"Kalau enggak diantar atau dijemput lo naik apa? Angkot?"
Rindu mengangguk lalu mengangkat dagunya karena Marco sedang membantunya mengaitkan kaitan helm. Lalu cowok itu menepuk helmnya yang berada di kepala Rindu. Lagi-lagi Marco tersenyum lebar yang menampilkan kedua lesung pipinya membuat Rindu terkesima sekaligus merasa tidak asing.
Marcel dan Revo memilikinya juga.
"Lesung pipi lo cakep banget."
"Ya makasih gue emang ganteng."
"Pede gile."
Marco tertawa. "Ayo pulang."
"Kok pulang?"
Rindu tidak ingin pulang. Di rumah ada Mama dan dia tidak ingin melihat Mamanya.
"Terus ke mana?" tanya Marco. Cowok itu menyuruh Rindu menaiki motornya dengan lirikan mata. Rindu menurut dan naik.
"Gue nggak mau pulang."
"Oke."
"Oke?"
"Iya, oke. Kita jalan-jalan aja."
Rindu menatap Marco dari spion. "Beneran enggak apa-apa?"
Marco mengangguk. "Iya, bawel."
Setelahnya Marco mengendarai motornya membelah jalanan kota Jakarta di pagi hari dan bergabung dengan pengendara lainnya. Udara pagi masih sejuk, belum dipenuhi polusi yang membuatnya sumpek.
Rindu memejamkan matanya dan memeluk Marco dari belakang. Tanpa dia sadari Marco membulatkan matanya terkejut. Tidak berniat menyuruh cewek itu melepaskan pelukannya, bahkan Marco mengelus punggung tangan Rindu.
"Lo ngantuk?"
"Enggak. Gue lagi menikmati pemandangan." Rindu menjawab pelan.
"Tapi merem."
Rindu langsung membuka matanya dan menatap kesal Marco dari kaca spionnya. "Akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi di kehidupan gue. Gue stres. Untung lo ngajakin jalan-jalan jadi gue menikmatinya. Bacot bat dah."
"Ya," sahut Marco singkat.
Marco tidak lagi membuka suaranya hanya untuk memberi pertanyaan kepada cewek yang diboncenginya. Lebih fokus mengendarai motornya dan ikut menikmati pemandangan yang dilewatinya. Waktu harus dimanfaatkan dengan baik. Karena Marco tahu seperti ini tidak mungkin terjadi berulang kali.
Tujuannya kali ini sedikit jauh dari tempat sebelumnya. Melewati jembatan yang menghubungkan antar daerah membuat seluruh kenangan buruk yang berada di jalan ini muncul kembali ke ingatan Marco.
Saat itu dirinya masih kelas 5 SD. Tahun 2013 belum seramai sekarang bahkan trotoar tempat jalannya orang-orang belum dibuat. Kendaraan lalu lalang sangat jarang melewati jembatan ini. Lalu muncullah penyebab jembatan ini menjadi kenangan paling buruk semasa kecilnya.
Papa menurunkannya tepat di sini, padahal jalan menuju sekolahnya masih lumayan jauh. Hanya untuk menemui wanita berambut panjang di kedai kopi seberang jalanan yang dipijaknya. Berbincang sebentar lalu kembali ke hadapan Marco untuk menyuruh bocah laki-laki itu melanjutkan perjalanannya ke sekolah dengan berjalan kaki.
Marco tersenyum pahit mengingatnya, lalu dia berhenti tepat di seberang kedai kopi itu. Sekarang telah berubah. Menjadi Rumah Masakan Padang.
"Kok berhenti? Udah sampai?"
Jelas Rindu bingung. Marco hanya menatap lama Rumah Makan Padang itu tanpa mengeluarkan suara.
Marco menghela napasnya dan mengangkat bahunya. "Hanya mengingat kenangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMIT
Teen FictionBerlatar di tahun 2016. Mengisahkan tentang seorang anak perempuan yang umurnya bahkan belum mencapai 15 tahun bernama lengkap Audisa Rindu Charuya. Keluarganya bukan orang kaya yang bisa memamerkan harta, sebaliknya, dia hidup di kampung belakang k...