20

9 2 0
                                    

Hari sudah berganti menjadi senin lagi. Upacara tidak bisa dihindari. Semua siswa dan siswi sudah baris  sesuai kelasnya masing-masing, kecuali Arwin yang malah berdiri di depan Juan. Katanya biar tidak kena sinar matahari, jadi dia menghalangi menggunakan tubuhnya.

Perlakuan manis itu tidak luput dari tatapan iri fans laki-laki itu. Hira bahkan sudah memukul-mukul bahu Raga karena gemas.

"Lo kenapa sih, kesurupan?" tanyanya pada Hira yang masih mengekspresikan dirinya. Bahu Raga yang sakit akibatnya.

Hira menurunkan kedua tangannya di sisi tubuh, berusaha kalem. "Ga, kapan ya gue bisa dapet cowok modelan Arwin?"

"Gue pikir, bahkan di dalam mimpi pun, gak bakal bisa dapetin, karena gak ada yang spesial dari diri lo," sahut Raga sarkas. Dia jengah melihat kelakuan perempuan itu, terlebih setelah menyiksanya tadi.

"Kampret, jahat banget mulutnya." Hira mendelik, "awas lo, gue aduin ke Ellen," lanjutnya. Kemudian beranjak ingin ke barisan kelas sepupu Arwin. Namun belum ada tiga langkah, dia sudah ditarik oleh Raga.

"Ngancamnya gak lucu banget. Udah diam aja di sini, biar gue yang jadi cowok khayalan lo itu, puas?" Raga berdiri di depan Hira dengan tidak ikhlas. Lebih baik begini daripada imagenya rusak di depan Ellen.

Sementara Hira senyum-senyum sendiri lalu menaruh dagunya di pundak Raga. "Lo emang baik banget Ga, jadi pacar gue aja gimana?" tanyanya bercanda.

"Ogah!" Raga mendorong wajah Hira sampai terhempas ke tempatnya semula. Hira mencibir tanpa suara karena hidungnya tertekan telapak tangan temannya yang bisa dibilang tidak kecil.

🔐

Setelah bubaran upacara, Arwin berjalan bersama Ellen di belakang Juan, Hira dan Raga. Sebelum mereka masuk ke kelasnya, Arwin memegang lengan kanan Juan lalu meletakkan susu kotak yang sudah lama tidak diberikan kepada perempuannya. Ya, dia bahkan sudah mengklaim Juan.

"Eh?" Juan menoleh karena terkejut tiba-tiba tangannya dingin.

"Biar semangat belajarnya." Arwin tersenyum, tangannya kemudian terangkat untuk menepuk kepala perempuan itu dua kali, "gue duluan, jangan lupa abisin ya," katanya, lalu pergi bersama Ellen yang berjalan mundur untuk memberikan senyuman menggoda pada Juan.

"Ga, pegangin gue Ga, ini kaki berasa gak ada tulangnya. Gue lemes." Hira heboh sendiri sembari memegang bahu Raga lagi. Sementara Raga tidak menghiraukan karena terpana dengan senyum Ellen, meski terlihat menyebalkan di mata Juan, namun di mata Raga justru menggemaskan.

"Heh!" Hira menegur karena Raga terlihat seperti tidak ada roh-nya. "Ju, liat nih gara-gara kelakuan lo, Raga sama gue mengiri," katanya pada Juan.

"Kalian ngiri? Ya udah gue nganan aja," balasnya lalu masuk ke kelas terlebih dahulu dengan susu kotak yang dipeluknya. Ch, orang jatuh cinta memang terlihat menyebalkan.

"Kampret," umpat Hira dengan suara pelan.

Setelah itu dia menyusul Juan dengan menarik lengan Raga karena temannya itu terlihat seperti mayat hidup setelah melihat kelakuan Arwin tadi.

Pelajaran berjalan sebagaimana mestinya. Sampai mata pelajaran terakhir, Juan tidak bisa melepas pandangannya dari susu kotak yang isinya sudah habis. Untung saja guru yang mengajar hari ini tidak ada yang rese. Ada sih satu di jam pertama, tapi kebetulan tadi jamkos. Jadi bisa dibilang kalau hari senin ini tidak semengerikan biasanya.

Juan  keluar dari kelas setelah mendengar bel pulang berbunyi. Dia menuruni anak tangga berniat ke kelas Juno, menjemputnya, karena anak itu maksa masuk sekolah. Menyetirnya pun gantian, takut kalau Juno memaksa, yang ada mereka tidak bisa pulang ke rumah lagi.

Langkahnya terhenti ketika hampir bertabrakan dengan wakil OSIS yang menolongnya tempo hari sedang bersama temannya yang Juan yakini kalau tidak salah pernah mengobrol dengan Arwin di kantin, hanya berdua.

"Kakaknya Juno? Udah baikan Kak?" tanya wakil OSIS yang bername tag Inka Maira.

Senyum Juan terbit, kemudian mengangguk, "iya, alhamdulillah udah baikan. Makasih udah nolong gue waktu itu ya," ucapnya.

Inka ikut tersenyum, "sama-sama Kak. Jangan khawatir, kak Arwin udah minta kasus Kakak waktu itu diselesaikan sampai gak ada masalah lain yang bercabang. Dia bahkan minta langsung sama aku, tapi kebetulan karena waktu itu aku lagi gak sekolah, jadi minta langsung sama teman aku ini. Jangan salah paham ya, karena katanya Kakak ngeliat dia sama kak Arwin cuma berdua di kantin."

Malu sekali. Ternyata Juan mempermalukan diri sendiri dengan menduga yang tidak-tidak. Untung saja Arwin tidak tau kalau Juan sempat cemburu.

"Iya santai aja. Lagian gue sama Arwin gak ada hubungan apa-apa, gak usah berpikir aneh-aneh, oke?" Juan menepuk pundak Inka dan temannya.

"Loh tapi kak Arwin bilang kalo Kakak sama diaㅡ"

"Juno ada di dalam?" tanya Juan memotong ucapan teman Inka. Dia belum siap dengan kejutan yang berhubungan dengan Arwin. Hatinya terlalu lemah.

"Ada. Masuk aja Kak." Inka mempersilakan, Juan mengangguk kemudian tersenyum.

"Gue duluan ya, kalian pulangnya hati-hati," pamitnya, kemudian masuk ke kelas adiknya. Jantungnya berdetak lebih cepat karena mendengar ucapan Inka tadi.

Juno yang melihat kakaknya masuk dan langsung duduk di kursi paling depan yang kebetulan pemiliknya sudah pulang sekitar beberapa menit laluㅡmengerutkan keningnya karena bingung.

"Kenapa sih Kak, abis liat setan?" tanyanya sambil mendekat setelah memasukkan buku ke dalam tas.

"Gue ketemu setan setiap hari, jadi udah gak kaget. Ini beda," jawab Juan membuat Juno semakin bingung. Kakaknya itu tidak jelas sekali kalau bicara.

"Lo bukan indigo, kok bisa liat setan?"

Juan mendongak, "ya karena setannya itu lo, makanya gak perlu jadi indigo dulu buat bisa liat setan."

Lirikan malas langsung tertuju padanya. Juno benar-benar ingin resign jadi adik Juan, tertekan menghadapinya yang kadang bodohnya kelewatan dan ngeselinnya tidak tanggung-tanggung.

"Gak usah bertingkah, ayo balik. Kepala gue pusing nih ngadepin lo." Juno jalan duluan menuju pintu.

"Gue kok baru tau ya kalo wakil OSIS kita sekelas sama lo," heran Juan sambil mengikuti langkah adiknya.

Juno berbalik, "makanya hidup lo itu jangan cuma seputar Arwin sama teka-tekinya," balasnya, "menurut lo dia gimana Kak?"

Alis Juan terangkat. Senyumnya mengembang, lebih tepatnya senyum menggoda, "jangan bilang pujaan hati yang lo maksud kemarin itu... Dia?"

Juno kembali berbalik lalu berjalan cepat karena salah bertanya. Mulutnya itu tidak bisa diajak kompromi kalau ada hubungannya dengan seorang Inka Maira.

"Jawab dulu Jun!"

"Tungguin woi!"

"Dasar bocah gendeng!"

CelebrityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang