Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kenapa semesta membuat semuanya menjadi sangat mudah? Kenapa kami berdua dipertemukan, padahal aku sangat menghindarinya? Dari sekian banyak tempat yang ada di muka bumi ini, kenapa harus di rumah sakit ini, sih? Tunggu, bukan berarti aku berharap bertemu dengannya di atas tempat tidur!
Kukira ia akan seger pergi setelah menyapaku. Tapi, Pak Damar justru memesan secangkir kopi dan dua twisted chocolate bread. Uap panas masih begitu mengepul dari kopinya. Pak Damar tak langsung menyesap kopinya. Tangannya bergerak menyobek salah satu dari kedua roti yang dipesannya.
Ia menyodorkan piringnya ke arahku. Aku menggeleng. Perutku tiba-tiba sudah terasa penuh. Saat mengunyah roti, entah kenapa aku merasa bentuk rahangnya terlihat semakin tajam. Harus kuakui kalau laki-laki yang ada di hadapanku memang memiliki segala nilai fisik yang sempurna. Semua yang ada di dirinya jelas akan membuat para wanita tergila-gila. Aku tak merasa mendapatkan sebuah keistimewaan karena sudah melihat seluruhnya.
"Bapak kerja di sini?" ucapku. Ia mengangguk. "Jadi apa, Pak?"
"Cuma bantu-bantu aja."
"Saya nggak akan percaya kalau Bapak jadi office boy di rumah sakit milik keluarga Bapak sendiri."
Ia tertawa lepas seakan baru saja mendengar lawakan dari seorang komedian terkenal di muka bumi. Kuperhatikan dirinya yang masih tertawa. Apa ucapanku memang selucu itu?
"Kapan bapak kamu diizinkan pulang?"
"Masih harus dipantau, Pak. Kalau dirasa Bapak sudah pulih, baru boleh pulang."
Coffeeshop mulai dipenuhi dengan empat orang berjas putih yang sepertinya sedang menempuh masa koas di rumah sakit ini. Ah, melihat mereka semua membuatku mengingat kembali betapa tidak beruntungnya diri ini. Dulu, hasil nilai ujianku sangat memenuhi untuk bisa melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran. Bahkan, wali kelasku menyarankan untuk mencari beasiswa. Sayangnya tak ada universitas yang bersedia membiayai biaya pendidikan secara keseluruhan.
Mereka adalah calon-calon orang sukses di masa depan nanti. Mungkin salah satu dari mereka akan jadi dokter spesialis yang hebat atau direktur utama di sebuah rumah sakit nantinya. Yang jelas, masa depan mereka sudah pasti akan cerah. Setidaknya itu yang kudengar dari celotehan banyak orang. Itu kenapa banyak yang bercita-cita ingin menjadi dokter.
"Selamat sore, Dokter."
Aku hampir saja menyemburkan latte yang baru kuseruput. Pak Darma melirikku dengan tatapan tajam. Kulihat keempat orang yang baru saja menyapanya pun terlihat bingung.
"Selamat sore. Kenapa semuanya ke sini gerombolan? Nggak bisa gantian?"
"Maaf, Dok. Kami sudah dapat izin dari Dokter Alan."
"Kalau sudah selesai, segera naik!"
"Baik, Dokter. Permisi."
Keadaan kembali sepi.
"Saya nggak bohong soal bantu-bantu."
"Bukannya seorang dokter lebih tau bahayanya seks bebas ya, Dok?"
"Seenggaknya kamu juga harus tau kita ada di mana sekarang, Diandra. Apa kamu mau semua orang, termasuk baristanya tau kalau saya yang bikin kamu kehilangan keperawanan? Pelanin suara kamu!" bisiknya dengan suara yang lama-lama menegas.
"Saya minta maaf, Pak."
"Kapan kamu bisa melayani saya?"
"Saya belum tau, Pak?"
"Apa saya perlu hire suster di sini untuk jaga di kamar bapak kamu selama 24 jam penuh supaya kamu nggak bisa menolak permintaan saya?"
"Bukan begitu maksud saya, Pak."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ingin Bahagia
RomanceUPDATE SETIAP SENIN Menjadi seorang penjaja seks komersial jelas bukan keinginan Diandra. Namun, kebutuhan memaksa dan Diandra sama sekali tak punya pilihan. Untuk kali pertama, ia harus menjual keperawanannya pada seorang laki-laki demi uang. Sela...