09

15 3 4
                                    

Sore hari yang cerah ini emang paling enak nyiram tanaman sekalian mandi. Kalau hujan sih, Juan mau hujan-hujanan. Juno juga paling ikutan.

Mengenai kejadian di sekolah ketika Ellen memanggil Arwin, Juan ke kantin bersama Hira. Pas sekali saat itu Hira baru sampai, jadi langsung diseret olehnya. Menghindar dari Arwin. Raga sendiri malah di depan kelas menunggu Ellen kembali. Ya, seharian ini Juan tidak bertemu Arwin alhamdulillah-nya.

"Bi, majikannya ada di dalem?"

Juan menoleh ketika mendengar suara yang sangat dihapalnya. Juno menghampirinya setelah turun dari motor. Masih memakai seragam, baru pulang dia.

Selang air yang dipegang Juan diarahkan ke adiknya. Dengan tawa jahat, matanya melotot. "Ba bi ba bi. Dari mana, baru pulang?" tanyanya.

"BASAH KAMPRET!" tanpa menjawab pertanyaan Juan, Juno melempar tasnya ke teras lalu mengambil alih selang dari kakaknya, mau balas dendam.

"EHHH ANJIR. BARU GANTI BAJU NIH!!" Juan berlari memutari tanaman rumahnya. Sialnya, Juno mengejarnya sambil tertawa puas. Keadaan cepat sekali berbalik.

"Salah sendiri, siapa yang duluin. Sekalian mandi, udah sore."

Juno maju, Juan mundur. Tangannya terangkat meminta Juno menghentikan acara menyiramnya.

"Udah dong. Gue naㅡakh!"

Bruk!

Juan terpeleset. Salah menginjak jadi jatuh. Juno yang melihat itu panik sendiri. Dia buru-buru melempar selang, kemudian mendekati kakaknya.

"Gak apa-apa?" tanyanya sambil mengelap telapak tangan Juan yang kotor akibat menahan beban tubuhnya.

"Sakit lah, masih nanya lagi!" tangannya terulur setelah selesai di lap oleh Juno menggunakan seragamnya. Jadi kotor deh. Untung bukan bagiannya pakai putih abu, jadi bunda tidak akan marah.

"Bantuin," pinta Juan. Juno bangun dari jongkoknya. Dia kemudian membantu Juan berdiri. Dia jadi merasa bersalah. Celana kakaknya jadi kotor akibat siraman air yang mengenai tanah.

"Ayo mandi, nanti kalo tetangga liat, kita dijulidin. Dikira masa kecilnya kurang bahagia." Juan membalikkan tubuh Juno. Tapi anaknya malah terfokus pada satu titik, tepat di bawah pot rumah sebelah yang kosong.

"Itu jam tangan lo bukan sih?" tanyanya sambil menunjuk jam berukuran kecil warna hitam.

Juan mengikuti arah telunjuk Juno. Dia jongkok karena batas rumahnya dengan rumah sebelah hanya dibatasi oleh tanaman.

"Dari mana lo tau kalo jam ini punya gue?" Juan berdiri setelah mengambil jam itu. Tangannya terangkat tinggi, mengamati benda yang sudah tidak berfungsi lagi.

Juno mengambil alih, ikut memperhatikan secara seksama. "Iya kan ini punya lo? Waktu itu gue liat jam kaya gini di laci meja belajar,"

"Ya terus kalo lo liat di sana, kenapa sekarang bisa ada di bawah situ?"

"Iya juga. Terus ini punya siapa?"

Otak Juan berpikir keras. Jam tangan yang sama dengan jamnya yang semasa kecil dikasih itu seperti sudah beberapa kali melihat. Tidak asing. Juan yakin, dia pernah melihat jam yang sama persis dengan yang Juno pegang. Tapi tidak ingat dimana.

"Rumah ini dulu ditempatin siapa ya? Temen lo kan?" kali ini Juno memperhatikan rumah yang atapnya gosong karena terbakar. Juan mengikuti.

Alisnya hampir menyatu, berusaha mengingat kenangan 10 tahun lalu. "Iya, temen gue. Namanya.. hm.. Al apa gitu lupa. Seinget gue sih, dia sering manggil gue Nita."

"Yang katanya kalo manggil Juan itu kaya manggil anak cowok?"

Juan menjentikkan jarinya, "nah itu."

