat wanita cantik pakai gaun merah, kan? She passes by... Our eyes met in a second, dia mengangguk sopan ke aku trus pergi."
Bintang menghela napas panjang, bergumam, "And I can't even look away.... You were right, Cassie... She put a spell on a man," jelas Bintang yang sekarang menghampiri Angkasa, menepuk-nepuk punggungnya, "I can feel your pain, Bro!! I can feel it!!" Mengakibatkan tangannya dipiting Angkasa sampai Bintang berteriak kesakitan.
Setelah Bintang berhasil balas menginjak kaki Angkasa, Bintang bertanya ke Rasya. "You stayed with her for a couple years, right? Kok gak ada pengaruhnya?"
Rasya memutar bola matanya. "She's my sister! Besides... She's not Cassie...."
Ekspresi Cassie saat mendengar ucapan Rasya sangatlah lucu sampai membuat adik-adiknya tertawa. "Ahhh... Youuu...." Cassie menangkup pipi Rasya dan mencium bibirnya. "Love you!!"
---------------
Kayaknya besok last part deh... Gapapa ya....
Luv,
NengUtie
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Maya
RomanceNothing takes the taste out of peanut butter quite like unrequited love. -Chalie Brown-