"Ya udah nih simpen, siapa tau ini punya dia. Kalo misalnya suatu hari kalian ketemu lagi, jangan lupa kasihin, takutnya dia nyari." Juno memberikan kembali jam itu kepada Juan dan masuk ke rumah duluan. Dia kayanya risih diliatin bocah SMP yang mondar mandir terus dari tadi.

Mata Juan kembali mengamati jam itu, membersihkan bagian belakangnya yang masih bagus walaupun pinggirnya karatan. Juan terkejut ketika mendapati inisial nama sesuatu.

AJPF.

Kira-kira apa artinya itu ya. Halah masa bodo. Juan pusing memikirkan teori seperti ini. Mending mikirin yang bagus-bagus aja.

🔐

Pagi ini ada yang berbeda dengan Juan. Dia memakai jam tangan yang tersimpan dalam laci setelah sekian lamanya.

Semalam, Juan meminta Juno untuk menemaninya membenarkan jam itu. Lagi pula motifnya tidak terlalu bocah, masih masuk untuk jaman sekarang. Dan jam biru itu sudah melingkar di tangan kirinya.

"Baru datang?"

Juan memegangi dadanya yang berdegup kencang melihat sosok Arwin sedang duduk di meja depan dengan susu kotak seperti kemarin.

"Kaget tau. Kalo mau ngomong, atau ke sini bilang kek, biar gue nyiapin diri dulu." Juan menyimpan tasnya di kursi belakang dari tempat yang Arwin duduki. Lelaki itu berbalik.

"Nih, abisin," katanya sambil mendorong susu kemasan itu.

Juan berdeham sebelum mengambilnya. Dia memutar-mutari benda itu mencari sesuatu. Tidak ada sticky note yang tertempel di sana. Rasanya jadi ada yang kurang.

"Semangat belajarnya."

Pandangan Juan tertuju ke depan. Sosok di depannya itu seakan mengerti apa yang sedang dicarinya tadi. Siapapun tolong, Juan tidak kuat melihat Arwin sedekat ini. Ditambah laki-laki itu membelah rambutnya menjadi dua mengakibatkan jidatnya terlihat sedikit.

GANTENG BANGET ALKSSKKSKAOSOSLSJEJDKSKS.

"Besok-besok lo jangan ke sini deh," kata Juan. Kening Arwin berkerut mendengarnya.

"Kenapa?" tanyanya penasaran.

Tangan Juan mengisyaratkan agar Arwin mendekat. Sialnya, dia manut aja. Hati Juan yang jadi taruhan. Help!

"Lo ngebahayain," Juan berbisik. Arwin tidak paham dengan ucapan Juan barusan, terlalu banyak arti. "Bisa banyak yang baper sama kelakuan lo yang nunggu gue datang cuma buat ngasih ginian sama ngucapin semangat doang."

Kedua sudut bibir Arwin terangkat membentuk senyuman. Juan mengatakannya polos sekali. Seperti anak kecil yang sedang nyembunyikan sesuatu lalu bilang pada temannya agar jangan bilang kepada siapapun.

"Gue gini, cuma buat lo doang. Jangan khawatir orang lain baper, karena gue akan datang disaat gak ada orang. Jadi gak bakal ada yang baper selain lo. Dan gue bakal tanggung jawab sama apa yang udah gue lakuin."

Juan terpaku. Matanya tenggelam dalam sorot Arwin yang tertuju padanya. Ditambah posisi mereka masih berdekatan. Gawat. Harusnya kan tadi Juan hanya mengingatkan, tapi kenapa malah detak jantungnya ikut nimbrung alias berdetak kencang.

Suara dehaman kemudian terdengar keras membuat mereka berdua menoleh. "Ekhem. Kata siapa gak ada orang. Ngomong-ngomong ini gue, sama Ellen merhatiin kalian berdua loh dari tadi. Udahan belum diskusi masalah rumah tangganya?"

"Loh? Udah couplean aja. Kapan jadiannya?" lanjut Raga, sambil menunjuk jam Juan dan Arwin.

Juan mengernyit memperhatikan jam tangan Arwin. Sementara pemiliknya, saling tatap dengan Ellen yang berdiri di samping Raga. Pikiran keduanya seakan menyatu. Senyum Ellen mengembang, kepalanya mengangguk seolah meyakinkan sesuatu pada sepupunya.

CelebrityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang